Kelahiran Kembali Majalah Sabana sebagai Majalah Sastra Maiyah
Sebelum kita menyimak sedikit catatan dari acara perdana dari Sastra Liman pada 5 November 2019 lalu, mari kita mundur sejenak ke tanggal 16 Februari 2016. Pada hari itu, Cak Nun merilis tulisan DAUR-I seri tulisan ke-14 dengan judul “Perang Terhadap Kata”. Ada satu kalimat yang bisa menjadi satu kunci untuk menjadi pijakan kita memasuki lorong ilmu Majalah Sastra Maiyah Sabana. Kalimat tersebut adalah: Ternyata kita punya masalah besar dan serius dengan kata.
Dalam tulisan itu, Cak Nun tidak mengajak kita berdiskusi dengan tema yang berat, bahkan Cak Nun sengaja mengajak kita untuk memikirkan ulang beberapa kata yang ternyata hari ini sudah sangat jauh dari makna yang seharusnya. Kata-kata seperti: masyarakat, negara, hukum, syariat, politik, demokrasi, oposisi, koalisi, pembangunan, pasar uang, pilkada, pejabat, ulama, ustadz, preman adalah contoh kata yang hari ini digunakan tetapi tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Yang masih hangat misalnya, bahwa yang dimaksud dengan oposisi ternyata adalah istilah yang digunakan sebagai bargaining power agar diajak koalisi. Lantas, apa gunanya Pemilihan Umum beberapa bulan yang lalu?
Selasa, 5 November 2019 adalah acara perdana Sastra Liman di Rumah Maiyah, Kadipiro, Bantul, Yogyakarta. Selanjutnya, setiap tanggal 5 bulan masehi, di Rumah Maiyah akan rutin diselenggarakan Sastra Liman. Sebuah acara yang digelar dengan tujuan utama untuk mewadahi kreatifitas komunitas sastra. Karena, salah satu keresahan yang dirasakan oleh Cak Nun, Pak Iman dan sastrawan-sastrawan yang seangkatan dengan beliau berdua adalah bahwa generasi hari ini tidak serius mengenal sastra. Maka, Sastra Liman ini bertujuan untuk menghidupkan kembali gelora kreativitas sastra seperti yang beliau berdua alami ketika tahun 70-an di Malioboro bersama sang mentor; Umbu Landu Paranggi. Sastra Liman diharapkan bisa menjadi ajang pertemuan sastra di Rumah Maiyah, Kadipiro.
Pada sambutan awal di acara peluncuran Majalah Sastra Maiyah Sabana, Pak Iman Budhi Santosa serius membahas tentang penggunaan istilah-istilah baru yang digunakan oleh anak-anak muda millennial hari ini. Istilah-istilah seperti; otewe dan ojol adalah dua istilah yang sudah sangat lazim diucapkan saat ini. Atau misalnya penyingkatan nama jalan di Yogyakarta; Jalan Parangtritis disebut sebagai Jalan Paris, kemudian Jalan Kaliurang disebut sebagai Jakal, Kawasan Jalan Taman Siswa disebut dengan sebutan Tamsis, ada juga istilah Bon-Bin yang merujuk pada kepanjangan Kebun Binatang.
Belum lagi penggunaan kata-kata asing seperti; which is, at least, top up, cash back, flash sale dan masih banyak lagi yang hari-hari ini sudah sangat fasih diucapkan oleh masyarakat kita. Pak Iman sendiri menyoroti fenomena ini sebagai kekhawatiran gejala inferioritas bangsa. Sementara Pemerintah sendiri sudah memutuskan dalam Peraturan Presiden No. 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Pak Iman Budhi Santosa menyuplik satu peribahasa Madura; basa gambharanna budhi. Bahasa itu menggambarkan budhi. Artinya, betapa pentingnya posisi bahasa itu sendiri dalam kaitannya pembangunan mental manusia. Bagaimana mungkin revolusi mental bisa tercapai jika dalam penggunaan bahasa saja kita masih tidak konsisten?
Fenomena penggunaan bahasa yang kontras dengan istilah baku sebenarnya bukan hal yang baru. Dulu, di Yogyakarta ada istilah bahasa walikan. Dari aksara Jawa, dikreatifi sedemikian rupa sehingga satu kata diucapkan dengan kata yang baru. Misalnya, kata Bapak diucapkan dengan istilah Sahan. Pernah dengar merk Dagadu? Itu adalah bahasa walikan dari kata; matamu. Anda kenal gitaris Letto; Patub. Nama Patub sendiri adalah bahasa walikan dari kata Agus. Atau, anda akrab dengan istilah Jape methe yang merujuk pada bahasa walikan dari cahe dewe alias bocahe dewe.
Pada akhirnya, Maiyah adalah forum majelis ilmu yang diakui sendiri oleh Pak Iman Budhi Santosa sebagai forum yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap sastra. Kita berbicara sastra dalam arti yang luas. Sastra itu bukan hanya soal puisi, prosa, cerpen, esai saja. Sastra itu lebih luas dari yang disebutkan tadi. Dan terbukti, sudah sering Cak Nun membahas tentang denotasi kata di Maiyah.
Malam itu, Cak Nun memberikan kunci kepada hadirin yang memenuhi Rumah Maiyah. Cak Nun menyampaikan bahwa setiap kita harus memiliki 3 kesadaran; sadar spektrum, sadar skala dan sadar perspektif. Menurut Cak Nun, 3 kesadaran itu penting agar kita mengetahui dimana koordinat kita saat ini. Cak Nun pun melempar pertanyaan pantikan; Apakah (pertemuan) ini masalah sastra atau lebih luas dari sastra?
Dari pantikan pertanyaan Cak Nun itu kita bisa memasuki pemaknaan bahwa persoalan kata pada akhirnya adalah persoalan yang sangat penting, karena akan turut menentukan ke mana peradaban ini akan dibawa oleh masyarakat dalam sebuah bangsa. Cak Nun mencontohkan, bahwa judul tulisan “Indonesia bagian dari desa saya” itu bukan sekadar judul sebuah tulisan, melainkan sebuah kesadaran spektrum yang sangat dinamis.
Dari satu perspektif, kesadaran bahwa Indonesia adalah bagian dari desa saya, kita bisa mengambil sikap bahwa Indonesia hanya bagian kecil dari desa kita, atau jika skalanya kita perkecil, Indonesia hanya bagian kecil dari diri kita. Artinya, apa yang kita lakukan untuk Indonesia paling maksimal sifatnya adalah sedekah. Apalagi kita bukan pihak yang diberi mandat untuk mengurusi Indonesia. Lain halnya jika kita diberi mandat sebagai pejabat pemerintah, maka kita akan berposisi wajib untuk mengurus Indonesia.
Maka, jika kembali ke bahasan mengapa persoalan kata adalah persoalan yang sangat penting saat ini, maka tidak mengherankan jika Cak Nun sangat concern pada persaoalan kata ini. Dan sepertinya, memang jika kita menghendaki perubahan peradaban menuju ke arah yang lebih baik, maka hal yang harus pertama kita perbaiki adalah tentang pemaknaan kata-kata.
Pada Majalah Sabana edisi kali ini, Cak Nun sendiri menulis satu tulisan yang berjudul “Pada Mulanya Adalah Bukan Kata”. Tulisan yang ditampilkan pada rubrik Malioboro-Kadipiro. Sebuah tulisan yang bisa dikatakan sebagai penjelasan lebih lengkap dari tulisan pada DAUR-I; “Perang Terhadap Kata”. Belum lagi jika kita membicarakan tentang transliterasi, logat, intonasi, dari sebuah kata. Dan Cak Nun sangat serius ketika membahas detail-detail tentang permasalahan kata-kata, baik di tulisan tersebut maupun juga pada momen Sastra Liman perdana kemarin. Dan Cak Nun memiliki anggapan bahwa disiplin kata yang paling akurat dimiliki oleh orang jawa.
Ada momen menarik ketika Cak Nun bertanya kepada Pak Iman tentang tujuan menerbitkan kembali Majalah Sabana ini. Pak Iman menyampaikan bahwa tujuan menerbitkan Majalah Sabana ini bukan dalam rangka berdagang dan juga bukan dalam rangka menyebarkan sastra. Cak Nun menambahkan; “Paling pol menumbuhkan naluri sastra di dalam setiap rohani manusia. Karena pada dasarnya anda semua sudah hidup di dalam sastra”.
Yang dilupakan oleh kita adalah bahwa sastra itu juga tentang input dan output serta kedalaman batin dari pelaku sastra itu sendiri. Sastra bukan hanya outputnya saja yang berupa karya sastra. Satu peristiwa akan dipotret oleh pelaku sastra dengan hasil karya sastra yang berbeda-beda. Satu estetika yang sama, dalam rasa yang sama, pada pengalaman yang sama diungkapkan oleh pelukis menjadi warna dan garis, oleh sastrawan diterjemahkan dalam susunan kata-kata, oleh pemain teater diejawantahkan dalam perilaku, sementara penari mengaplikasikan dalam gerak koreografi.
Berbicara tentang puisi, Pak Iman menyebut bahwa puisi yang paling indah adalah Adzan. Susunan kata-kata yang diciptakan oleh Bilal itu adalah puisi yang paling indah, bukan hanya karena dibacakan 5 kali dalam sehari, bahkan dibacakan oleh setiap muadzin di seantero dunia pada setiap menjelang waktu shalat tiba. Tidak ada puisi yang melebihi keindahan Adzan bagi Pak Iman. Maka, pada akhirnya juga bahwa semuanya tidak tergantung pada makna, melainkan yang terpenting adalah bagaimana kita mampu memaknai setiap fenomena yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan.
Dari satu tema utama, yaitu kata, ternyata menghadirkan diskusi yang sangat menarik di Sastra Liman edisi perdana malam itu di Kadipiro. Dari pembahasan mengenai kata, semua yang hadir diajak oleh Cak Nun, Pak Iman, Pak Budhi, Pak Mustofa untuk menjelajahi cakrawala ilmu yang begitu luas, bakan melebihi wilayah sastra itu sendiri. Dan kita sebagai Orang Maiyah sangat mampu menerima apapun saja di Maiyah, termasuk sastra.
Dalam konsep Sinau Bareng, kita dilatih mempersiapkan diri untuk menerima segala hal, sehingga kita menjadi manusia ruang yang terbuka untuk menampung apa saja. Tanpa harus menjadi orang sastra, Orang Maiyah sejatinya memiliki kesiapan secara ilmu dan mental untuk menampung sastra. Di Maiyah, kita sebagai Orang Maiyah mengalami beragam pengalaman yang membangun karakter diri yang berdaulat terhadap diri sendiri.
Sebagai penutup, semoga Majalah Sastra Maiyah Sabana ini mampu menjadi wadah, tidak hanya untuk Jamaah Maiyah, tetapi Majalah ini terbuka bagi siapa saja yang memiliki karya sastra untuk dipublikasikan di Majalah Sabana ini.
Dan tentu saja, catatan singkat ini tidak mungkin mampu mengabarkan keseluruhan dari Sastra Liman edisi perdana. Dan itulah salah satu keindahan kita di Maiyah, dalam satu acara tidak mungkin bisa ditulis hanya dalam satu tulisan saja.