Ketika Patub Minta Waktu Pak Umbu
Sore tadi Letto pentas di Badung Bali dalam penutupan acara Santripreneur 2019. Dari jam empat sore sampai menjelang maghrib. Dan ini Bali. Artinya, untuk Letto, mereka merasa tak elok kalau berada di Bali hanya untuk pentas, tanpa meluangkan waktu sowan kepada orang yang dihormati Mbah Nun: Umbu Landu Paranggi.
Demikianlah, sebagai player yang merangkap manajer Letto, Patub berinisiatif minta waktu untuk bisa sowan Pak Umbu, supaya khususnya Mas Sabrang, bisa ketemu. Ini yang penting. Sebab Pak Umbu juga punya perhatian khusus. Tapi kalau Mas Sabrang, Patub, dan anggota Letto lainnya bertemu Pak Umbu itu memang kerasa seperti bertemunya anak-anak dengan saudara (yang dituakan) ayahnya yang berada di tempat lain yang jauh. Tersambungnya kekeluargaan, tapi juga tersambungnya antargenerasi. Di dalamnya ada harapan-harapan kepada keponakan-keponakan itu, yang disayanginya.
Yang bikin salah tingkah Patub adalah bahwa kasih sayang itu bisa memunculkan respons tak terduga. Pak Umbu melarang Patub dkk datang ke rumah, tapi sebaliknya, nggak main-main ini, Pak Umbu yang datang ke tempat Letto pentas sekalian mau nonton Letto. Betapa cinta beliau sama Mas Sabrang dan kawan-kawannya itu. Letto berjalan beberapa langkah, Pak Umbu menyongsongnya dengan berlari.
Habis itu ngobrollah di resto dekat Mall Badung. Karena memang Letto tadi pentas di depan Mall itu. Jadi, malam ini Patub dan Sabrang bertemu Pak Umbu sambil makan malam, dan nanti lanjut ke hotel. Pak Umbu mau memberi kejutan katanya.
Pak Umbu rupanya sangat dekat dan perhatian sama keluarga Mbah Nun. Bahkan kalau tak salah, beliau mengingat nama-nama orang di sekitar Mbah Nun meski belum pernah ketemu. Beberapa hari lalu, beliau nelepon Mas Sabrang buat menanyakan kabarnya. Dan di pertemuan tadi sempat video call-an sama Nawai, putri pertama Mas Sabrang yang masih duduk di SD. Laiknya seorang Kakek yang kangen cucunya.
Apa yang diobrolkan Pak Umbu di resto tadi? Berbagai hal, kata Patub. Sambil diselingi makan Bebek Peking. Misal Pak Umbu bilang kalau lagu Letto “Sampai Nanti Sampai Mati” bisa dibuat 3 episode. Istimewa kiranya bahwa Beliau mendengarkan lagu-lagu Letto dan memberikan saran seperti itu. Artinya, seorang Umbu Landu Paranggi bukan hanya di luar dugaan justru yang mendorong teman-teman di Bali untuk bikin Simpul Maiyah Bali yang diberinya nama Masuisani, tapi juga ternyata memperhatikan lagu-lagu Letto.
Pak Umbu banyak cerita tentang Persada Studi Klub (PSK) di Malioboro kala itu yang jadi kawah candradimuka Mbah Nun dan para penyair semasanya. Saya ingin Patub bisa melaporkan pointernya dengan tertib. Tapi rupanya dia harus berjuang keras dan mungkin akan tersiksa. Saya tak tega. Dia menyela, “Puisi yang disembunyikan dari kata-kata. Itulah rumusnya.” Baiklah, selanjutnya saya salin saja beberapa kalimat Patub dalam menyimak Pak Umbu dan Mas Sabrang, dan mengutip apa-apa yang dikatakan Pak Umbu.
“Memang di PSK itu budayanya liar. Liar menulis, liar berekspresi. Em (Emha Ainun Nadjib) itu sebelum umur 30 tahun sudah bicara agama. Mana ada penulis seperti itu di jaman itu seberani dia.”
“Pijakan start merasa diri-an ini bahaya. Pede berlebihan. Dalam dunia pendidikan. Dunia menulis, olahraga dll.”
“Orang harus gigih. Orang sekarang cepat merasa lelah, merasa letih. Sudah 74 th merdeka masa masih seperti itu.”
“Dulu lingkaran saya di Jogja, Bandung, dan Bali. Tapi di Bandung saya nggak dapat. Di sana angkatannya Emil Salim dibredel Orde Baru. Majalah Mahasiswa Indonesia dibredel. Akhirnya malah ketemu orang-orang Bandung di Bali.”
“Penyair Indonesia harusnya belajar dari Indonesia. Sekarang jamannya dilanda agama globalisasi. Indonesia terlalu kaya, diincar di mana-mana.”
“Kenapa Indonesia tidak belajar dari Jogja. Tentang tulisan.”
“Orang kalo mau tau dan belajar Rendra, jangan di pementasan. Itu sudah sering. Intip lah latihannya.”
“Tahun 69 itu adalah tempat terbitnya tahu brontak di Jogja.”
“Sebelum cahaya itu harus digali lagi. Masih ada yang tersembunyi. Sabrang menulis sejak umur 25. Pak Umbu dibilangi si Mati Angin dan si Batu Diam oleh ayah ibunya. Di adatnya, anak pertama harus jadi tiang keluarga, gak boleh pergi. Tapi anehnya saya dibolehkan pergi. Pak Umbu juga umur 25 ketika di Persada.”
“Kalo ilmu dan politik menjadi kotor, korup, maka serahkanlah ke puisi. Padahal mana ada ilmu itu kotor. Semua ilmu itu memuliakan manusia dan memanusiakan.”
***
Itulah beberapa yang berhasil Patub tuturkan kepada saya dari Pak Umbu. Saya mengejar lebih lanjut kepada Patub mengenai apa yang disampaikan Pak Umbu supaya lebih jelas bagi saya. Dan Patub memang sampel hahaha dengan menjawab, “Ojo nagih. Aku mung nadahi. Infone ming semono kak.”
Atau sebenarnya kalimat-kalimat Pak Umbu itu sudah cukup jelas. Sehingga, apalagi yang mau dijelaskan? []