Kontinuasi Sanad Perjuangan Kegembiraan dan Cinta
“Guru utama adalah orang tua, yang di sekolah posisinya hanya sebagai asisten guru.” Begitu Bu Via ungkapkan di hadapan ribuan pejalan cinta yang berkumpul di Mentoro, Sumobito pada 26 Mei 2019 Masehi. Tengah malam nanti, tanggal 27 Mei adalah hari lahir Mbah Nun yang ke-66 dan tanggal 28-nya adalah hari lahir Cak Mif.
Apa kiranya arti sebuah peringatan hari kelahiran? Di majelis Maiyah pada mata air yang benderang di PadhangmBulan, hari kelahiran marja’ dan guru yang kita cintai diisi dengan petikan hikmah dan kisah perjalanan. Untuk apa? Bukankah waktu pasti berlalu? Justru karena waktu berlalu, maka kisah dikisahkan agar generasi baru tidak kehilangan jejak rasa dan jiwa zaman yang lampau. Dengan begitu kita tidak hanya menjadi tukang ambil penggal bulatan ilmu tanpa mengerti asal muasalnya.
Waktu pasti berlalu, begitulah sifatnya dunia berubah karena memang itulah yang dilakukannya. Kalau kita terjebak pada bentuk maka kita bisa terjebak romantisme untuk mengulang, mentradisikan belaka sambil kehilangan ruh esensi perjuangan.
Apa yang disampaikan Bu Via mengenai pola didik dalam keluarga seperti menjadi kontinuasi dari sikap pendidikan serta amal sosial yang telah lama ditabung oleh generasi-generasi terdahulu keluarga Mbah Nun seperti yang kemudian dikisahkan oleh Cak Mif. Ada capaian masa lalu yang perlu dipertahankan ada yang perlu ditemukan formula barunya. Muhammad Saw pada setelah Fathul Makkah merombak kebiasaan menaruh patung dan sesembahan di Ka’bah padahal dalam satu versi sejarah tradisi tersebut adalah hasil kreasi Abdul Muthalib kakek beliau sendiri. Muhammad Saw meneruskan perjuangan kakek beliau tanpa terjebak pada romantisme tradisi tapi justru menjadikannya titik pijak menuju tradisi yang lebih baru. Ruh perjuangannya tetap sama, tapi bentuknya berbeda.
Ketika Cak Mif membagikan kisah dari masa lalu, kita bisa melihat perjalanan keluarga Ayah Muhammad dan Bunda Halimah dalam memberdayakan, menyelamatkan, mencerdaskan serta menggembirakan orang-orang. Cak Mif mengajak kita ke masa tahun 70-an, di mana transportasi dan komunikasi belum secanggih sekarang. Saat-saat di mana Cak Mif kemudian harus melepas status kemahasiswaan beliau untuk meneruskan perjuangan ayah Muhammad, meneruskan lembaga pendidikan keluarga. Di tangan Cak Mif lah, tanpa juga pernah bercita-cita akan kebesaran, lembaga pendidikan ini kemudian berkembang. Sangat mengesankan bagaimana Cak Mif kisahkan, bahwa beliau masih hapal 24 orang yang menjadi anggota awal pendidikan dasar di madrasah setingkat sekolah dasar. Ternyata sebagian besar tidak mungkin melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih lanjut dan Cak Mif berinisiatif membuka lembaga pendidikan tingkat menengah atas.
Adalah cinta yang hadir pada malam hari ini, tak terhitung tak tergambarkan berbagai macam ekspresi serta gejala cinta yang mewarnai malam di Menturo kali ini dan malam-malam setelah ini di majelis PadhangmBulan. Majelis yang sudah ada sejak 1992 ini, yang awalnya adalah majelis pengajian kecil-kecilan untuk keluarga dan orang terdekat. Seperti mata air yang awalnya hanya memancar setetes demi setetes, kemudian menjadi telaga, kemudian mengalir menjadi berbagai lelaku jalan-jalan Maiyah di berbagai titik.
Di situlah juga kita bisa lihat, Mbah Nun juga adalah pelaku kontinuasi ruh perjuangan yang fondasinya ada pada para sesepuh dan leluhur. Ketika tanpa disangka PadhangMbulan mengalirkan cahaya ke berbagai arah, sudah sejak lama banyak yang menyangka ini adalah bentuk penggumpalan massa, mobilisasi atau hasrat politik kekuasaan yang praktis. PadhangmBulan sudah punya dinamikanya sendiri, generasi demi generasi lahir. Cobaan dan tempaan sudah dialami, PadhangmBulan dalam wujud majelis-majelis Maiyah tetap mengalirkan kemesraan dan kebahagiaan ke segala penjuru, tetap dan terus berjalan. Maka apabila cinta yang ditanam, cinta pula yang tumbuh, bersemai dan berkembang. Cinta mengumpulkan kita semua di sini, melalui aliran waktu, ruang dan berbagai dimensi.
Getaran cinta diekspresikan dalam bentuk persembahan nomor-nomor spesial oleh KiaiKanjeng pada Mbah Nun. Guru dalam artian yang sebenarnya, yang bukan sekadar memberikan ajaran baku tapi mencontohkan bagaimana kita bisa hidup dengan memaksimalkan segala daya dari diri sendiri.
Mbah Nun mencontohkan pada kita bagaimana beliau tidak pernah mencari kesetujuan dari para jamaah dengan cara-cara pengkeramatan yang berlebihan. Mbah Nun jarang sekali menundukkan dengan narasi-narasi keramat, bahwa seolah pikiran dan pemikiran ini-itu hasil dari kutipan kitab-kitab masa lalu, yang dijadikan legitimasi kelas para ahli kitab-kitab. Mbah Nun meletakkan narasi pada sewajarnya, bukan alat otoritas keilmuan, tapi menjadi bahasan yang terbuka untuk disetujui atau tidak disetujui dan dihargai semestinya sebagai pendapat. Mbah Nun mengajak kita untuk naik kelas, menjadi versi terbaik dari siapa diri kita sebanrnya, bukan menjadi followers apalagi Cak Nun wannabe.
Apa yang dilakukan oleh Cak Mif dan Mbah Nun adalah kontinuasi dari cikal-bakal sikap sosial yang mencerdaskan dan menggembirakan, oleh para generasi terdahulu. Waktu akan berlalu, dunia pasti berubah. Kita para JM sudah mendapat berbagai banyak kegembiraan pada majelis-majelis Maiyah, maka dengan otentik serta presisi kita juga perlu bertekad untuk menjadi kontinuasi lagi dan lagi atas benih-benih cinta dan kegembiraan ini di manapun kita berada.
Dalang Mas Sigid dengan caranya sendiri, sebagai dalang tentu saja mengekspresikan cintanya dengan mementaskan lakon Dewaruci. Sebuah lakon yang dalam pedalangan dianggap lakon carangan. Dan dengan cara paling otentik seperti apakah kita akan mengekspresikan cinta kita? Dengan menjadi benih kegembiraan pada wilayah mana? Tak masalah, kita akan terus berjalan melanjutkan dan mengkontinuasi ruh perjuangan yang kita dapat di berbagai majelis Maiyah. (MZ Fadil)