Kalender Jowo Digowo, Kalender Arab Digarap, Kalender Barat Diruwat
Mohammad Adnan (dalam Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo”, 2014:123) menyebutkan bahwa Sunan Giri dalam sidang Wali kebagian tugas mengatur hitungan kalender: siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, dan menyesuaikan siklus pawukon. Dalam Serat Pawukon (hal. 2), disebutkan bahwa selain Sunan Giri juga Sunan Kalijaga yang bertugas menyesuaikan antara kalender Hijri dan kalender Jawa.
Dalam Primbon Jawa Bekti Jamal bab 101 (Sajarah Dinten Pekenan Wulan Tahun Pawukon Sa’at Tuwin Windu) tertulis dengan gamblang bahwa nama hari, bulan, dan tahun berbahasa Arab dimulai penggunaannya sejak Raden Patah menjadi Sultan Demak yang pertama bergelar Sultan Syah Alam Akbar I. Momen ini diprakarsai oleh Sunan Giri I yang ditandai dengan sengkalan “Catur Ilang Sucining Ratu” yang berarti tahun 1404 Saka (1482 M, 887 H), atau empat tahun setelah runtuhnya Majapahit.
Sebelum kalender Hijri dengan siklus windu 30 tahunan dibawa ke Jawa, di Jawa sendiri sudah ada kalender lunar (candra sengkala) dengan siklus windu 8 tahunan, dengan nama-nama tahun: Purwana, Karyana, Anama, Lalana, Ngawana, Pawaka, Wasana, Swasana. Nama-nama tahun ini oleh para wali kemudian diganti dengan 7 huruf abjadiyah pertama (a-ba-ja-dun ha-wa-zun) yang menjadi rumus-neptu awal tahun, yaitu: Alip (1), Ehe (5), Jimawal (3), Je (7), Dal (4), Be (2), Wawu (6), dan Jimakir (3). Nilai neptu ini tersebut dalam Serat Centhini Jilid III pupuh 182 (Pangkur) padha 3.
Dari hasil garapan sinau bareng kemudian didapatkan rumusan bahwa perulangan hari awal tahun kalender Jawa harus dikoreksi setiap 120 tahun sekali dengan Salin Kurup atau Ganti Kurup. Setelah 120 tahun (15 windu) hari awal tahun harus maju satu hari. Ganti Kurup ini untuk menyesuaikan kalender Jawa agar kembali mendekati peredaran bulan sebenarnya, sekaligus tetap memiliki keteraturan yang luar biasa. Selama 120 tahun terjadi kesamaan hari awal tahun, sehingga hari awal bulan dan tanggal pun akan sama setiap 8 tahun sekali.
Dengan adanya Ganti Kurup, akurasi kalender Jawa akan mendekati kalender Hijri. Dari hasil kroscek selama 888 tahun (1235–2122 H, 1747–2634 J), sebanyak 461 tahun (51,91%) hasil perhitungan matematis kalender Jawa sama dengan hasil hisab. Sedangkan kalender Hijri mengalami persamaan dengan hasil hisab sebanyak 586 tahun (65,99%). Jika tidak Ganti Kurup, maka kalender Jawa hanya akan bertahan maksimal 200 tahun saja. Selebihnya tidak ada yang sama dengan hasil hisab, dalam waktu 820 tahun pergeserannya sudah mulai mencapai 7 hari. Artinya, bentuk bulan sudah hampir separuh bulat, tetapi kalender Jawa baru menunjukkan tanggal 1. Inilah yang akan dialami kalender Jawa yang dipedomani oleh Jamaah Aboge, karena mereka tidak bersedia Ganti Kurup.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa rumus kalender Jawa sudah jadi sejak masa Wali Songo. Karena akurasi ilmu kalender sangat dibutuhkan untuk menentukan waktu-waktu ibadah umat Islam. Kalender ini sudah digunakan di kalangan santri-santri para wali dan internal ulama kerajaan. Yang terjadi pada masa Sultan Agung hanya meresmikan sebagai kalender kerajaan yang berlaku di semua wilayah kerajaan Mataram di pulau Jawa, kecuali Banten, Madura, dan Blambangan. Peresmian itu terjadi pada hari Jumat Legi, 1 Sura 1555 (1 Muharram 1043 H, 8 Juli 1633 M, atau 51 tahun setelah kalender Gregorian diresmikan). Angka tahun kalender Saka—lunisolar—diadopsi begitu saja ke kalender baru dengan sistem lunar.
Catatan: Kalender Pawukon dengan siklus 210 hari dan nama-nama 30 wuku sudah ada jauh sebelum masa Wali Songo, tetapi perabot-perabot pawukon baru muncul pasca Sultan Agung. Menurut Tanaya (1972:4–5) dalam Primbon Djawa Pawukon, pada awal abad ke-17 Masehi baru ada pakem Pawukon dengan uraian watak padewan (dewa yang menaungi) dan upacara (simbol pohon, burung, dan gedhong). Akhir abad ke-18 Masehi baru ada yang menambahi unsur pacandran, pralambang, dan pangruwat. Abad ke-19 baru ada bab wariga dan bab tamba lelara, dilanjutkan awal abad ke-20 dengan munculnya bab sarat pangupajiwa.