Kecuali Tujuan Kamu Berfilsafat
Sinau Bareng di lapangan Desa Besole Besuki Tulungagung sudah berlalu sepuluh hari lalu, tapi sebenarnya catatan saya masih belum selesai. Memang tidak cukup dan mustahil satu Sinau Bareng dikompres dalam satu tulisan pendek. Kalau dipaksakan pendek nanti tak ubahnya saya seperti kisah seorang jamaah yang ditanya kawannya.
Kawannya itu kebetulan tidak bisa datang di salah satu Maiyahan. Karena penasaran ingin tahu apa saja isi Maiyahan yang dia berhalangan hadir itu, dia bertanya.
“Gimana Maiyahannya tadi malam dan Mbah Nun menyampaikan apa saja?”
“Yo Apik. Wah apa ya, banyak banget yang disampaikan Mbah Nun.”
“Intinya, intinya aja kalau gitu apa?”
“Emmm, apa ya, ya semuanya inti sih…!”
***
Pada Sinau Bareng di Lapangan Besole Besuki malam itu, seperti pada Sinau Bareng lainnya, ada sesi tanya jawab yang dibuka. Sungguh banyak yang mengacungkan jari untuk ndaftar bertanya. Kalau tidak dibatasi bisa tidak selesai-selesai Sinau Barengnya. Akhirnya, tersaring kurang lebih sepuluh penanya. Di luar dugaan saya, malam itu pertanyaannya menukik-menukik. Pertanyaan pertama saja sudah seperti ini: Gimana Mbah caranya jadi manusia yang benar-benar manusia sejati?
Entah apa yang ada dalam benak penanya tentang Mbah Nun sehingga jauh-jauh dari Jogja ke pelosok Tulungagung, Mbah Nun mesti memikul tugas menjawab pertanyaan seperti itu. Untunglah, terhadap banyak pertanyaan yang diajukan, Mbah Nun rileks dan punya banyak jawaban yang tidak terduga.
Menjawab pertanyaan serius pertama itu, sejauh saya ingat, Mbah Nun menjelaskan sebenarnya tidak gimana-gimana caranya. Cukup ambil satu pendekatan, misal, kita sebagai hamba Allah, ya tinggal ngabekti kepada Allah secara sungguh-sungguh, sebagai khalifatullah ya sungguh-sungguhlah mengelola kehidupan. Begitu saja. Sederhana. Lalu, ini yang menarik menurut saya, Mbah Nun bilang, “Kecuali kalau kamu hendak berfilsafat….”
Kira-kira kalau menurut persepsi saya, dengan kalimat tadi Mbah Nun mau mengatakan kalau maksud menyodorkan pertanyaan tersebut adalah mencari formulasi filsafatik ya tinggal disusun secara sophisticated, spekulatif, dan mungkin dibikin tampak berat. Tapi kalau yang dicari adalah jawaban sesusai maksud pada denotasi pertanyaannya, menurut saya Mbah Nun mau menyampaikan bahwa kalau kita hidup sungguh-sungguh dalam hidup sehari-hari kita ya itulah wujud manusia sejati. Masak hidup yang begitu bukan sejati? Atau apa itu masih kurang sejati?
Barangkali selama ini kita meletakkan kata ‘sejati’ pada ranah yang berada di luar dari pengalaman historis-psikologis kita, sehingga diam-diam dalam bawah sadar kita membayangkan ‘sejati’ itu tak terjangkau. Kita dibikin inferior (oleh kecanggihan ormulasi-formulasi filsafat). Padahal yang sejati itu sudah menjadi bagian dari perilaku hidup sehari-hari kita, sepanjang kita sungguh-sungguh melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.
Dengan kata lain pula, untuk menjadi atau mencapai manusia sejati tidaklah mesti seseorang itu sadar akan dirinya adalah manusia sejati. Ke-manusia-sejati-an bisa berlangsung tanpa disadari. Berlangsung begitu saja, setiap hari, dalam setiap waktu dan ruang yang kita miliiki.Ujung jawaban Mbah Nun “Kecuali kamu hendak berfilsafat” itu menurut saya mengajak si penanya khususnya untuk membebaskan dari beban-beban filsafatik yang mungkin sudah mulai kurang seimbang kita sangga.
Mbah Nun juga secara refleks dan intuitif tidak mau terseret oleh beban filsafatik pertanyaan itu, dan secara naluriah langsung lompat ke celah atau titik yang perlu disentuh, supaya ada penguraian atau penyeimbangan. Kalau saya boleh bahasakan secara sederhana, kepada Mas yang bertanya, dengan meminjam logika Mbah Nun, saya akan mengatakan, “Sampeyan urip apik, sregep ngaji, teko Sinau Bareng, ora jahat, baik sama orang lain, masak begitu tidak termasuk ke dalam wilayah manusia sejati. Kalau tidak termasuk, terus yang sejati itu yang seperti apa. Walaupun kita tidak lantas boleh mengklaim. Kita tak boleh inferior dan berada dalam kebingungan terus-menerus. Ibarat kuliah, terhadap pertanyaan seperti itu, pada semester awal harus clean dan beres perspektif dan penyikapannya.”
Demikianlah salah satu yang dapat saya petik dari Sinau Bareng di Tulungagung malam itu. Masih ada sembilan pertanyaan berikut jawaban Mbah Nun, serta muatan-muatan lainnya. Namun, untuk kali ini, kalau saya ditanya intinya apa, jawabannya sudah jelas kan: semuanya inti sih.