CakNun.com

Krisis Brakodin

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 3 menit

Entah apa yang merasukiku. Maaf ini bukan sedang menyanyi. Tapi ini semacam bentuk keheranan kepada diri sendiri. Maksud saya begini. Setiap kali duduk mendengar khotbah Jumat, entah kenapa mata saya selalu sulit membuka. Mata ini seperti dibanduli satu truk batu kali. Berat rasanya untuk melek. Maka setiap Jumatan posisi paling ideal adalah bersandar di tembok sembari memejam. Jangan ditiru! Dan mohon dimaafkan.

Namun pada Jumatan kemarin (Jumat, 29/11/2019), ada yang ‘menganggu’ kenikmatan saya memejamkan mata. Ketika sang khatib dengan keras mengatakan, “Adalah shalat amalan yang pertama kali akan dihisab oleh Allah di akhirat kelak. Maka kalau ada orang yang beragama Islam tapi kok tidak shalat, mereka bisa disebut kafir!” Mak gregah, tiba-tiba saya tergeragap. Bangun dan tersadar. Duuh serem amat yak!

Sepenuhnya saya sepakat jika shalat menjadi amalan pertama manusia yang akan dihisab. Hal ini berpijak pada sebuah riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw bersabda, “Perkara yang pertama kali dihisab adalah shalat (hubungan hamba dengan Allah). Sedangkan yang diputuskan pertama kali di antara manusia adalah (yang berkaitan dengan) darah.” (HR. An-Nasa’i no. 3991. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani). Meski toh pada kenyataannya ‘nanti’ hanya Allah yang Maha benar tahu amalan apa yang akan dihisab untuk pertama kalinya. Wallahu alam.

Kembali ke bab shalat. Shalat merupakan ibadah mahdloh, hubungan bilateral antara hamba dengan Tuhan-Nya. Sehingga yang paling benar-benar tahu tentang kualitas dan kuantitas shalat seseorang tidak lain adalah hamba itu sendiri dan Allah. Tidak ada satu pihak pun yang berhak menilai, atau men-judge shalat seseorang kecuali Allah. Terlebih lagi melabeli kafir bagi yang tidak shalat. Itu kewanen. Seolah mengakuisisi wewenangnya Allah Swt. Nauzubillah min dzalik.

Ranah seorang khatib di atas mimbar Jumat tidaklah untuk mendakwa, menakuti-nakuti, atau mengancam. Namun lebih ke semangat untuk mengajak (ruhud da’wah). Misal, mari shalat fardhu tepat waktu. Bagi laki-laki baiknya kita shalat berjamaah di Masjid. Jangan buru-buru ketika kita mendirikan shalat, dlsb. Wilayah manusia ialah tawaashou bil-haqqi wa tawaashou bish-shobr; saling menasihati dengan cara yang benar dan sabar.” (Al-’Ashr 103: Ayat 3).

***

Sepertinya kita perlu bercermin kepada Pakde Brakodin.

Tentu itu andaikan saya punya ilmu, kefasihan, dan ilmu untuk berkhotbah”, Brakodin melanjutkan, “bukan karena saya ingin menasehati orang, dengan anggapan bahwa saya punya kedudukan keIslaman yang selayaknya punya hak menasehati. Apalagi menganggap para jamaah adalah orang yang saya anggap belum begitu Islam, sementara saya sudah sangat Islam sehingga layak berkhotbah” – (Daur II – 20, Latihan Lemah Lembut)

Bahwa seorang khatib yang berkhutbah semestinya tidak merasa dirinya punya kedudukan Islam yang lebih tinggi dari jamaah. Atau sebaliknya, menganggap jamaah belum begitu Islam atau belum termasuk golongan orang shalih sehingga layak diberikan nasihat oleh sang khatib.

Untuk semacam latihan. Serta saya ingin menguji diri saya berapa persen mampu melakukan anjuran Allah” – (Daur II – 20, Latihan Lemah Lembut)

Alangkah baiknya jika seorang khatib tidak galak dalam menyampaikan ceramah. Dan seyogianya khatib atau siapa saja yang berbicara di depan jamaah, berusaha untuk melaksanakan anjuran Allah Swt.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali ‘Imron: 159).

Sekian tahun belakangan ini, citra Islam diidentikkan dengan terorisme, kekerasan, persekusi, dan tindakan amoral lainnya. Jelas ini bertolak belakang dengan ruh Islam yang sebenarnya yakni sebagai rahmatan lil ’alamin. Padahal muslim di negeri ini mayoritas. Dan laiknya mayoritas kepada minoritas adalah memeluk bukan menggebuk. Merangkul bukan memukul. Mengayomi bukan mengintimidasi. Namun yang terjadi sekarang justru jauh panggang dari api.

Maka cara paling bijak dan masuk akal adalah muhasabah total. Introspeksi ke diri sendiri. Jangan-jangan selama ini dan terjadi di banyak tempat, Islam ditampilkan secara keras dan kasar serupa dengan khatib di Masjid tempat saya kemarin Jumatan. Akibatnya Islam pun kian dijauhi dan dimusuhi. Semoga pendapat saya tidak sepenuhnya benar.

Di zaman talbis ini memang sulit untuk membedakan mana putih mana hitam. Ada yang bersorban namun nada bicaranya mengancam bak Abu Jahal. Ada yang bergelar pemuka agama namun suka menyesatkan agama lainnya. Bahkan lantang berteriak takbir tapi bermaksud memerangi orang/golongan lain yang tidak sepaham. Saat ini kita benar-benar mengalami krisis “Brakodin”. Semakin jarang sekarang kita temui manusia yang bersikap lemah-lembut dan rendah hati.

Syukur kita sembahkan, karena telah dipertemukan dan dikumpulkan Tuhan dalam jalinan keluarga besar Jannatul Maiyah. Di mana di dalamnya dihuni orang-orang berperangai lemah-lembut — lembah-manah. Apa buktinya? Buktinya semakin hari Majelis Maiyah maupun forum Sinau Bareng dimana saja semakin banyak diikuti masyarakat. Maiyah menjelma magnet di tengah-tengah kehidupan ummat. Mereka berduyun-duyun datang mendekat, merapat dan berjanji setia merawat kebun Maiyah hingga akhir hayat.

Shallu ‘alan Nabi Muhammad.

Gemolong, pengujung November 2019

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil