CakNun.com

Maiyah sebagai Pendidikan Alternatif Sosial-Kemasyarakatan (1)

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 6 menit

Tulisan ini oleh penulisnya (Rony K. Pratama) diikutsertakan dalam buku “Kapita Selekta (Pendidikan) Sejarah Indonesia” yang diterbitkan Penerbit Ombak tahun 2017. [Redaksi CakNun.com]

Prolog

KOMPLEKSITAS persoalan rakyat Indonesia acap kali ditunjukan secara statistik. Angka kemiskinan ekonomi semakin melejit. Kesenjangan sosial yang mendera lapisan sosial menengah ke bawah, baik di perkotaan maupun pedesaan, tak segera teratasi meskipun program pemerintah digencarkan terus-menerus lewat kampanye politik. Rakyat Indonesia, dengan kata lain, belum terposisikan statusnya menjadi kelompok tersejahterakan secara finansial. Akibat kemiskinan struktural itu mereka terombang-ambing oleh ketidakadilan sosial, bahkan mengidap rendah diri nasional karena terposisikan sebagai subordinasi kelas bawah (Thomas, 1973: 216).

Problem kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia ditengarai menyebabkan konflik sosial internal maupun eksternal. Konflik internal dapat berwujud perpecahan rumah tangga karena masalah sepele, yakni besar pasak daripada tiang. Ketidaksiapan finansial menghadapi tuntutan sehari-hari membuat salah satu anggota keluarga tersulut emosi. Luapan kemarahan, karenanya, lazim terjadi dan jamak meretakan hubungan keluarga. Kenyataan demikian dipertambah oleh konflik eksternal yang muncul karena gaji minim, sementara tenaga personal terus dieksploitasi maksimal. Hal ini dialami para buruh dari beragam pekerjaan. Tak heran bila mereka kerap melakukan tuntutan standardisasi kesejahteraan melalui pemogokan kerja.

Di tengah realitas arus bawah itu Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun)—selanjutnya disebut Mbah Nun—melakukan pendidikan masyarakat melalui forum Maiyah. Secara bahasa Maiyah berarti kebersamaan. Istilah ini diambilkan dari bahasa Arab, yaitu ma’a yang bermakna bersama (Effendy, 2009). Ahmad Fuad Effendy, biasa dipanggil Cak Fuad, meneliti kata ma’a dari perspektif nomina dan pronomina dalam Al-Qur`an. Berdasarkan risetnya itu Cak Fuad menemukan kata ma’a sebanyak 161 ayat di Al-Qur`an.

Format diskusi Maiyah relatif unik karena biasa berlangsung 5-8 jam. Nuansa kebersamaan di Maiyah, selain dipandu Mbah Nun, diperkaya pula oleh kehadiran KiaiKanjeng. Hadirnya KiaiKanjeng bukan sekadar instrumen musik, melainkan juga penambah artikulasi penggalian topik diskusi yang estetis dan kontekstual. Poin estetis dimaknai sebagai pengiring dialog yang transgenre.

Sering kali Kiai Kanjeng membawakan gita lintas aliran: Jazz, Jawa, Cina, bahkan beraneka musik Barat dan Timur yang klasik maupun kontemporer. Kedudukan KiaiKanjeng tersebut mendekonstruksi aliran musik yang dipandang publik konvensional cenderung dikotomis, namun di tangan kreatif mereka musik dielaborasikan sedemikian rupa tanpa menghilangkan identitas asli tiap nada dan irama.

Penjelasan pokok permasalahan dalam forum Maiyah yang bersifat abstrak kerap diperjelas Mbah Nun lewat musik KiaiKanjeng. Sebagai contoh manakala hendak meneroka makna pluralisme secara praktis Mbah Nun mengilustrasikan KiaiKanjeng. Instrumen musik sebagai pilar primer musik KiaiKanjeng yang terdiri atas gamelan dan alat musik modern sangat jelas merepresentasikan keanekaragaman. Keberagaman itu merupakan bentuk mikro dari kondisi Indonesia yang seungguhnya perwakilan dari suku, budaya, ras, agama, dan kepercayaan yang polifonik.

Karakteristik diskusi Maiyah adalah penggalian bersama. Mbah Nun sebagai pendidik menjadi titik sentral pengolahan pengetahuan berdasarkan pertanyaan jamaah. Kendati posisi krusial Mbah Nun yang memiliki otoritas narasumber utama, namun pada praksisnya ia membuka kemungkinan informasi lain, baik dari peserta maupun pembicara dalam rangka memformulasikan kelengkapan perspektif pengetahuan.

Atmosfer diskusi yang sangat cair di forum Maiyah memungkinkan beragam pendapat terangkum untuk didedah bersama. Situasi demikian membentuk pola diskusi yang berorientasi “apa yang benar” bukan “siapa yang benar”. Meskipun kebenaran dapat dirumuskan, forum Maiyah kerap berposisi demokratis: memberikan kebebasan seutuhnya kepada jamaah untuk menerima, menolak, maupun mengkritisinya.

Kata kunci “belajar bersama” kerap ditemukan di tajuk utama diskusi Maiyah. Frasa tersebut mengimplikasikan kerendahan hati untuk menguraikan problem atas pelbagai pertanyaan jamaah secara bersama. Jenis pertanyaan itu juga berlainan karena dituturkan dari rakyat kecil hingga mahasiswa. Yang jelas, dari masing-masing pertanyaan itu, terdapat simpul penghubung berupa otentisitas masalah yang bersifat personal. Dengan demikian, kajian diskusi di forum Maiyah cenderung tematik dan kontekstual.

Tak jarang tipe pertanyaan personal jamaah yang cenderung berangkat dari masalah pribadi terujarkan bebas. Biasanya mereka menguraikan keluh-kesah kehidupan privat yang sebetulnya berakar pada ketidakadilan sosial, baik di ranah tempat kerja, sekolah, maupun masyarakat. Respons Mbah Nun atas keberagaman pertanyaan itu biasanya berbentuk alternatif penyikapan terhadap suatu masalah yang dihadapi.

Ujaran pertanyaan yang bersifat konsultatif itu mengindikasikan posisi Maiyah serupa forum pencarian ilmu masyarakat. Dalam konteks pedagogik, ia dapat dikategorikan sebagai pendidikan nonformal. Dikotomi jenis pendidikan nonformal, selain formal (sekolah) dan informal (keluarga), didasarkan atas peran Maiyah di tengah pemecahan masalah masyarakat. Meskipun, di lain sisi, Maiyah tak mendefinisikan dirinya ke dalam pengertian harfian pendidikan nonformal secara eksplisit sebagaimana kategorisasi di atas.

Wujud pendidikan nonformal dalam cakupan teoretis lazim ditemukan di praksis sosial-kemasyarakatan. Pembinaan sosial anak jalanan seperti dilakukan LSM atau gerakan mahasiswa dapat menjadi contoh konkret. Setidaknya instrumen pembelajaran pendidikan nonformal, baik dilakukan Maiyah, LSM, maupun komunitas mahasiswa, telah terpenuhi: materi, pendidik, subjek didik, dan bahan ajar. Keempat instrumen dasar pendidikan tersebut merupakan modal utama dalam melakukan proses pembelajaran.

Berbeda dengan praktik pendidikan konvesional lain, forum Maiyah tak membakukan materi kajian (apa yang harus dipelajari) pada setiap pertemuan, tetapi cenderung mengikuti irama kegelisahaan masyarakat yang diwujudkan dalam pertanyaan—sekalipun pertanyaan itu kurang relevan dengan tema kajian. Arah dialog, karenanya, bersifat dua arah dengan memberi kebebasan seluas-luasnya bagi jamaah lain untuk mengkritik, menjawab, bahkan menambahi pertanyaan (pendalaman) lain.

Kendati tak berpijak pada kebakuan teknis, Mbah Nun tetap mempunyai pelbagai sudut, jarak, dan resolusi pandang terhadap objek pembahasan dengan konsep keilmuan khusus. Rekam jejak Mbah Nun sejak era 70-an dalam mengatasi permasalahan sosial-kemasyarakatan di Indonesia memungkinkannya untuk memformulasikan ilmu pengetahuan baru. Sublimasi proses laku yang ia jalani selama hampir empat dekade mampu menciptakan konsepsi keilmuan yang multidimensi.

Mbah Nun acap kali menegaskan pendekatan interdisipliner manakala mengkaji segala persoalan. Pada suatu kesempatan ia memberikan alasan logis mengenai sifat kehidupan yang sedemikian kompleks. Oleh karenanya, mustahil mengkaji pokok problem kehidupan hanya dengan satu spesialisasi. Pandangan Mbah Nun ini persis apa yang dilakukan Soedjatmoko pada era 60-an, yakni mengorganisasikan lintas disiplin ilmu untuk memecahkan pertanyaan masyarakat yang begitu rumit dan komprehensif.

Karakteristik multidimensi dalam kajian tematik di forum diskusi Maiyah kerap dikeluhkan jamaah baru. Lompatan logika dan ilmu kerap membuat bingung peserta yang biasa dengan satu koridor keilmuan. Kenyataan ini dialami jamaah baru karena arah diskusi terkesan tidak sistematis. Kesan semacam itu lazim oleh karena latar belakang pendidikan mereka di sekolah modern lebih menitikberatkan pada parsialitas ilmu.

Efek pendidikan tersebut, dengan demikian, membentuk konstruksi berpikir lulusan sekolah konvensional untuk konsentrasi pada satu bidang keilmuan. Padahal, realitas empiris tak mungkin dipahami oleh satu ilmu semata karena dibutuhkan pemahaman integral pelbagai lintas dimensi (Easley, 1978: 29). Atas masalah pendidikan yang bersifat “fakultatif” dan jauh dari “universalitas” itu dijungkir-balikkan di forum Maiyah. Mbah Nun, karenanya, mendekonstruksi pemahaman konvensional pendidikan modern lewat forum Maiyahnya.

Dinamisnya forum Maiyah menarik atensi jamaah lintas usia dan profesi. Tak jarang ratusan hingga ribuan orang berduyun-duyun datang dengan membawa kesadaran mencari ilmu. Mereka betah, meski duduk bersila sebelum subuh. Apa yang menjadi jamaah betah, menurut Mbah Nun, ialah kejujuran dan keikhlasannya untuk saling berendah hati dalam menemukan ilmu. Potret penggalian ilmu di luar dinding sekolah formal menegaskan posisi penting Maiyah dalam konstelasi pendidikan masyarakat.

Maiyah serupa pelengkap, bahkan antitesis, terhadap format pendidikan modern. Di Maiyah para pelajar bisa bebas mengekspresikan kegelisahan intelektualnya tanpa takut disalahkan sebagaimana acap terjadi dalam praktik pembelajaran di kelas formal. Perseturuan wacana keilmuan lazim terjadi manakala diskusi Maiyah berlangsung. Pijakan akan relativitas ilmu tetap dijaga di Maiyah agar masing-masing jamaah memiliki keputusan personal dalam memilih dan memilah esensi ilmu.

Kehadiran Maiyah di masyarakat urban dan dusun bukan untuk mengungguli organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Pada suatu kesempatan Mbah Nun menandaskan bahwa Maiyah justru membuat orang Muahammadiyah semakin kuat kemuhammadiyahannya. Demikian pula berlaku untuk Nahdlatul Ulama dan pelbagai organisasi lain. Kedudukan Maiyah relatif unik karena status pergerakannya bukan sekte baku, namun organisme yang lebih organis ketimbang organisasi resmi.

Atas cairnya pergerakan Maiyah di masyarakat tidak mengeherankan bila ia lekas diterima semua lapisan kelompok, baik pemerintahan maupun swasta, karena pijakan Maiyah adalah nilai dan kearifan sehingga luaran eksternal bukan kepentingan politik, melainkan kebermanfaatan kolektif. Landasan filosofis demikian berpengaruh signifikan terhadap keberterimaan Maiyah di dalam konstelasi sosial-kemasyarakatan karena prinsip saling menyelamatkan—makna epistemologis dari Islam—menjadi fondasi kultural pada setiap sesi penggalian ilmu.

Naungan saling penyelamatan sebagai nilai universal dalam Maiyah membuat pemeluk agama selain Islam turut mengikuti diskusi tanpa khawatir dialienasikan. Tak seperti pengajian konvensional lain yang mensyaratkan kriteria tertentu bagi jamaah, Maiyah justru terbuka tanpa ketentuan partikular. Bilapun terdapat prasyarat khusus barangkali sebatas sikap saling menghargai antarjemaah. Destruksi yang menyebabkan friksi antarpeserta sangat dilarang di forum diskusi Maiyah. Hal demikian mesti dijunjung tinggi sebagai bentuk penghargaan terhadap perbedaan (toleransi).

Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara fenomenologis pendidikan alternatif di Maiyah melalui perspektif dialogis. Oleh karena sifatnya yang subjektif, ulasan singkat dalam gagasan tertulis di sini tidak mewakili kelompok mana pun kecuali merepresentasikan pengalaman empiris penulis manakala mengikuti—sekaligus meneliti—forum Maiyah dalam perspektif pedagogik nonformal. (bersambung)

CATATAN KAKI

  • Ahmad Fuad Effendy. 2009. Maiyah di dalam Al-Qur’an. Malang: Misykat.
  • J.G. Easley dan Tatsuoka M.M. 1968. Scientific Thought. Boston.
  • R. Murray Thomas. 1973. A Chronicle of Indonesian Higher Education. Singapore: Chopmen Enterprises.

Lainnya

Topik