Kalender Jowo Digowo, Kalender Arab Digarap, Kalender Barat Diruwat
Kalender Arab Digarap
Bayangkan kita adalah para muballigh di jaman Wali Songo, atau santri-santrinya, dengan jarak tempuh yang jauh, kadang harus singgah beberapa lama di suatu wilayah, lalu pindah lagi ke wilayah lain, populasi belum padat, yang mungkin saja tidak ketemu dengan orang lain dalam perjalanan berhari-hari. Misal ketemu pun masih sangat jarang umat Islam, apalagi yang paham dengan perhitungan kalender. Bagaimana para muballigh itu menentukan kapan harus mulai puasa? Kapan mulai hari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Kapan memeringati Maulud? Kapan tanggal 10 Sura? Bagaimana bisa mengetahui waktu-waktu ibadah itu jika tidak memahami perhitungan kalender?
Jangan bayangkan para muballigh abad ke-15 itu kemana-mana membawa kalender cetak, apalagi membawa smartphone yang dengan mudah dapat melihat kalender. Jangan bayangkan pula umat Islam saat itu tinggal menanti-nanti berita sidang itsbat di televisi, apalagi menunggu sharing beritanya via Facebook, Twitter, Instagram, atau grup-grup Whatsapp.
Para penyebar agama Islam datang ke Jawa pasti dibekali ilmu falak sebagai pedoman menentukan waktu-waktu ibadah. Kanjeng Sunan Ampel datang ke Jawa membawa pengetahuan kalender Hijri dengan siklus windu 30 tahunan, yang beliau warisi dari ayahnya, Syeikh Ibrahim As-Samarqandiy. Saya membayangkan bahwa ilmu kalender di jaman itu sudah diajarkan sejak masa anak-anak menjelang remaja. Tak hanya bagi umat Islam, rasi-rasi bintang menjadi petunjuk arah bagi perjalanan di malam hari, terlebih bagi pelintas bahari.
Ilmu astronomi di Samarkand (Uzbekistan) mencapai kemajuan pesat pada masa Sultan Ulugh Beg (1394–1449 M), dimana sang sultan adalah ahli astronomi dan matematika. Pada tahun 1420 M sudah dibangun observatorium untuk observasi planet-planet dan bintang-bintang, yang sampai seratus tahun kemudian teknologinya masih ditiru oleh astronom-astronom Eropa, seperti observatorium Uraniborg (1576 M) dan observatorium Stierneborg (1584 M).
Syeikh Ibrahim As-Samarqandiy dan dua putranya, Ali Murtadho dan Ali Rahmat (Sunan Ampel) datang pertama kali ke Jawa diperkirakan tahun 1440 M (844 H, 1356 J, Kurup Akadpon). Tiga puluh tahun kemudian, tahun 1470 M (875 H) baru dimulai era Wali Songo, disusul delapan tahun kemudian dikenal sebagai masa-masa keruntuhan Majapahit, yang ditandai dengan sengkalan “sirna ilang kertaning bumi” (1400 Saka, 1478 M, 883 H).
Saat pertama kali datang ke Jawa, rumus kalender yang dipegang oleh Sunan Ampel masih menggunakan siklus windu Arab 30 tahunan. Kalender Hijri ini jika kita bikin tabel yang terbagi setiap 8 tahunan akan membentuk pola keteraturan seperti tabel di bawah ini, dengan catatan belum ada nama kurup yang memadukan nama huruf-hari-pasaran, belum ada nama tahun yang berjumlah delapan, dan belum mengenal siklus pasaran (pancawara).
Selama 30 tahun di Jawa, sebelum era Wali Songo dimulai, tentu telah terjadi forum-forum diskusi antara Sunan Ampel dengan pakar-pakar astronomi di Jawa. Saya membayangkan para Wali duduk sinau bareng leluhur Jawa membahas rumus-rumus perhitungan kalender. Sunan Ampel mengajarkan ilmu falak kepada anak angkatnya, Raden Paku (Sunan Giri), yang kemudian juga memimpin dewan Wali Songo pasca wafatnya Sunan Ampel. Dalam Serat Walisana Pupuh 25 (Asmarandana) disebutkan dengan jelas peran Sunan Ampel dan Sunan Giri dalam perumusan kalender Jawa, termasuk nama-nama tahun, nama windu, dan pergantian kurup setiap 120 tahun.