Kembali ke Spirit
Maiyah itu tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup Cak Nun, sejak dari Menturo, di Gontor, di Jogja, hingga ke mana-mana, sampai ada Maiyah ini. Saya kira Maiyah bermula dari peristiwa hidupnya Cak Nun. Maka, pada kesempatan ini saya ingin sedikit merefleksikan itu semua, tetapi dengan terlebih dahulu mengatakan bahwa peristiwa, pemikiran, dan penemuan pasti akan ada ujungnya.
Kita semua yang mengikuti peristiwa dan sejarah Cak Nun mencoba merekonstruksi perjalanan hidup itu. Ujung yang saya maksud adalah ujung sekarang ini, bukan ujung yang jauh di masa mendatang. Bahwa dari seluruh pergumulan yang bisa kita dapatkan dari cara merekonstruksi perjalanan itu, yang akhirnya menjadi Maiyah, saya melihat untuk fase saat ini (satuan fase bisa bisa 1 tahun, 5 tahun, bisa lebih dari itu), memang ini adalah saatnya untuk kembali ke spirit.
Sebenarnya semua perjalanan Cak Nun hingga Maiyah saat ini, yang tak berubah adalah spiritnya. Spirit yang terkait pada Islam. Dan bila bicara Islam, saya melihat di situ ada Kanjeng Nabi, ada Gusti Allah, dan ada masyarakat di sekitar kita. Saya ingin mencoba untuk tidak terlalu meluas. Saya mengajak teman-teman semua untuk, pertama, bahwa merekonstruksi tadi adalah kewajiban kita semua. Yaitu memahami supaya kita lebih mendalami. Mendalami supaya kita lebih mendapatkan esensi di balik sejarah.
Kedua, kenapa saya menyebut saatnya kembali ke spirit tadi? Supaya kita tidak terombang-ambing oleh kasunyatan atau realitas-realitas, baik politik, ekonomi, maupun sosial, yang seringkali justru menggerus sikap kita terhadap apa yang sudah kita temukan tadi.
Apakah dengan spirit di situ lalu hal-hal yang sifatnya wadag dan keseharian (urusan dengan hidup, dengan ekonomi, material, dll) harus kita singkirkan? Tidak. Sebab itu sudah merupakan urusan sehari-hari kita. Maka, kembali ke spirit adalah bagaimana kita mencoba terus-menerus melakukan sesuatu untuk memperkuat kehidupan kita ke depan, supaya kita memiliki independensi dalam hidup kita. Di situlah letak spirit yang saya maksud. Dengan spirit itulah kita semakin percaya diri. Kita semakin mandiri. Dengan spirit itu kita semakin tidak terombang-ambing oleh situasi yang bisa mengombang-ambingkan kita.
Contoh implementasi kembali ke spirit ini adalah pada waktu berkhazanah sinau bareng, secara serius kita coba lebih banyak melantunkan shalawat-shalawat yang kita punya atau juga shalawat-shalawat lokal yang mungkin lebih cepat merasuk ke dalam kehidupan kita. Saya kira itu semua bisa menjadi penguat kita supaya kita tidak gampang goyah.
Selebihnya, kalian bisa hidup dengan apa yang kalian miliki, dengan keterampilan yang kalian miliki. Tetapi, dengan spirit tadi, kalian tidak menjadi orang yang tamak, tidak melupakan teman dan lingkungan, atau tidak menjadi orang yang merasa miskin sendirian.
Toto Rahardjo
17 Juli 2019