CakNun.com

Maiyah Qurban Lintas Generasi

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Ulama tua versus Ulama muda

Di kalangan agamawan, konflik dan kontestasi ulama tua dan ulama muda selesai begitu saja ketika Nippon menduduki Hindia-Belanda. Seluruh kaum agamawan Islam, tua dan muda, melupakan konflik mereka untuk bersama mendukung kekuasaan Nippon dan bahu-membahu dalam “jihad akbar” Perang Asia Pasifik bangsa Nippon yang saat itu dianggap sebagai Khilafah yang sah pasca gagalnya mu’tamar khilafah di Mekkah dan Mesir.

Konflik-konflik pribumi vs Nippon yang diangkat dan direinterpretasi sebagai perang perjuangan setelahnya, kebanyakan hanya konflik lokal yang skup bahasannya adalah soal perkebunan, lahan atau kewajiban setor beras. Tapi tidak secara ideologis. Semua agamawan kita sangat berkhidmat pada kekuasaan Nippon. Juga kaum pergerakan tidak jauh berbeda.

Pada kelompok pergerakan intelektual modern (berbaca-tulis latin), perbedaan bentuk perjuangan pada generasi 1910 yang bisa kita katakan tidak terlalu banyak berbicara mengenai dekolonisasi, tapi konsentrasi pada pemberdayaan real manusia dengan atau tanpa negara, tidak terlalu berlanjut pada generasi setelahnya (lets say, generasinya Soekarno).

Tokoh-tokoh generasi 1910 banyak yang meninggal atau tidak lagi berkiprah pada era krisis ekonomi 1930 (secara politik, Hindia-Belanda mulai memberlakukan rezim tangan besi) dan makin tenggelam ketika kedatangan Nippon. Sehingga perjuangan aktivis generasi tua kemudian tidak diteruskan pada generasi 1940 yang ditandai dengan munculnya selebrasi Soekarno sebagai sosok yang berlimpah spotlight.

Nippon juga cukup berjasa mentransmisikan nama Soekarno karena saat itu beliaulah seleb pergerakannya. Sekaligus juga Nippon mentransmisikan pesan antagonisme barat (Amerika dan Eropa) ke pelosok-pelosok dengan dicorongi kelas agamawan di pedesaan. Kelak pada masa berkuasanya, kita bisa lihat Soekarno versi tua sangat mengglorifikasi pesan anti-barat ini.

Namun Soekarno dengan segala hormat, perlu kita akui bukan orang lapangan yang terbiasa mengkoordinir, memberdayakan atau mengurai persoalan riil. Dan tidak ada orang lain yang lebih ganteng saat itu. Masalahnya dia keren memang. Kita tidak bisa menuntut Soekarno lebih dari itu, karena kemampuan terbaiknya adalah menjadi keren. Dan menjadi ganteng itu tidak dosa, kan?

Dan kita juga kemudian bisa menyaksikan produk generasi pasca-Soekarno punya kebiasaan selalu men-judge apapun yang buruk adalah hasil dari pengaruh Barat dan Amerika. Kita menyebut “Barat” itu juga karena Nippon menyebut begitu.

Yang di atas tadi, hanya contoh kasar mengenai generation gap yang pernah terjadi di masa lalu. Selanjutnya dia masih terjadi lagi dan lagi, dan pola ini selalu berulang. Generasi tua yang mengeluhkan zaman, merasa para pemuda jadi lebih lemah, rapuh dan manja karena dimanjakan sistem tidak lagi menghormati otoritas mereka. Kemudian jatuh pada romantisasi berlebihan terhadap apa yang pernah mereka alami di masa lalu sebagai hal yang lebih ideal, murni dan alami. Thus dengan sendirinya melahirkan delusi golden age dan ilusi kemurnian budaya.

Kalau ada yang namanya budaya murni tanpa silang pengaruh dengan budaya lain, maka dia pasti sudah tidak terkenang di masa sekarang. Kecuali pada tingkat peradaban di mana dia sudah merasuk ke alam bawah sadar, tapi tidak secara bentuk ritual atau tradisi baku. Yang disebut murni oleh kaum tua kebanyakan sesungguhnya adalah masa di mana mereka masih terlalu belia untuk mengerti kerumitan cara kerja dunia.

Sedangkan, generasi muda pada hampir setiap zaman cenderung antipati, malas mendengarkan kisah semacam itu dan akhirnya membuat mereka berjalan ke arus sejarah yang buas tanpa pemomongan kasepuhan. Generasi muda selalu punya konsentrasi yang berbeda, hal yang mereka anggap lebih urgen buat mereka.

Maiyah membekali kesehatan mental anak zaman now

Pada masa ini, kita bisa lihat generasi muda tidak begitu menganggap penting yang namanya politik kekuasaan. Secara garis besar dari pengamatan saya, konsentrasi generasi yang disebut anak zaman now pada masa ini adalah, pada hal-hal yang bisa berguna untuk kesehatan mental mereka karena fenomena mental illness semakin marak. Maiyah punya banyak sekali bekal untuk mental health, dan kita perlu menggali ini. Karena sangat banyak fungsinya untuk menyelamatkan tidak dengan doktrin belaka.

Bagi generasi yang mengalami era perang ideologi di 80-an dan 90-an, politik kekuasaan mungkin tampak sangat heroik dan penting. Namun tampaknya itu sudah tidak terasa bagi sedulur-sedulur yang lahir pada era 1996 ke atas. Generation gap juga selalu menjadi-jadi karena perbedaaan tolok ukur mana yang urgen dan mana yang tidak.

Pada lingkaran tertentu juga kerap terjadi generasi tua mengukuhkan status quo mereka dengan menduduki posisi otoritas baku. Pada lingkaran semacam ini, generasi muda tidak jarang mewarisi kesadaran generasi tua bulat-bulat dan dengan semena-mena me-sendiko-dawuh-i “delusi golden age” generasi tua mereka komplit juga mengadopsi kecemasan-kecemasan terhadap zaman. Efeknya, karena masih memiliki energi dan stamina, sehingga malah jadi memusuhi golongan yang dianggap “ancaman zaman” oleh orang tua lingkaran mereka sendiri. Ini fenomena yang bisa kita sebut saja “kaum muda yang tua dan cemas sebelum waktunya”.

Kembali berkaca pada sejarah, ketika undangan untuk menghadiri mu’tamar khilafah di Mekkah pasca runtuhnya Turki Usmani, jatuh ke alamat Tjokroaminoto yang dianggap lebih mendukung gerakan kaum muda. Para pemuda followers kaum tua tampaknya merasa tidak terima bahwa Tjokro dianggap “lebih ulama” oleh Mekkah, kemudian menyerang Tjokro dengan berbagai tudingan. Followers wacana sering lebih galak daripada empunya wacana itu sendiri. Salah satu produknya adalah tudingan bahwa Tjokro menganut Ahmadiyah.

Dari sini lahir antagonimse Ahmadiyah, penyesatan yang juga tidak selesai hingga sekarang bahkan berujung pada kasus-kasus diskriminatif. Dan pada akhirnya dalam sejarah kita tahu, kaum tua juga mau tidak mau, mengirim delegasi Hijaz versi mereka sendiri. Hadir tanpa perlu diundang ke mu’tamar khilafah demi menyelamatkan posisi otoritas (baca, status quo) di mata ummat. Kalau punya waktu, pembaca yang budiman bisa membaca notulensi mu’tamar tersebut yang dibukukan oleh Martin Kramer. Dalam notulensi tersebut, sepembacaan saya, semua delegasi dari kita tidak terlalu banyak bersuara.

Lainnya

Topik