Makna Yartadda
Dalam beberapa kali majelis ilmu Maiyah dan Sinau Bareng, Mbah Nun menyitir surat al-Maidah ayat 54 untuk membaca keadaan saat ini. Di dalam ayat ini ada disebut qaum di mana Allah mengidentifikasi profil mereka yaitu: Allah mencintai mereka dan mereka sendiri juga mencintai Allah. Mbah Nun berharap anak-cucunya yakni para Jamaah Maiyah dapat menjadi bagian dari qaum itu.
Menurut ayat tersebut, qaum yang demikian itu akan Allah datangkan jikalau telah berlangsung di tengah masyarakat beriman orang-orang yang ‘murtad dari agamanya’. Kata-kata dalam ayat tersebut adalah man yartadda minkum. Aplikasi al-Quran di smartphone saya menerjemahkannya sebagai ‘yang murtad (keluar) dari agamanya’.
Pada waktu Sinau Bareng di desa Bedingin Sambit Ponorogo 19 Agustus 2019 lalu, Mbah Nun sempat menyebut ayat ini lagi dan mengartikan murtad, dari kata yartadda pada ayat tersebut, sebagai ‘tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan melakukan yang tidak seharusnya dilakukan.’ Makna ini berbeda dengan yang ada di smartphone saya, dan mungkin juga beda dengan terjemah al-Qur’an Depag.
Kita tidak bermaksud mempertentangkan penafsiran atas kata yartadda tersebut dengan penafsiran yang lain. Yang perlu kita lakukan di sini sebagai jamaah Maiyah adalah mencatat pengartian Mbah Nun tersebut dan kita tambahkan dalam catatan tadabbur yang kita dapatkan dari Sinau Bareng sehingga isi catatan kita bertambah terus.
Secara kualitatif yartadda atau murtad dibaca dalam cara yang sama seperti cara Mbah Nun menafsirkan kata kafir atau kufr dalam hal bahwa dua kata tersebut bukan terutama digunakan sebagai label yang padat yang enak buat menuding siapa saja yang kita anggap kafir. Maka, Mbah Nun menyebutkan, “Nggak bisa kafir titik. Masih ada terusannya. Kafir kepada atau terhadap apa atau siapa. Kata kafir luas maknanya.”
Dengan begitu, kata-kata seperti yartadda juga dibawa kepada makna dan pembacaan yang lebih kualitatif dan keluar dari jebakan politik identitas (kita vs mereka) yang selama ini menyebabkan kita kalau mendengar ayat seperti itu cenderung mencari orang dengan mencarinya melalui identitas yang dilabelkan melalaui proses yang pelik dalam sejarah politik dan agama.
Kita barangkali jarang mencari makna pada kata yartadda pada perilaku kita atau siapa saja di antara kita. Kita sudah terlanjur statis dalam kotak logika politik identitas tadi. Maka, jika keluar dari kotak tersebut, kita bisa mengembangkan pembacaan kita atas realitas dengan ayat ini misalnya siapa saja yang melakukan hal-hal yang tak seharusnya dan itu menimbulkan dampak buruk atau kerusakan yang luas, maka perilaku yang demikian masuk dalam makna yartadda atau murtad.
Sebaliknya, orang-orang atau kita yang barangkali memiliki posisi untuk melakukan sesuatu yang dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik tapi tidak melakukannya, maka fenomena tersebut juga masuk dalam bagian dari makna yartadda atau murtad.
Orang pindah atau keluar dari agama yang dipeluknya disebut murtad. Tetapi makna murtad semestinya tidak hanya terbatas pada pindah agama. Apa yang dikatakan Mbah Nun dalam mengartikan yartadda atau murtad pada Sinau Bareng di Ponorogo tersebut dapat mengantarkan pada penyelaman tafsir dan tadabbur atas ayat tersebut secara lebih luas.
Pemaknaan Mbah Nun yang kita catat di atas bukan sekadar melepaskan kita dari kecenderungan menunjuk orang lain tatkala kita mendengar ayat yang menceritakam perilaku kufur atau ingkar dan secara introspektif tidak mencari kemungkinannya pada diri kita, tetapi membawa kita kepada mencari atau membayangkan ragam fenomena atau perilaku di era canggih dan kontemporer ini yang secara kualitatif bernilai yartadda. Hal itu bisa berlangsung dalam konteks politik, kebudayaan, globalisasi, politik internasional, dan lain-lain.
Demikianlah, dengan ini saya catat pengartian Mbah Nun atas yartadda ini. Semoga bermanfaat.