Maiyah sebagai Pendidikan Alternatif Sosial-Kemasyarakatan (2)
Pendidikan Universitas Malioboro
REKAM jejak Muhammad Ainun Nadjib (Mbah Nun) begitu signifikan dalam proses kehidupan sosial, politik, dan budaya Indonesia selama empat dekade. Kiprahnya dimulai sejak era 70-an dengan turut aktif dalam Persada Studi Klub (PSK)—komunitas belajar sastra dan kehidupan—yang diasuh Umbu Landu Paranggi. Pada periode itu Mbah Nun aktif menulis puisi di Koran Harian Masa Kini, Pelopor Yogya, Kedaulatan Rakyat, Kompas, dan media nasional lainnya. Bersama Umbu, sang “manusia puisi” yang juga dikenal sebagai Presiden Malioboro, Mbah Nun turut memperkaya wacana proses kreatif seniman muda Yogyakarta.
Denyut produktivitas karya artistik para seniman Indonesia pada kurun waktu 60-70-an setidaknya digawangi dua poros kota, yakni Jakarta dan Yogyakarta. Pertama, keberadaan TIM (Taman Ismail Marzuki) yang diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin di jantung Ibu Kota Jakarta menandai kemunculan para seniman baru, baik yang datang dari penjuru wilayah Indonesia maupun yang dilahirkan di ibu kota. Kedua, sejak kedatangan Umbu ke Yogyakarta sebagai seorang mahasiswa Fakultas Sosial dan Politik (FISPOL), Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1968, PSK resmi berdiri dengan metode pembelajaran kultural dan egaliter (Siregar, 2010: 01).
Pada masa awal berdirinya PSK Mbah Nun masih tercatat sebagai siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Kendati demikian, ia mempunyai tekad kuat belajar di luar sekolah formal sehingga mengantarkannya di Malioboro dengan kerabat yang datang dari penujuru wilayah. Siregar (2010) mengisahkan awal berdirinya PSK yang mendudukan Umbu sebagai guru, sahabat, dan juga aktivis pergerakan.
Pergaulan yang intens dengan Umbu malah tidak ada pertaliannya dengan dunia sastra, tetapi sebagai aktivis gerakan mahasiswa karena kami sama-sama ikut dalam berbagai aktivitas. Seperti gerakan anti korupsi, golput (golongan putih, gerakan untuk memboikot Pemilihan Umum pertama Orde Baru, 1971), penentangan proyek dana non-budgeter untuk Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan terakhir Malari 1974. Sebagai aktivis ini, pada 1972 Umbu bahkan pernah ke Jakarta bersama kelompok aktivis anti korupsi dari Jakarta dan Bandung.”
Terlepas dari latar belakang Umbu, PSK tetap berjalan sampai pertengahan tahun 1970 dengan diperkaya oleh anak-anak muda yang setiap tahun terus bertambah. Mbah Nun ialah salah seorang anak muda pada masa itu yang tak absen dari konstelasi kesenian di Malioboro. Linus Suryadi Ag., seorang penyair PSK, hampir setiap hari menjadi sahabat diskusi, bahkan keduanya saling berkarya agar dimuat di Horison—majalah yang perstisius pada masa itu karena mendapatkan pengakuan publik bahwa siapa pun yang karyanya dimuat di sana sudah barang tentu boleh disebut penyair kondang.
Pilihan Mbah Nun untuk keluar dari Fakultas Ekonomi UGM pada pertengahan semester bukan berarti berhenti belajar. Siregar (2010: 07) menyebut keputusan itu sebagai “anugerah keburuntungan” karena ia akan mengalami “liberalisasi oleh alam”. Ia menjadi manusia bebas dengan segenap daya kreatif yang tak dipasung oleh sekat-sekat pendidikan formal. Di universitas kehidupan Malioboro Mbah Nun terbebas dari kurikulum nasional, primordialisme pengajar, maupun ilmu pendidikan Barat yang menurut Ashadi Siregar melahirkan “manusia bebek”. Anggapannya mengenai universitas kehidupan itu diungkapkan Mbah Nun dan ditulis Kompas edisi 27 Juni 1993 di artikel berjudul Lebih Jauh dengan Emha Ainun Nadjib.
Sekolah saya adalah universitas kehidupan. Saya tidak bisa menjadi sarjana sekolah, maka sarjana kehidupan mungkin salah satu alternatif, meskipun saya sendiri tidak tahu apakah saya bisa. Yang dimaksud dengan universitas kehidupan itu adalah mempelajari manusia, dari apa yang tampak hingga yang tak tampak. Mempelajari alam, bermacam-macam firman Allah, buku-buku, serta hubungan dinamis dan kontinyu antara sesama itu”
Laku dan proses pendidikan di Malioboro yang menekankan kemerdekaan diri membuat Mbah Nun pada periode 70-an tumbuh menjadi pribadi yang kreatif (Sayuti, 2010: 37). Sementara itu, dosen dan budayawan FBS, UNY, itu menguraikan bahwa pendidikan kehidupan yang diupayakan PSK berlandaskan visi-misi “memerdekaan” dan “kebersamaan” sehingga tak heran apabila karya-karya Mbah Nun di masa itu kaya akan pergulatan batin yang berangkat dari kegelisahan sosial.
Semangat komunal yang sejak awal disemai PSK berpengaruh banyak terhadap substansi karya para anggotanya. Kesatuan tema dalam karya-karya Mbah Nun tak terlepas dari kenyataan sosial. Tema demikian menandakan kepeduliannya terhadap nasib rakyat kecil yang acap kali terhimpit oleh ketidakadilan sosial. Pengalaman kemanusiaan Mbah Nun itu dilihatnya secara langsung manakala berjalan di sepanjang Malioboro bersama Umbu dan seniman muda lain. Jabrohim dan Mustofa (1993: 31-33) menulis keberpihakan Mbah Nun terhadap rakyat kecil dan masalah sosial dalam puisi-puisinya.
Telah banyak bumi dan langit yang dijelajahinya, jutaaan pengalaman ia masuki, sekian ton persoalan ia gendong, sekian triliun amanat coba ia sampaikan lewat karya-karya puitiknya. Sejak kumpulan-kumpulan sajak yang terbit tahun 70-an sudah kentara sekali keterlibatan Emha terhadap masalah-masalah sosial. Keberpihakan Emha tampak jelas kepada kelompok yang tertindas, umat yang ‘dimiskinkan’. Puisi-puisi Emha sepertinya ingin menunjukkan adanya kesenjangan sosial sebagai sisi lain dari potret pembangunan”
Buah pena Mbah Nun berisi ideologi yang tak kosong—tak seperti para penyair salon yang menurut W.S. Rendra dalam puisinya berjudul Sajak Sebatang Lisong hanya bersajak anggur dan rembulan atau disebut sebagai sastrawan salon—karena menawarkan gagasan konstruktif dengan dan melalui masyarakat lokal sebagai acuan primer. Oleh sebab itu, sepak terjangnya dalam mengomunikasikan gagasan sering kali menggunakan kelihaian pembacaan puisi yang heroik dan gaya retorika khas teater. Adhy (2015: 78) mendengar langsung Umbu pada suatu siang tahun 1974 di Percetakan Radya Indria (R.I.), Jalan Brigjen Katamso 75 Yogyakarta menuturkan, “Emha memiliki kemampuan bicara seperti Nurcholish Madjid sekaligus kemampuan menulis seperti Goenawan Mohamad. Perpaduan dua kemampuan berbasis intelektualitas yang tidak dimiliki banyak orang.”
Dua kecakapan verbal dan tertulis itu dikuasai Mbah Nun sampai hari ini, baik di forum seminar, mimbar koran, maupun tatkala berada bersama jamaah Maiyah. Tuturan Umbu tiga dekade lalu tentang Mbah Nun tak terlepas dari kebersamaannya yang intens selama periode PSK. Penilaian itu diakui Soeparno S. Adhy: “Kita menyaksikan beragam orasi Mbah Nun yang bernas dan tajam serta mata penanya yang tajam menohok situasi dan banyak sosok.”
Pola didikan berbasis saling asah, asih, dan asuh yang dibangun Umbu di PSK berpengaruh signifikan terhadap para anggotanya. Dengan atmosfer pendidikan Malioboro itu Mbah Nun dan kerabat lain acap saling memberi dan menerima agar terwujud keutuhan belajar yang komprehensif. Pertarungan antaranggota dalam berkarya, terutama karya sastra, menjadi kompetisi yang mengasyikan karena mereka berpacu pada kuantitas dan kualitas karya. Adanya persaingan tersebut mengindikasikan betapa selain sebagai komunitas belajar, PSK juga terus mendorong para anggotanya untuk produktif berkarya.
Proses pendidikan yang membebaskan di PSK menggenjot Mbah Nun dan anggota lain agar bersikap keras pada diri sendiri. Dengan sendirinya, bila individu menggembleng dirinya sendiri dengan keras, ia akan terbiasa menikmati dinamika kehidupan. Kenyataan demikian ditambah pula oleh didikan Umbu agar berlajar kehidupan puisi secara total. Anggapan tersebut merupakan antitesis terhadap pandangan konvensional mengenai puisi sebagai karya imajiner. Bagi PSK, dengan Umbu sebagai kepala sukunya, puisi serupa kehidupan itu sendiri yang menawarkan kebaruan dan dunia kemungkinan yang membuka diri untuk dikaji terus-menerus. Metode pendidikan Umbu tersebut membekas pada diri Mbah Nun di tahun-tahun berikutnya.
Melalui Umbu, Emha mempelajari “kehidupan puisi”. Maksudnya, guru yang tidak mengajari bagaimana cara menulis puisi, tetapi menggeluti dimensi-dimensi batiniah tertentu yang menyangkut keseluruhan hidupnya. Umbu pula, yang mengajari Emha untuk ‘bersikap keras dan kejam kepada diri sendiri’. Supaya tahan banting seperti ayam kampung yang tidak gampang mundur dari suatu keyakinan. Emha juga mengaku bahwa pengalamannya nyantri di Gontor dan tradisi tirakat sejak kecil ikut membantu proses ini. Pendidikan kejam terhadap diri sendiri itu saya perlukan karena sejak kecil saya tidak mau disikapi keras sedikitpun oleh ayah dan ibu. Kalau mereka keras, saya pasti minggat. Karena itu saya harus mampu bersikap keras terhadap diri sendiri” (Kompas, 1993: 15).
Dalam buku semi memoar berjudul Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta (2013: 02), dipaparkan bahwa terdapat enam tahapan yang mesti dilalui para seniman muda PSK: tingkatan Pawai untuk pemula dan Parade untuk tingkat lanjutan. Selanjutnya, setelah melewati dua tahap tersebut, masih terdapat tiga tahap lagi, yaitu Kompetisi dan Pos Budaya. Jamak seniman yang gugur di tengah jalan karena disorientasi. Akhirnya, mereka secara perlahan mundur karena seleksi alam. Tingkatan-tingkatan di PSK demikian bukan sekadar jenjang formal, melainkan lapisan fokus yang menjadi titik acuan para anggota dalam mengukur sejauh mana dirinya mampu mengaktualisasi kreativitasnya dalam berkarya. (bersambung)
CATATAN KAKI
- Ashadi Siregar. 2010. Orang-orang Malioboro “Refleksi dan Pemaknaan Kiprah Persada Studi Klub 1969-1977 di Yogyakarta. Jakarta: Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional.
- Kompas berjudul Lebih Jauh dengan Emha Ainun Nadjib edisi 27 Juni 1993.
- Soeparno S. Adhy. 2015. Umbu pun Mengagumi Emha dalam Majalah Sabana Edisi Mei.
- Sukisno. 2013. Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta. Yogyakarta: UPTD Taman Budaya.
- Suminto A. Sayuti. 2010. Umbu Landu Paranggi dan Model Pendidikan “Jalan Malioboro” (Makalah). Jakarta: Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional.