Kesadaran Rezeki
Pagi buta lelaki kurus sudah menenteng beberapa lembar koran, ia berjalan menuju pos polisi di perempatan jalan. Langkahnya disambut rintikan hujan yang semakin deras. Beberapa orang yang lewat mengikuti jejak lelaki itu. Mereka bermaksud ngiyup. Tak lama, terdengar mereka ngobrol.
“Sudah berapa lama jualan koran?”
“Alhamdulillah sudah tujuh tahun Pak.”
“Seharian bisa hasil berapa Mas?”
“Ya cukup lah Pak untuk nafkah anak-isteri.”
“Kalau hujan terus kayak gini, jualan gak?”
“Ya saya nunggu hujan reda.”
“Kalau gak reda-reda?”
“Ya alhamdulillah saya berdoa.”
“Kalau gak jualan gak dapat rezeki dong.”
“Lha itu…rezeki saya berdoa ketika hujan. Bukankah kata Ustadz Fredi, Allah membuka pintu mustajab bagi doa yang dipanjatkan saat hujan.”
Bapak Penanya manggut-manggut, seakan ia baru tahu bahwa berdoa ketika hujan turun merupakan rezeki. Bapak menanya lagi. “Lha terus…kalau gak jualan, nafkah untuk anak istri bagaimana?”
“Ya kalau masih ada, sisa untung jualan kemarin, kalau gak ada kami sekeluarga puasa!”
“Gak dapat rezeki dong?”
“Rezeki kami hari itu puasa Pak.”
“Kok bisa?”
“Iya Pak. Kata Nabi berpuasa itu menjadikan kita sehat. Bukankah sehat itu rezeki Pak?”
“Ooo…ya…ya…”
Ilustrasi tadi menggambarkan tentang kesadaran Rezeki. Bahwa rezeki tidak hanya sebatas orang menerima lembaran rupiah. Kadang menerima gepokan rupiah justru awal bencana. Karena ada hukum abadi menimpa kebanyakan manusia: bertambahnya harta, sebanding lurus dengan bertambahnya keinginan nafsu; kuatnya syahwat nafsu akan memperlemah daya akal.
Allah pasti mendatangkan rezeki dimanapun kapanpun, bahkan tiap sepersekian detik, karena sudah menjadi janji-Nya. Wama min daabatin illa ‘ala Allah rizquha (tiada satupun binatang melata, kecuali dalam tanggungan Allah rezekinya). Rezeki yang paling nyata dan belum putus-putus juga adalah kehidupan manusia di dunia ini. Karena tanpa kehidupan apa arti dunia seisinya?
Rezeki bukan tiada dan tidak datang, tetapi seringkali belum kita sadari.