Lautan Jilbab sebagai Fenomena Kebudayaan
“Lautan Jilbab! Lautan Jilbab! Gelombang perjuangan, luka pengembaraan, tak mungkin bisa dihentikan. Wahai! Sunyi telah memulai bicara!” — Syair Lautan Jilbab (1988)
Viralnya pemakaian jilbab bagi kaum muslimah belakangan ini sesungguhnya tak terlepas dari upaya Cak Nun pada medio tahun 80-an. Sejak dipentaskannya naskah Lautan Jilbab di penjuru kota di Indonesia, khususnya di Jawa, kala itu turut mewacanakan pemakaian pakaian “penutup aurat” bagi muslimah.
Hal ini bukan berarti Cak Nun merupakan pencetus pertama jilbab, melainkan berkat gerakannya itu, muslimah menjadi berani mengekspresikan kemuslimahannya di tengah arus deradikalisasi simbol Islam regim Soeharto tahun 80-an.
Kita tahu, meminjam istilah Cak Nun, Soeharto mengalami konversi simbolik dari “Islam-Jawa” ke “Jawa-Islam”. Frasa tersebut memproyeksikan atmosfer politik nasional Soeharto yang semula anti Islam pada tahun 80-an kemudian tahun 90-an menjadi mendekat ke Islam.
Yang terakhir ini pada gilirannya ditandai oleh berdirinya ICMI. Konteks sejarah demikian membentangkan bagaimana Islam secara simbolik pernah mengalami represi besar-besaran di bawah payung pemerintahan Soeharto.
Tekanan terhadap Islam, khususnya pelarangan penggunaan jilbab di ruang-ruang publik, membuat gerakan Lautan Jilbab menjadi trajektori penting. Yang menarik ditelisik lebih lanjut, bagaimana Lautan Jilbab semula dikonstruksi, sehingga menjadi gerakan besar sosial-kemasyarakatan.
Berangkat dari pertanyaan itu kemudian menyasar pada transformasi penggunaan jilbab sampai hari ini yang niscaya terikat oleh kepentingan industri budaya. Tulisan ini hendak menjawab dua pertanyaan tersebut.
Konteks Historis
Lautan Jilbab sebagai puisi dan pementasan sesungguhnya tak lahir dari “kekosongan budaya”—pinjam istilah dari Suminto A. Sayuti. Pada mulanya tanggal 17 Maret 1982 manakala Mendikbud Daoed Joesoef meneken Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 mengenai Seragam Sekolah Nasional.
Dampak dari surat tersebut ialah dilarangnya pemakaian jilbab bagi kalangan muslimah di sekolah formal. Sebelum surat itu dilayangkan, di tahun-tahun sebelumnya, pemerintah Soeharto mencurigai gerakan politik Islam yang dianggap akan merongrong Pancasila.
Cak Nun gelisah akan kondisi itu. Ia kemudian menulis puisi Lautan Jilbab. Sajak itu dideklamasikan pada forum Ramadhan on Campus yang dipanitiai Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987. Tahun-tahun berikutnya ia tak sekadar dibacakan secara tunggal oleh Cak Nun, melainkan juga dipentaskan hingga pernah menarik audiens sebanyak 6000 orang. Tentu saja membeludaknya orang niscaya karena formasi pementasan telah mengalami gubahan sedemikian rupa. Pendeknya, Cak Nun menteaterkan Lautan Jilbab.
Beberapa sumber berita cetak menulis kalau pementasan Lautan Jilbab di Stadiun Wilis, Madiun, mencapai 35.000 penonton. Suatu jumlah yang sedemikian fantastis untuk pertunjukan teater masa itu. Koran Jawa Pos tanggal 23 Juli 1991 dengan tajuk Christine Hakim di Lautan Jilbab: Karya Cak Nun Digelar di Go Skate menyebut pertunjukan tersebut sebagai drama kolosal. Di sana tercatat, “Pementasan kali ini melibatkan 70 orang. 40 orang Surabaya dan 30 dari Yogyakarta. Pendukung dari Surabaya kebanyakan berasal kalangan nonteatrikal. Persiapannya membutuhkan waktu dua bulan.”
Berapa harga sistem tiket masa itu? Lebih lanjut Jawa Pos menyiarkan, “Harga tiket Rp 10 ribu dan Rp 5 ribu. Untuk sementara ini, pembelian tiket dilayani dengan sistem kuitansi. Hal itu untuk menangkal kemungkinan adanya pemalsuan karcis. Pementasan dilakukan mulai pukul 19.30.”
Jilbab dan Resistensi
Pembelaan Cak Nun terhadap wong cilik, termasuk muslimah berjilbab, yang mengalami tekanan vertikal dari pemerintah diwujudkan melalui Lautan Jilbab. Bentuk keberpihakan itu merupakan kritik sosial Cak Nun kepada pemerintah yang meneken peraturan secara serampangan.
Dilansir dari majalah Didaktik tahun 1992, seorang penulis anonim yang mewedar resensinya bertajuk Gelombang Lautan Jilbab, mencatat, “Kritik sosial yang dilontarkan Emha dalam ‘Syair Lautan Jilbab’ ditujukan kepada orang-orang yang memandang wanita berjilbab dengan sebelah mata.”
Yang menarik dari argumentasi penulis anonim itu adalah Cak Nun membuat gelombang—sehingga menimbulkan spirit bagi jamak orang—di tengah samudera ketidakadilan yang merugikan kelompok marjinal. “Lautan jilbab ini adalah pementasan drama kolosalnya yang begitu memiliki getaran-budaya cukup meluas dan banyak diperhitungkan.”
Tak heran bila, di samping dipentaskan, Lautan Jilbab sebagai puisi ludes di pasaran. Cetakan perdana tahun 1988 oleh Yayasan Al-Muhammady Jombang lekas habis. Tiga tahun setelahnya diterbitkan ulang oleh SIPRESS, Yogyakarta, tahun 1991. “Karena lautan jilbab adalah gelombang perjuangan, luka pengembaraan yang tidak mungkin bisa dihentikan.”
Industri Jilbab
Di zaman yang mustahil terleas dari cengkeraman kapitalisme, jilbab tak semata-mata bebas nilai. Ia tak lagi dianggap sebagai atribut agama, tapi juga sebuah produk industri massal. Menubuhnya penggunaan jilbab di kalangan muslimah dewasa ini kemudian menarik pasar untuk di-industri-alisasi-kan. Industri menganggap jilbab sebagai ranah strategis sebagai lumbung penghasil kapital yang menjanjikan.
Jilbab yang semula simbolisme agama kini bersalin rupa menjadi tren fesyen. Dari beragam usia, muslimah, pertama-tama, membeli jilbab karena faktor gaya. Industri kemudian membagi kelas-kelas jilbab berdasarkan kualitas.
Iklan yang dipampangkan di media massa, baik cetak maupun daring, turut serta mengatalasekan jilbab berbasiskan selera. Patokan harga pun berkisar corak menengah maupun elite.
Komodifikasi jilbab demikian menginduk pada logika pasar. Pasar berperan strategis dalam melakukan ekspansi produk ke segala lapisan kelas muslimah. Dari bahan katun hingga sutra diperjualbelikan di lingkup pasar tradisinal dan modern.
Yang tak kalah fantastis, jilbab sebagai penutup tubuh itu, kini kemudian difestivalkan. Kita mengenalnya sebagai lomba paling prestius di mal-mal karena juga pelbagai produk kecantikan berperan serta menjadi sponsor utama.
Industri jilbab sebagai fesyen inilah yang dalam perspektif budaya populer membentuk identitas muslimah kelas menengah baru. Di kalangan tersebut pada praktiknya melahirkan parameter anyar: mana muslimah yang paling islami menurut “kesyarian” atributif. Demikian pula mana muslimah yang paling cantik di antara kontestasi jilbab itu.
Industri budaya jilbab, dengan demikian, memunculkan fenomena-fenomena kontemporer mengenai “kesalehan identitas” yang marak dipercakapkan kalangan muslimah kelas menengah. Bahkan kondisi itu membentuk pula anggapan sebagian besar masyarakat betapa kualitas iman seseorang ditentukan oleh apa yang dikenakan—sementara apa yang “di-laku-kan” seseorang dianggap sekunder.
Fenomena tersebut praktis bedampak pada dikotomi “kesalehan sosial” dan “kesalehan personal”. Kedua hal ini sekonyong-konyong diparameterkan secara banal, yakni kesalehan simbolik. Cak Nun menengahi perkara itu. Ia menyatakan kalau seseorang mengupayakan kesalehan personal maka sudah semestinya berdampak sosial. Maka tak perlu lagi pembagian yang lewah semacam itu.
Berangkat dari Lautan Jilbab yang ditandaskan Cak Nun dua setengah dekade silam, perlukah gerakan sosial serupa hari ini? Sekalipun dengan catatan kritis bahwa gerakan demikian akan menemui tembok besar berupa industri budaya jilbab yang makin fenomenal.