CakNun.com

Kita Manusia Lemah, Mengapa Tidak Waspada

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

1. Perkenan Belum Sakit. Buku ini ditulis dengan “lubang ranjau” yang berangkat dari keadaan saya yang seolah-olah sehat. Saya diprasangkai sebagai sehat sedemikian rupa. Padahal, itu sangat relatif. Saya bukan sehat, melainkan belum diperkenankan untuk sakit oleh Maha Pemilik sehat dan sakit.–Mbah Nun

Sahabat dan kolega kita, Dokter Ade Hashman, menulis buku yang berisi pembelajaran-pembelajarannya mengenai kesehatan kepada Mbah Nun dan Maiyah. Buku itu berjudul Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib yang sebentar lagi akan terbit oleh Penerbit Bentang Pustaka.

Sampai saat ini, dalam usianya yang telah memasuki 66 tahun, Mbah Nun masih terus aktif, produktif, dan nyaris tanpa jeda dalam membersamai masyarakat dan generasi muda lewat Sinau Bareng, dan semua itu dijalani beliau dalam keadaan yang sehat dan prima. Sangat sering saya jumpai beliau tiba di ruang transit dalam pancaran wajah yang sangat segar.

Belum lagi aktivitas lain seperti menulis yang bagi beliau seperti setoran rutin kepada Allah. Jika Sinau Bareng masuk bagian akhir, dan beliau harus merespons pertanyaan-pertanyaan, di dini hari seperti itu, tak sedikit pun berkurang kekonstanannya dalam berpikir. Jarang pula kita lihat beliau menguap. Sementara saya setiap kali tiba saat shalawatan, hampir bisa saya pastikan, selalu menguap.

Fenomena tampak mata pada diri Mbah Nun itulah yang menarik rasa ingin tahu Dokter Ade Hashman untuk belajar kesehatan kepada beliau. Sebagai seorang dokter, maka pendekatan pembelajaran dan penelitiannya pun berbasis kedokteran. Dokter Ade mewawancarai Mbah Nun, plus mengecek langsung beberapa indikator kondisi fisikal beliau untuk dibawa pulang dan dipelajari.

Dokter menulis di buku ini, “…Tokoh yang usianya di atas Emha dengan fisik tetap bugar juga masih amat banyak. Tapi, sosok Emha menjadi menarik karena kehidupan yang dijalaninya sangat jauh dari pakem standar kesehatan modern. Dengan segudang aktivitas yang sangat melelahkan, dia masih fit dan bugar serta tetap kreatif dan produktif. Sungguh menarik untuk ditelisik, kan?

Kreativitas luar biasa hanya mungkin lahir dari orang yang sehat dan memiliki kerja otak optimal. Kreativitas luar biasa juga dapat menjadi bukti seseorang memiliki jiwa yang sehat, terbebas dari tekanan dan kekhawatiran sehingga energinya dapat mengalir bebas. Orang sehat sangat efisien mengelola energi. Nyatanya, memasuki usia 60-an tahun, Emha punya kegiatan yang jauh lebih padat dan sibuk dibanding saat masih usia 50-an, 40-an, bahkan 30-an tahun. Bisa disimpulkan, dia mampu mengelola energi tubuh dengan baik.”

Silakan nanti dibaca langsung di buku ini bagaimana Dokter Ade menyelami sisi-sisi kesehatan yang Ia petik dari kehidupan Mbah Nun. Termasuk bagaimana aktivitas Maiyahan atau Sinau Bareng memberikan kontribusi bagi kesehatan para pelakunya atau siapa saja yang mengikutinya.

Dalam kata pengantar buku ini, kita juga dapat menyimak penuturan Dokter Eddot yang sedari dulu setia menemani Mbah Nun dalam urusan kesehatan khususnya saat Mbah Nun mengalami fenomena kesehatan yang cukup ekstrem pada awal tahun 2000-an, namun alhamdulillah, dapat terlewati dengan baik.

Tentang apa-apa yang disampaikan Dokter Ade Hashman dalam buku ini, yang menarik adalah respons Mbah Nun, dan itu beliau tuangkan dalam epilog, yang memang dimintakan oleh dokter Ade sendiri maupun penerbit Bentang. Epilog itu bertolak dari sikap yang penuh kewaspadaan. Maka judul epilog itu justru adalah Nabi Pun Sakit. Mbah Nun mengajak kita untuk jangan sampai sedikit pun kecolongan rasa sombong dan kurang presisi penglihatan menyangkut sehat tidak sehat dan sakit tidak sakit.

Apa yang saya kutip di awal tulisan ini adalah pembuka epilog Mbah Nun tersebut, yang dengan tegas memberi contoh bagaimana secara hakiki kita harus bersikap seandainya kita mendapat anugerah berupa sehat: yaitu, kita hanya berada pada posisi diberi perkenan untuk belum sakit. Artinya betapa relatif situasi itu, yang sewaktu-waktu bisa saja Allah memberi perkenan sebaliknya yaitu sakit.

Berbeda dengan kata pengantar atau epilog yang selama ini Mbah Nun tulis, barangkali agar poin-poinnya tertangkap dengan jelas, kali ini Mbah Nun menuliskan epilog itu dalam bentuk pointers dengan masing-masing pointer terdapat judul. Jumlahnya ada 41 pointer. Lewat pointer itu, Mbah Nun membawa kembali buku ini ke dalam penyeimbangan dengan membawa kita kepada cara berpikir yang lengkap, melingkar, dan bersifat memagari diri agak tidak terjebak kepada bahkan secuil GR pun dalam hal kesehatan.

Itulah sebabnya, di Mocopat Syafaat 17 Mei 2019 lalu, Mbah Nun membawa kita pada kutub yang lain demi penyeimbangan itu. Jika pada Sinau-Sinau Bareng sebelumnya, kita mendengar, misalnya, bagaimana Mbah Nun mendorong kita untuk menyadari betapa manusia memiliki potensi yang besar, termasuk dalam hal membangun kesehatan diri, dan jika Mbah Nun selama ini menerangkan kepada kita bahwa dalam diri manusia ada kekuatan sulthaniyah yang jarang didayagunakan manusia, maka itu semua juga hendaknya tidak melupakan kepada situasi yang sebaliknya.

Situasi yang dimaksud adalah sejatinya manusia itu diliputi kelemahan. Lihat saja, ada orang yang sehari-harinya boleh kata sehat, baik, dan tiba-tiba terdapat virus yang membuatnya sakit dan terbaring di rumah sakit, tanpa pernah mampu dijelaskan bagaimana virus itu masuk ke tubuhnya, apa sebab-sebabnya, dan lain-lainnya. Di situlah, kemudian Mbah Nun mengajak kita merenung lewat pernyataan beliau, “Kita ini manusia sudah jelas-jelas lemah, kok tidak waspada!”.

Empat puluh satu pointers epilog Mbah Nun tak lain adalah pengingat bagi kita untuk senantiasa waspada dan untuk senantiasa menaikkan terus level kesadaran-cara-pandang terhadap hal-hal yang menyangkut kesehatan. Mbah Nun misalnya menulis, dan ini mungkin jarang kita punya kesadaran semacam itu, “34. Jernih Memandang Diri. Pun keadaan sehat, juga bisa merupakan ujian, hukuman, peringatan, pembiaran, atau perintah bagi yang mengalaminya. Sehat yang sejati adalah kalau orang yang mengalaminya memandang keadaan dirinya secara jernih sehingga menemukan apa yang terbaik yang sebaiknya dia lakukan dari dan untuk kesehatannya.”

Kemudian tentang hakikat sehat dan sakit Mbah Nun juga mengingatkan, “32. Milik Allah. Sehat dan sakit itu milik Allah. Hidup dan mati itu milik Allah. Di antara keempatnya terdapat sangat sedikit sebab akibat yang bisa diteliti, diduga atau disimpulkannya oleh ilmu. Tetapi, keempatnya mutlak berada di tangan Allah, dan hanya Allah yang mengambil keputusan apakah di antara empat hal itu dikaitkan atau tidak dikaitkan.”

Jika Nabi pun pernah mengalami sakit, maka tidakkah merupakan sikap yang tak pantas jika kita berani-berani mengklaim punya modal dan independensi dalam merasa sehat. Itulah sebabnya, dalam keadaan apapun, kerendahan hati, ketawadlu’an, dan rasa tak punya apa-apa di hadapan Allah adalah satu-satunya pilihan. Lewat epilog ini, Mbah Nun membimbing kita ke sana, yakni agar ketika kita sehat maupun sakit, kita tidak salah menilai atas sehat maupun sakit kita itu.

23 Mei 2019

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik