CakNun.com

Maiyah Qurban Lintas Generasi

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Belajar keluasan diri di Maiyah

Jadi banyak pergeseran narasi dan kesadaran. Kita bergeser dari masyarakat komunal ke masyarakat individual. Dari agraris ke industri. Belum lagi kemudian, belum selesai kita lulus pada era-era itu tiba-tiba datang variabel bernama media sosial. Anehnya, manusia bukan saling mengenal dan saling akrab. Tapi justru malah semakin kembali ke kesadaran tribalisme. Semangat kesukuan yang sekarang diartikulasikan dengan sedikit intelek, menjadi kubu-kubu peperangan baru. Kericuhan tak henti-henti antar pendukung politik, fenomena agama murni vs budaya murni dan berbagai fenomena kesalahpahaman lainnya.

Mungkin, ada persoalan mendasar dalam kemampuan kita ber-qurban. Dan kita belajar membenahi ini di Maiyah, dengan mengambil qurban berdasar kata qoroba seperti yang sering ditekankan oleh Mbah Nun. Kita belajar untuk memahami bahwa, untuk membangun keakraban memang harus ada hal-hal tertentu yang perlu kita korbankan.

Generasi tua tidak bisa memaksakan delusi golden age mereka pada generasi muda. Tapi generasi muda juga perlu belajar tentang keluasan, menampung kisah-kisah di luar standar benar-salah yang terlanjur membeku. Keluasan adalah hal yang selalu kita latihkan di berbagai majelis Maiyah dan Sinau Bareng.

Misal dalam pembahasan mengenai Walisongo adalah fakta atau fiksi. Sungguh tidak begitu penting Walisongo pernah benar-benar ada atau tidak ada, atau adanya secara historis atau ada secara sosial. Tapi dengarkan, simak dulu dia sebagai kisah dari para sesepuh-sesepuh kita. Kisah yang sangat dihormati. Jangan langsung menghakiminya sebagai mitos (dan mitos juga tidak selalu salah), terlepas dari saya pribadi juga merasa tidak terlalu ada bukti kuat bahwa yang disebut walisongo memang seperti banyak diceritakan itu.

Bisa saja terjadi interpretasi sejarah, missinterpretasi, reinterpretasi atau berbagai lapis kesadaran yang turut mewarnai. Yang bisa kita dapatkan, peredaran naskah-naskah mengenai Walisongo dan pewayangan juga lebih banyak diinisiatifi oleh kaum orientalis terutama geng Theosofi yang dikepalai Labberton kala itu. Bisa saja memang pernah ada sosok-sosok santo dan wali-wali itu. Juga bisa saja tidak seperti yang diyakini selama ini.

Toh terlanjur banyak pihak yang punya pengalaman spiritual dengan mengaitkan pada sosok tersebut. Besok-besok mungkin juga mulai ada yang pengalaman spiritualnya adalah mendapat wangsit dari Iron Man atau Spider Man kalau Marvel sudah jadi agama atau punya pengalaman wisik gaib dari Master Yoda karena sudah ada juga yang mendirikan agama Star Wars. Bisa saja, semua proses sejarah yang wajar.

Marvel, Star Wars, Star Trek, Wayang Jawa, Kitab-kitab Arab, Lagaligo, mitologi Yunani, Skandinavia, Ra, Osiris, Anansi atau apapun capaian peradaban dari manapun, di Maiyah kita belajar menikmatinya secara santai dan lumrah. Semuanya jadi sama asik tanpa harus ada yang lebih hebat karena kita bukan sedang berkompetisi. Semua baik dengan kadarnya masing-masing.

Maiyah menjadi jembatan antar generasi

Society tidak selalu benar dan juga tidak selalu salah. Sebagai entitas sendiri, society punya mekanisme sendiri untuk menjaga dirinya dan iman adalah percaya bahwa ada “invisible hand” dari Allah. Saya dengan takjub dan coba-meraba-raba, pada masa ini apa yang bisa disebut campur tangan tuhan itu kalau bukan fenomena Maiyah?

Perjuangan Maiyah yang paling terasa adalah memerdekakan dari kecemasan-kecemasan, menegakkan mental “laa khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanun”. Bahwa tidak khawatir dan tidak cemas itu bukan hanya milik kelas spiritualis kebatinan yang sudah ma’rifat ngeri-ngeri sedap. Bahwa semua orang bisa merdeka dari kecemasan. Semua orang adalah kekasih Allah dan Allah tidak pilih kasih kecuali berdasar tingkat taqwa. Dan konsentrasi perjuangan adalah “anfa’uhum linnas”. Bukan pada kebanggaan-kebangaan semu berdasarkan bangsa, negara, golongaan, ormas atau parpol. Tapi pada nilai kemanfaatan.

Semua zaman adalah faktual modern pada masanya, yang kita sebut tradisional pada masa ini bisa saja adalah fenomena sangat modern pada masa dia baru lahir dan apa yang ada sekarang bisa menjadi tradisional di masa depan. Yang sekarang muda, kelak akan menjadi tua. Pergulatan antara kaum yang merasa tafsir agamanya sangat murni dengan yang merasa mempertahankan kebudayaan Nusantara murni, sebenarnya sama bersandar pada kerinduan tidak rasional bahwa pernah ada masa-masa yang murni.

Keyakinan yang tidak teruji bahwa pada masa entah kapan, manusia pernah lebih berkualitas, lebih tangguh, lebih sederhana dan hidup lebih apa adanya. Memangnya kapan manusia tidak salah kaprah? Semua zaman adalah zaman edan, sekaligus adalah zaman kejayaan.

Mungkin proses zaman inilah yang diingatkan oleh Al-Qur`an dalam Al-Maidah 104. Bisa pembaca yang budiman membuka mushaf sendiri-sendiri agar bisa mentadabburi juga sendiri-sendiri.

Maiyah memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan antar generasi dan ini sedang terjadi. Membludaknya generasi-generasi baru yang hadir, bisa menjadi penanda fenomena ini. Generasi al-mutahabbina fillah yang oleh Mbah Nun disebut punya nilai dan cita rasa baru yang tidak lagi mewarisi kejahiliyahan generasi lama tapi bisa menampung dengan kebijaksanaan harta peradaban yang terpendam oleh dunia materialisme.

Maiyah menjadi fenomena baru bila kita lihat pada posisi ini. Dia secara sengaja atau tidak, disadari atau tidak, mengambil peran yang belum pernah diambil oleh berbagai lingkaran dalam perjalanan sejarah kita. Posisi pengakraban antar generasi, jembatan kontinuasi. Di mana, antar generasi saling bijaksana, saling ber-qurban demi kemesraan dan kelanjutan perjalanan peradaban dunia dan akhirat.

Lainnya

Exit mobile version