Membaca Rencana Allah Lewat Kesehatan Reproduksi
Sinau Bareng tadi malam digelar di Alun-alun kota Ngawi Jawa Timur dan diselenggarakan oleh BKKBN Pusat. Hadir bersama Mbah Nun adalah Kepala BKKBN yang baru, Pak Hasto Wardoyo, sebelumnya menjabat sebagai Bupati Kulonprogo, Bupati Ngawi Pak Kanang (Budi Sulistyono), Kepala Perwakilan BKKBN Jatim Pak Yenrizal Makmur, Kapolres Ngawi, Forkompimda Ngawi, Kyai Bimo Pimpinan Ponpes Segoro Agung, dan beberapa narasumber lainnya.
Sinau Bareng bersama BKKBN ini sudah yang kesembilan kali setelah delapan sebelumnya tergelar di berbagai kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Goal-nya sama, mengajak masyarakat memperhatikan pentingnya pembangunan keluarga berkualitas, terutama dengan membekali generasi muda yang akan menikah untuk menyiapkan hidup berkeluarga dengan konsep keluarga terencana.
“Hidup berencana itu hal yang penting dan mendasar. Dan yang paling penting adalah berencana dalam pendidikan, baru kemudian berencana dalam hidup berkeluarga,” demikian Pak Yenrizal Makmur memberikan dalam Sinau Bareng tadi malam tadi malam.
Masyarakat Ngawi dan daerah-daerah sekitarnya mengalir memenuhi alun-alun kota yang punya semboyan Ngawi Ramah ini. Selain mereka, para perwakilan BKKBN se-Indonesia juga turut datang. Di bawah panduan Mbah Nun, seluruh tim BKKBN, Bupati Ngawi, dan segenap masyarakat yang hadir segera berada dalam suasana penuh kedekatan dan cinta sehingga siap untuk Sinau Bareng, sinau yang mengandung peng-aji-an dan peng-kaji-an sekaligus.
Alasan Kesehatan Usia Minimal Perempuan dalam Menikah
Menuju topik bahasa mengenai merencanakan keluarga, para hadirin diajak masuk melalui jendela rekomendasi BKKBN yang menyarankan batas minimal perempuan untuk menikah adalah di atas 20 tahun atau sekurang-kurangnya pada umur 21 tahun. Salah satu alasannya adalah kesehatan reproduksi. Pak Hasto menjelaskan bahwa perempuan dicipta oleh Allah secara unik atau beda dengan makhluk Allah yang lain, yaitu perempuan memiliki rahim. Pada rahim itu ada mulut rahim.
Mulut rahim yang merupakan batas antara dalam dan luar rahim ini ketika perempuan berusia 16-17 tahun kondisinya akan menghadap keluar. Bahasa kedokterannya ektropion. Bahasa Jawanya mekrok. Begitu Pak Hasto menggambarkan. Dalam kondisi seperti ini, apabila perempuan berhubungan badan, maka akan rentan mengalami kanker mulut rahim. Sementara pada usia 18-an, posisinya sebaliknya atau menghadap ke dalam, entropion. Pada kondisi ini juga masih terjadi kerentanan penyakit apabila terjadi hubungan badan.
Situasi akan aman ketika perempuan sudah memasuki usia 20 tahun di mana kondisi rahim, khususnya mulut rahim yang dibahas tadi boleh dikatakan sudah mulai aman dan siap, oleh karena itulah BKKBN merekomendasikan batas minimum usia perempuan dalam menikah. Pak Hasto menyampaikan hal ini kebetulan bukan saja sebagai kepala BKKBN, namun beliau sendiri adalah dokter spesialis kandungan dan kebidanan. “Ini ilmu Allah, bukan ilmu dokter, dokter hanya niteni (mempelajari),” tegas Pak Hasto.
Selain itu, Pak Hasto mengemukakan, perempuan pada usia 16 atau 17 tahun, diameter panggulnya belum mencapai 10 cm, padahal bayi lahir diameter kepalanya 10 cm. Prinsipnya, Allah menciptakan bayi persis dengan ukuran panggul ibunya.
Apa yang disampaikan Pak Hasto di atas langsung ditangkap sebagai kunci oleh Mbah Nun, dan apalagi dari delapan Sinau Bareng sebelumnya belum didengar dari penyampaian para perwakilan BKKBN informasi yang sama. Mbah Nun memulai merespons dalam bahasa yang enak yaitu meminjam istilah Pak Hasto barusan, “Saya ini lahir mekrok, rek.” Mbah Nun katakan begitu karena saat melahirkannya, Sang Ibu usianya baru 16 tahun.
Namun, menurut Mbah Nun, itu semua soal perubahan hidup antara zaman dulu dengan zaman sekarang. Mungkin dulu ibu-ibu sehat-sehat. Sedangkan anak-anak generasi sekarang gamoh, gampang sakit, bahkan rezeki pun bisa jadi penyakit. Polusi sangat tinggi, dll. “Maka benar bahwa BKKBN dasarnya adalah kesehatan,” kata Mbah Nun mengajak semua hadirin khususnya yang remaja-remaja untuk mengingat dan mencatat betul informasi yang disampaikan Pak Hasto ini.
Merangkum dan menarik garis dari uraian Pak Yenrizal dan Pak Hasto, Mbah Nun mengatakan, “Kalau Pak Yenrizal bilang keluarga yang baik adalah yang terencana, maka Allah juga lebih dulu berencana bahwa yang terbaik itu seperti yang disampaikan Pak Hasto.” Artinya, berdasarkan kondisi rahim perempuan, Allah merencanakan sebaiknya perempuan menikah pada usia minimal 21 tahun.