Liar Bertanya Demi Menyambut Wahyu
“Orang yang mampu menjawab hidup adalah orang yang mampu menemukan pertanyaan-pertanyaan.” Kalimat tersebut diucapkan oleh Mbah Nun pada awal sekali ketika dipersilakan membabarkan bahasan di Auditorium Prof. KH Abdullah Kahar Muzakkir, kampus UII, kamis 28 Februari 2019. Mbah Nun tidak sekadar basa-basi dengan kalimat tersebut.
Dalam acara bertajuk Dialog Kebangsaan “Islam, Kebangsaan dan Perdamaian,” Mbah Nun benar-benar memposisikan diri sebagai pembuka pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa kita sebut cukup memantik radikalisme pikiran pada atmosfer akademis kampus. Kadang perlu radikal, supaya tidak terlalu jinak.
Karena acara ini berlangsung di kampus, maka memang ada ritual-formalitas seperti kalimat-kalimat sambutan dari Pak Rektor sebagai sing mbahurekso. Tapi walau formalitas, dalam sambutannya, tampak bahwa rektor UII yang sekarang lebih cair. Banyak selipan candaan dan terkesan tidak ingin berpanjang-panjang. Poin penting yang disampaikan Pak Rektor adalah bahwa ICMI dan UII punya kegalauan yang sama dalam melihat wajah Islam saat ini. Acara ini memang hasil dari inisiatif dua lembaga tersebut. Sebelum mengakhiri sambutannya, rektor membacakan ayat “Nun wal qalami wa ma yashthurun...” untuk kemudian acara diserahkan pada MC yang langsung mempersilakan pula Mbah Nun naik ke panggung.
Mbah Nun tidak memulakan dengan assalamualaikum, dan sejak itu pula poin ilmu membuka. Menurut Mbah Nun banyak orang sekarang, dari presiden sampai lurah, mengucapkan salam dengan asal sekenanya tanpa ketulusan saling mengamankan dan tanpa pernah mencari tahu latar belakang awal mula kalimat tersebut. Mbah Nun sempat katakan bahwa, “Kita di sini sudah saling beri’tiqad mengamankan”.
Selain Mbah Nun, acara ini juga akan diisi oleh Pak Haedar Nashir sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Namun pada awal sekali, Pak Haedar belum tiba di lokasi acara. Mbah Nun memberikan bekal pertanyaan-pertanyaan yang berharga untuk memantik pembelajaran para generasi qaumun akhar, alias milenial. Sebab, peserta acara kebanyakan adalah para civitas dan mahasiswa-mahasiswi UII sendiri. Beberapa pertanyaan dari Mbah Nun yang jitu memantik radikalisme akal itu misalnya, bagaimana menjelaskan Tuhan menciptakan surga dan juga neraka tapi dalam konteks perdamaian?
Dan yang kedua, kita diajak bersimulasi kira-kira Tuhan bikin iblis itu untuk apa? Dan apakah kita semua mendapatkan wahyu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak harus mendapat jawaban instan. Dia boleh dibawa pulang. Jauh lebih penting adalah bagaimana para kaum muda terbiasa memerdekakan pikiran dan tidak membatasi imajinasi karena terlalu takut dan dijinakkan oleh berbagai kungkungan mazhab pemikiran serta pemitosan tokoh.
Mbah Nun menaruh harapan besar pada qaumun akhor milenial ini, dan itu disandarkan pada QS Al-Maidah ayat 54. Satu generasi akan lahir, generasi baru yang berada dalam pengasuhan langsung Allah Swt beserta jajaran-Nya. Salah satu indikasi bahwa generasi yang baru lahir ini adalah generasi pilihan, Mbah Nun nyatakan, “Karena bapak-bapak kalian melakukan apa yang harusnya tidak dilakukan, dan tidak melakukan apa-apa yang mestinya dilakukan.” Dan pada titik puncak yang semacam itulah maka Allah sendiri yang akan turun tangan membimbing lahirnya generasi baru.
Maka butuh pertanyaan-pertanyaan pemantik, agar generasi muda ini bisa lebih jauh cakrawala pencariannya. Mereka, dan kita semua berhak menemukan wahyu untuk diri sendiri. Banyak yang berkeyakinan bahwa wahyu telah pensiun setelah era kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Itu diberi pertanyaan juga oleh Mbah Nun bahwa kalau dalam Al-Qur`an ada kata “Yaa ayyuhannas” itu berarti untuk siapa? Jadi apakah wahyu berhenti turun? Tampak para peserta tergugah semangat pencariannya.
Meminjam dan sedikit menggubah salah satu judul buku Mbah Nun mungkin bisa kita sebut: Tidak, wahyu tidak berhenti turun. Hanya manusia sering berhenti bertanya. Dan lebih sering tidak terjadi kontinuasi karena terlalu banyak kelas sosial yang merasa lebih berhak menafsirkan apa itu wahyu sendiri. Bagi Mbah Nun, Qur`an tidak diturunkan untuk kelas-kelas sosial dan strata tertentu. Bahkan lebah dan semut mendapat wahyu. Pertanyaan manusia perlu rewel dan radikal agar manusia tetap mesra dan otentik berhubungan dengan Allah.
Di tengah pembabaran yang penuh kemesraan yang radikal dan revolusioner itu Pak Haedar Nashir akhirnya tiba di lokasi. Mbah Nun sempat memotong sedikit bahasan demi menyambut Pak Haedar yang kemudian turut larut menyimak. Ketika Pak Haedar giliran memberikan materi, beliau mengungkapkan, “Kalau mendengarkan Cak Nun, kita seperti diajak masuk ke alam hakikat dan makrifat”.
Lautan realitas hakikat masih luas untuk kita selami tanpa perlu diseram-seramkan. Selama manusia masih aktif bertanya dan mencari, wahyu tidak akan terasa pernah berhenti diproduksi oleh Sang Maha Produsen Wahyu. Ada sesi tanya jawab yang berlangsung setelah ini, dan itu perlu kita tuangkan dan simak dalam liputan lanjutan setelah yang singkat ini. (MZ Fadil)