Jawa Pos Sinau Thoriqot
Siang ini, agak terik di hari Senin tanggal 8 Juli 2019 M. Rombongan dari Jawa Pos Koran di antaranya Abdul Rokhim (Pemimpin Redaksi), Thoriq (Redaksi), Danar (Staf Iklan) beserta Pak Suko Widodo rawuh ke Pendopo Rumah Maiyah di Kadipiro dengan niat menyambung tali silaturrahim juga menimba kembali ilmu jurnalistik dari Mbah Nun. Dalam pertemuan ini, para praktisi pers dan jurnalistik tersebut sedikit ngudo roso, mengadukan fenomena dalam dunia pers yang faktual. Di antara fenomena yang diadukan misalnya, tren post-truth yang mengglobal, juga menurunnya kualitas wartawan dengan disiplin jurnalisme ketat yang mungkin, menurut para tamu kita, adalah hasil dari sertifikasi kewartawanan.
Mbah Nun menerima dengan terbuka ditemani Pak Toto Rahardjo. Pembahasan hal-hal semacam ini dijadikan obrolan yang cair dan mengalir lengkap ditemani camilan, minuman hangat serta cerita-cerita yang menyenangkan hati. Pertemuan lebih banyak terisi dengan tawa yang lepas namun tentu mengalirkan hikmah-hikmah ilmu yang bermanfaat. Mbah Nun nyatakan bahwa wartawan harus merasa syubhat ketika tidak bisa membedakan mana fakta yang riil dan mana fakta yang ada di alam pikirannya. “Wartawan sekarang tidak merasa bersatu dan bersama seluruh bangsa ini,” kata Mbah Nun.
Dan fenomena dunia pers ini ditambahkan oleh Mbah Nun bukan hanya persoalan dunia pers tapi juga hampir semua bidang dan golongan. “Yang anda keluhkan soal dunia pers ini tidak jauh beda dengan fenomena di NU, Muhammadiyah, Islam, MUI, dan banyak lainnya,” ungkap Mbah Nun.
Kemudian juga Mbah Nun menekankan agar kita punya keberanian untuk membedah masalah dengan tidak terlalu berpaku, tidak terlalu mendewakan istilah-istilah atau term-term yang juga memiliki beban masalah sendiri. Bahwa kita perlu berani mengembangkan paradigma kita sendiri. “Sejak masih menjadi wartawan saya tidak pernah percaya yang namanya ‘bad news is good news’,” tegas Mbah Nun. Dari cerita-cerita pengalaman Mbah Nun sebagai wartawan ternyata sejak dulu Mbah Nun sangat istiqomah yakin pada keluasan, kebaikan, keindahan dan kegembiraan. Inilah yang menjadi basic Mbah Nun sejak dulu sebagai jurnalis, bahkan ketika menjadi wartawan bidang kriminal dulu dan inilah juga yang menjadi spirit dalam majelis-majelis Maiyah.
Sedikit lebih serius Mbah Nun berpesan agar Jawa Pos mampu menemukan thoriqotnya sendiri. “Selama ini thoriqot dianggap grup-grup thoriqot. Padahal itu metode dalam kehidupan. Termasuk Jawa Pos harus menemukan thoriqotnya.” Ini dibabarkan dengan lebih detail lagi. Bahwa seperti wacana “syariat-thoriqot-ma’rifat” maka kita semua perlu berlatih syariat yang formal, teori dasar yang sangat basic. Lantas bersama dengan itu juga bisa merumuskan thoriqot dalam hidup, yang artinya dijelaskan Mbah Nun adalah ngepasi, menjalankan langkah, irama dan ritme yang lebih presisi pada sebuah persoalan sehingga bisa “menyibak lapisan ma’rifat demi ma’rifat dari setiap persoalan kehidupan”.
Dalam pertemuan yang berjalan penuh kegembiraan, banyak hal yang sifatnya kritis bisa disampaikan dengan tidak menyakiti. Beberapa komentar Mbah Nun pada kewartawanan mungkin terdengar pedas bila kita tidak berada di lokasi. Misal ketika Mbah Nun cerita pengalaman saat diwawancarai seorang wartawan dengan tema yang seperti didikte. Mbah Nun sebutkan “Wartawan ini kadang terlalu ngatur kayak pejabat” dan justru yang timbul adalah tawa.
Para tamu juga langsung klik dengan kalimat tersebut dan kembali menceritakan persoalan-persoalan keseharian yang dihadapi. Bagaimana pers berhadapan dengan birokrasi, di saat yang bersamaan juga berhadapan dengan selera pasar yang makin ingin mendengar apa yang ingin didengarnya. Saran Mbah Nun agar para pelaku pers dan jurnalistik mengurangi sikap “mendengarkan maunya sendiri dan memaksa orang mendengarkan apa yang ingin dia dengar”. Dibutuhkan pers dengan metode yang membangun kemesraan bukan berpaku pada sosok-sosok besar belaka dan ingar-bingar fenomena yang riuh gaduh demi oplah.
Para tamu menyampaikan bahwa apa-apa yang disampaikan Mbah Nun akan dibahas benar-benar serius pada rapat redaksi karena ini merupakan otokritik yang sangat berharga bagi kalangan pers dan jurnalistik pada umumnya. Mbah Nun berpesan “Kita butuh etos jurnalisme baru” yang artinya metodologi, cita-cita, impian, tolok ukur capaiannya serta thoriqot penyelesaian masalahnya benar-benar baru dan sesuai kebutuhan dunia saat ini. (MZ Fadil)