CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng ke-4112

Jombang Sinau Bareng

Liputan Sinau Bareng “Ngaji Budaya” bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng, Alun-alun Jombang, Sabtu 21 September 2019
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 5 menit

Semalam, Sabtu, 21 September 2019, alun-alun kota Jombang menjadi ruang publik yang teramat maksimal fungsinya dalam menampung orang. Mereka yang mengalir satu per satu atau kelompok berkelompok dari berbagai penjuru pada akhirnya merapat padat hingga mencapai ribuan jumlah totalnya.

Dengan suara penuh kebanggan, pembawa acara memastikan bahwa mereka yang datang di alun-alun ini bukan hanya dari Jombang, melainkan seluruh Jatim. Ada Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Bojonegoro, Lamongan, Tuban, Surabaya. Sahut-menyahut terdengar nama disebut dari area jamaah.

Pemerintah Kabupaten Jombang tengah menggelar Sinau Bareng “Ngaji Budaya” bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Acara ini, seperti dikatakan Bupati Jombang Hj. Mundjidah Wahab, dimaksudkan untuk memperingati tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1441 H, memeringati Kemerdekaan RI ke-74, dan bulan berkunjung ke Jombang. Di panggung yang cukup luas, Bu Mundjidah tidak sendirian dalam menemani Mbah Nun. Ada Wabup Sumrambah, Kepala Kajari Jombang, Pak Dandim, tokoh-tokoh lain, juga Kyai Muzammil.

1000 Perodat ISHARI Jombang

Ngaji budaya ini menjadi spesial karena melibatkan 1000 perodat ISHARI atau Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia Kabupaten Jombang. Mereka merebut perhatian semua yang hadir. Formasi mereka yang berada di depan panggung menjadi pusat pandangan. Mereka berseragam baju hijau sarung putih dan peci hitam.

Sekitar 15 orang berada di panggung sebagai pemukul terbang dan satu orang vokalis yang memimpin persembahan shalawat. Beberapa yang lain di belakang 15 orang ini untuk ikut memandu dari atas. 1000 orang ini berformasi membentuk koreografi yang khas. Gerakan-gerakan mereka bukan gerakan individual, melainkan gerakan yang dibangun atas filosofi kebersamaan, gandeng renteng, rapat, dan tanpa celah namun melakukan pergerakan-pergerakan bersama. Itulah barangkali gambaran hidup berjamaah, bermasyarakat.

Ada gerakan merunduk, mengangkat tangan, tepukan, mendongak ke atas, dan lain-lainnya semuanya menyertai dan disertai suara-suara plak-plak terbang dan lantunan shalawat yang dengan suara pelantun khas Jombang yang. Suara orang desa yang giat bekerja di siang hari, namun hangat secara tradisi di malam hari. Suara dengan maqamat tersendiri.

Seandainya bukan karena Mbah Nun meminta beberapa orang KiaiKanjeng untuk menunjukkan tidak mudahnya menirukan atau mengerjakan apa yang dilakukan para penerbang ISHARI ini, barangkali hadirin juga tidak akan tahu keistimewaan terbangan ISHARi ini. Mas Blotong dan Pak Bobiet dari sisi musik menggambarkan bahwa ritme pukulannya bermacam-macam, tapi sulit dicari titik polannya (off beat), dan uniknya apa yang dihasilkan tetap kompak dan tidak fals. Mas Blotong sampai menghitung menggunakan metronom, namun tetap gagal menemukan rumus ketukannya, padahal hasilnya kekompakan itu tadi.
Mbah Nun menengara bahwa yang menyebabkan terbangan ISHARI sedemikian rupa itu adalah karena cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Dengan teknikalitas yang sulit ditangkap polanya, menurut Mbah Nun, ISHARI adalah kesenian tingkat dunia atau internasional. Usai bersama-sama menikmati performance terbang dan rodat ISHARI, Mbah Nun mengatakan kepada Bu Mundjidah, “Sampeyan beruntung jadi bupati dengan rakyat yang baik seperti ini. Sing payu neng GustiAllah yo koyo ISHARI iki. Yang mereka lakukan adalah pekerjaan sorga…”

Bahkan Mbah Nun dalam semangat yang segar namun penuh kedekatan merespons sambutan Bu Mundjidah bahwa dengan acara ini diharapkan masyarakat mendapatkan pencerahan dari Mbah Nun sehingga iman dan takwa mereka meningkat. “Wis kit mbiyen Bu iman dan takwa wong Jombang dhuwur. Jombang ibukota spiritual Indonesia. Gak tau ono wong ngersulo neng kene. Arek angon yo pinter-pinter ngaji. (Sudah dari dulu, Bu, iman orang Jombang tinggi. Jombang adalah ibukota spiritual Indonesia. Nggak ada orang mengeluh di sini. Anak-anak yang menggembala kambing pun pandai mengaji).”

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Puasa, Pause?

Puasa, Pause?

Ayat-ayat dari juz kelima belas Al-Quran Al-Kariim mengawal Kenduri Cinta bulan Agustus, disambung dengan lantunan shalawat dari para jamaah.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta