Klaten Menyinari Peradaban, Ngaji Bareng di Pondok At-Ta’awun
“Prosesi wisuda. Kepada wisudawan-wisudawati dan ustadz ustadzah untuk menempatkan diri,” suara seorang ibu pemandu acara terdengar dari arah panggung. Ketika para wisudawan-wisudawati telah merampungkan pembacaan surat-surat pendek dalam Juz Amma. Sebelumnya, para wisudawan-wisudawati yang berjubah toga ala sarjana Yunani ini memasuki area berlangsungnya acara, di pekarangan Masjid At-Ta’awun, dengan diantarkan oleh lantunan nada-nada berbahasa Arab dengan tetabuhan khas ala pondok pesantren.
Pondok Pesantren At-Ta’awun sedang dalam prosesi mengesahkan khataman para santriwan santriwatinya, ada yang khataman pembacaan maupun ada yang khataman hapalan. Demi mensyukuri hal ini Ngaji Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng digelar. Tentu selain ungkapan syukur juga agar prosesi ini dapat dinikmati dan bermanfaat bersama para warga dan masyarakat sekitar. Sebab kita tahu, Sinau Bareng atau Ngaji Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng selalu bernilai ibadah sosial, menjangkau cakrawala kebersamaan dan merangkul sesrawungan.
Pondok At-Ta’Awun ini terletak di Jl. Wonosari-Pakis, Wantilan, Jelobo, Wonosari, Kabupaten Klaten, provinsi Jawa Tengah. Cukup mblusuk dari keramaian pembangunan Jalan Raya Yogya-Solo. Tampaknya kegembiraan saja yang ada, kemeriahan warna-warni memanjakan mata, gapura masjid dihiasi lampu bersinar hijau dan kuning pas dengan suasana masjid. Tidak ada tabrakan warna yang menyakitkan mata. Meriah tapi pas.
Satu persatu nama para wisudawan dan wisudawati dibacakan, lengkap dengan alamat serta nama orang tua yang tentu sedang bersuka hati atas derap langkah putra-putri mereka. Dulu sekali, ada istilah “klabers” plesetan dari Klaten Bersinar. Tampaknya malam ini di pelosok Klaten memang tengah memancar kebahagiaan, bersinar-sinar kerinduan itu.
Kloso yang digelar oleh penyelenggara acara mulai terisi dan tidak butuh waktu lama untuk akhirnya memadat. Bahkan para hadirin, para jamaah mulai memenuhi segala sudut. Dalam Ngaji Bareng, Sinau Bareng atau majelis-majelis Maiyah di manapun selalu ada manusia dari berbagai wilayah, bahkan dari jauh yang juga ikut datang. Barusan beberapa orang berpeci, dengan selempangan sorban, mengenakan sandal menenteng carrier besar yang ditutup rain coat. Tampak seperti baru turun gunung, entah dari gunung mana. Para ibu dan para gadis bersolek, para lelaki menyambut sebagai wibawa tuan rumah. Angkringan berjejer, jajanan dari cilok sampai burger juga ada. Disadari atau tidak, majelis Maiyah di manapun telah menjembatani mengalirnya proses kebudayaan, melancarkan kembali aliran peradaban yang telah sekian lama disumbat oleh kebekuan bentuk negara.
Prosesi wisuda telah rampung dengan suka cita. Panggung mulai terisi rindu, mata para hadirin menanti. Sosok Mbah Nun dan jajaran KiaiKanjeng terpampang di poster yang menjadi background panggung. Pondok pesantren memang mirip dengan sistem pendidikan asrama para rabi dan para calon pendeta di Eropa maupun di Judea sejak era Romawi dulu, tapi di sini dia juga sepertinya kawin dengan konsep tanah dan mewarisi tradisi raja-raja Jawa. Itu tampak juga dari sambutan pemandu acara yang berada di panggung setelah semua prosesi selesai.
Tata bahasa yang kromo, yang penulis hanya bisa meresapi nuansanya tanpa mengerti artinya, terdengar ada kalimat kepareng poro panembahan, itu jelas warisan dari masa lampau di mana setiap desa adalah peradaban sendiri. Pemandu acara menyilakan untuk dilagukan Mars At-Ta’awun. Nada Mars biasanya adalah nada perang, tapi saat mengalun ternyata penuh cengkok qasidah. Qasidah sendiri aslinya adalah gaya sastra Persia kan? Ah rasanya malam ini Ngaji Bareng digelar untuk menyinari peradaban demi peradaban. Mengikhlaskan yang lampau dan menyambut yang akan datang. Malam ini adalah proses menyinari peradaban masa hadapan.