Maiyah sebagai Pendidikan Alternatif Sosial-Kemasyarakatan (3)
Wartawan dan Musik Puisi
Selain sebagai anggota PSK yang aktif dan produktif, Mbah Nun juga dipercaya menjadi pimpinan redaksi Harian Masa Kini—sebelum koran ini beredar sebagai media massa Muhammadiyah ia bernama Mertju Suar yang berdiri tepat pada pergantian pucuk kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto tahun 1966—dengan tugas mengasuh rubrik remaja Insani yang muncul setiap Rabu dan rubrik budaya Kulminasi tiap Senin.
Lima tahun (1970-1975) Mbah Nun menggeluti dunia kewartawanan. Ia menganggap bahwa dunia wartawan merupakan perwakilan dari kegiatan Tuhan di dunia. Dengan kontemplatif Mbah Nun menuliskannya sebagai berikut.
Waktu berlalu seperti sungai yang mengalir. Para wartawan mendayung perahu-perahu di atasnya. Mengarungi peristiwa demi peristiwa. Menjala ikan-ikan nilai. Menghimpunnya di perahu. Menjadi prestasi, reputasi, dan kehormatan. Mereka mendayung tanpa batas waktu jam kerja. Mengiris siang. Membelah malam. Seluruh perjalanan mereka terajut menjadi sejarah. Badan selalu amat lelah, seringkali bahkan seperti lumpuh. Keringat menetes. Bahkan mengucur. Tetapi seluruh himpunan perjuangan yang sangat panjang itu, tatkala usia mereka memasuki senja: ternyata menjadi keindahan yang tiada tara” (Wardhana, 2016: 77).
Berbeda dengan wartawan modern dalam mendefinisikan peran dan tugasnya sebagai penyiar berita, Mbah Nun memiliki prinsip kewartawanan yang niscaya berhubungan dengan transendensi:
“Sekurang-kurangnya para wartawan adalah jari-jemari Al-Khabir, yang maha mengabarkan. Para wartawan menyayangi dinamika komunikasi masyarakat, Ar-Rahman. Mereka memperdalam cinta kemasyarakatannya itu, Ar-Rahim. Mereka memelihara kejujuran, kesucian, dan objektivitas setiap huruf yang diketiknya, Al-Quddus. Mereka berkeliling ronda menyelamatkan transparansi silaturahmi, As-Salam. Mereka mengamankan informasi, Al-Mu`min. Mereka mengemban tugas untuk turut menjaga berlangsungnya keseimbangan nilai kebenaran, kebaikan dan keindalan, dalam kehidupan masyarakat: Al-Muhaimin. Mereka menggambar indahnya kehidupan dengan penanya, Al-Mushawwir. Serta berpuluh-puluh lagi peran Tuhan yang didelegasikan kepada kaum jurnalis atau para wartawan” (Nadjib, 2016: 77).
Bagi Mbah Nun, lima tahun menjadi jurnalis media ternama di Yogyakarta merupakan pijakan perdana memasuki dunia tajuk rencana, Editorial, Pojok, Features, Opini, dan 5W-1H (Nadjib, 2016: 79). Bekal ini mengantarkan Mbah Nun menjadi tak sekadar penyair yang membakar semangat khalayak di atas panggung, tetapi juga esais yang produktif sampai hari ini. Selain itu, pada periode 80-an, Mbah Nun mulai mendeklamasikan puisinya bersama Teater Dinasti. Berbeda dengan penyair lain yang membacakan puisi secara mandiri, Mbah Nun cenderung membacakan sajak dengan iringan gamelan Jawa. Format pembacaan tersebut dikenal sebagai Musik Puisi.
Majalah Tempo edisi minggu pertama Desember tahun 1980 mewartakan pentas Mbah Nun dan Teater Dinasi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Model pertunjukan demikian diakui Mbah Nun sebagai terobosan dan merupakan strategi agar mendekatkan puisi kepada masyarakat di kampung-kampung. Hal ini lazim karena masyarakat pedesaan masih lekat dengan seni tradisi yang memposisikan gamelan Jawa sebagai instrumen utama. Oleh karena itu, peran Mbah Nun dan tim tiada lain juga hendak mengangkat kearifan lokal Jawa sebagai bagian integral dalam kehidupan masyarakat, baik di desa maupun kota.
Secara individu, pada era 80-an, Mbah Nun mulai melakukan proses kreatif ke luar negeri: lokakarya teater lintas budaya di Filipina (1980) dan melakukan kerja sosial di Luzon; International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984); International Poetry-Songwriters Festival di Rotterdam, Belanda (1985); dan Horizonte III Festival di Berlin, Jerman Barat (1985). Semasa menggelandang di Belanda dan Jerman Barat, Mbah Nun terus menulis, termasuk surat pribadinya dengan adiknya Adil. Kumpulan tulisan itu kemudian dibukukan oleh Mizan pada November 1985. Meskipun demikian, antologi buah pena Mbah Nun tersebut tak nihil pesan intelektual terhadap kenyataan sosial dan manusia miskin (politis, ekonomis, dan kultural).
…saya menuliskan semacam pendahuluan yang—umpamanya—menjelaskan kronologi kegiatan saya di “Negara Landa” dan Jerman di mana tulisan ini saya bikin. Agak tersipu, dan sukar. Saya kira saya sedang mengidap “penyakit nihil”: rupanya begitu susah menemukan bahkan satu kata yang tepat di tengah kancah sejarah yang penuh paradoks, ironi, dan maju kena mundur kena macam ini.” (Nadjib, 1985: 04).
(bersambung)