CakNun.com

Jahil Murokkab, Penyakit Zaman yang Sedang Mewabah

Liputan Kenduri Cinta Jakarta Edisi September 2019
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 5 menit

Rembulan hampir purnama, temaram cahaya dari sorot lampu yang menyinari area Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki menemani jamaah yang sudah berdatangan sejak sore hari. Kenduri Cinta mulai bulan ini akan diselenggarakan di Plaza Teater Besar, di area yang lebih luas dari sebelumnya. Sebagai forum swadaya, Kenduri Cinta terselenggara atas kerjasama berbagai pihak, selain dari penggiat Kenduri Cinta sendiri tentunya, pengelola Taman Ismail Marzuki yang saat ini merupakan UP PKJ Taman Ismail Marzuki yang berada di bawah Dinas Pariwisata DKI Jakarta juga terlibat. Begitu juga dengan DISHUB DKI Jakarta yang pada kali ini bertanggungjawab atas lokasi parkir kendaraan.

Di lokasi yang baru ini, jamaah pun tampak lebih nyaman. Dengan area yang lebih luas, pencahayaan yang lebih baik, dan juga tata ruang yang lebih teratur, menjadikan performa sound system yang terpasang pun lebih maksimal. Beginilah memang seharusnya Kenduri Cinta berlangsung, semua pihak ikut nyengkuyung keberlangsungan forum. Jamaah sendiri pun memiliki tanggung jawab masing-masing, baik keamanan atas barang-barang miliknya, juga kebersihan atas sampah di sekitarnya. Semua bertanggungjawab atas kelancaran keberlangsungan forum ini.

Tema Jahil Murokkab ini bukan sedang membicarakan siapa, melainkan melalui sinau bareng di Kenduri Cinta ini kita pelan-pelan mengidentifikasi fenomena zaman yang sedang berlangsung. Di awal, Pramono Abadi mengambil pijakan, bahwa istilah jahil ini sebenarnya bukan hanya kebodohan, tetapi ada juga makna yang menjelaskan bahwa jahil itu sama dengan mengabaikan. Artinya, ada orang yang sebenarnya mengetahui sesuatu, tetapi ia abai terhadap informasi tersebut. Abai yang ia lakukan bukan hanya sekadar mengabaikan, tetapi juga ia tidak mengambil sikap, yang sebenarnya ia sendiri tahu harus bagaimana bersikap. Lebih parahnya lagi, ia menyembunyikan pengetahuan akan kebenaran informasi itu, sehingga orang lain pun mengira bahwa tidak ada kebenaran dalam informasi itu.

Lain lagi dengan Ali, seorang jamaah Kenduri Cinta. Jahil Murokkab itu adalah orang yang baru mengetahui sedikit dari kebenaran sebuah informasi tetapi merasa sudah mengetahui keseluruhan informasi. Sehingga, yang terjadi kemudian adalah ia merasa paling mengetahui, merasa paling benara, dan tidak mau menerima masukan, tidak mau menerima koreksi dari orang lain.

Kenduri Cinta adalah panggung seribu podium yang menghadirkan beragam warna. Dalam forum yang berlangsung selama 8 jam, tidak mungkin sepenuhnya hanya menyajikan diskusi. Kenduri Cinta juga menjadi panggung bagi para seniman. Ada yang membawakan puisi, ada yang membawakan musik puisi, ada yang membawakan musikalisasi puisi. Malam itu ada Wahyu yang berpuisi, ada Komunitas Trotoar dengan musikalisasi puisinya, ada Ki Titut Edi dari Purwokerto dengan mono teaterikalnya. Dan malam itu juga ada Donny KiaiKanjeng dan Patub Letto yang juga datang di Kenduri Cinta, spontan saja mereka berdua langsung jam session membawakan beberapa lagu.

“Di zaman yang gila ini, hanya orang gila yang waras. Tapi, tetaplah selalu ingat kepada Allah Swt”, Ki Titut mengawali penampilannya. Dengan suara yang lantang, Ki TItut memulai penampilan teaterikalnya. Ngapak di Betawi, seperti itulah penampilan Ki Titut Edi di Kenduri Cinta kemarin. Ki Titut percaya diri dengan tetap berbahasa Ngapak Banyumasan, juga sesekali berbahasa Indonesia. Ki TItut Edi adalah seorang budayawan di Purwokerto yang setiap bulan selalu menemani teman-teman Juguran Syafaat dalam forum Maiyahannya. Mungkin, jika pertama kali bertemu dengan Ki Titut Edi, tidak akan percaya bahwa Ki Titut ini orang yang penuh dengan hikmah dan ilmu kehidupan. Tubuhnya berperawakan tinggi, rambut gondrong, suaranya sangat keras, tatapan matanya tajam.

Ki Titut sudah menciptakan lebih dari 15 lagu Banyumasan, yang hampir semuanya terinspirasi dari perilaku dan tingkah polah binatang. Meskipun demikian, kandungan nilai luhur dari setiap syair lagu-lagunya sangat bisa dijadikan refleksi diri dalam kehidupan.

Dalam lirik lagu Suasih Sulandana misalnya, sebuah lagu tentang dialog batin antara manusia dengan Tuhan yang sedang dilanda kemarau panjang. Kalimat-kalimat dalam lirik lagu tersebut disadari oleh Ki Titut Edi sebagai kalimat mantra, tetapi Ki Titut Edi tidak mau berhenti di situ, ia menyelami makna kata demi kata, hingga akhirnya ia menemukan makna sastrawi dari kata-kata itu. Ki Titut Edi dengan telaten nguri-uri makna demi makna dari lagu tersebut. Dalam satu lirk lagu ini, ada pesan cinta kepada Tuhan sekaligus pesan yang sejalan dengan cinta kasih sesama manusia, agar hubungan alam dengan manusia dalam kehidupan ini seimbang.

Mestinya, cara Ki Titut Edi nguri-uri budaya semacam ini mampu menjadi contoh yang baik. Bukan sedikit-sedikit menghakimi, sedikit-sedikit menyalahkan, sehingga tidak menjadi jahil murokkab. Sudahlah judul lagunya berkaitan dengan binatang, penampilan Ki Titut gentawilan, sangat atraktif, loncat kesana kemari, totalitas.

Di Kenduri Cinta, jamaah sangat terlatih untuk melakukan switching momentum. Malam itu, setelah bergembira bersama Ki Titut, Ustadz Noorshofa mengajak jamaah bersholawat bersama. Jamaah pun khusyuk, menundukkan wajah, mengungkapkan cinta dan rindu kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sholawat Asyhgil dilantunkan bersama-sama, menyapa Rasulullah SAW.

Ustadz Noorshofa kemudian menceritakan kisah Anas Bin Malik yang ketika di sebuah momen meinta kepada Rasulullah SAW jaminan akan selalu bersama Rasulullah SAW di surga kelak. Rasulullah SAW kemudian berpesan agar Anas Bina Malik selalu memperbanyak untuk bersujud kepada Allah Swt dan menyayangi serat mengasihi anak yatim. Ustadz Noorshofa sudah menjadi keluarga di Kenduri Cinta, sudah hampir 5 tahun ini bersama di Kenduri Cinta, dengan gaya ceramahnya yang khas Betawi, penuh candaan, melengkapi warna di Kenduri Cinta malam itu.

Hadir juga Novel Baswedan bersama teman-teman dari KPK. Hari-hari ini, hiruk-pikuk isu politik nasional sedang dialami oleh KPK. Polemik Revisi UU KPK dan proses pemilihan CAPIM KPK yang diduga serampangan sedang menghantui KPK. Novel Baswedan kemudian menceritakan apa yang sedang dialami oleh KPK hari-hari ini.

“Apa yang sedang dialami oleh KPK ini bukan tiba-tiba, sudah ada perencaaan sejak lama”, ungkap Novel. Novel sendiri adalah korban teror dari oknum yang sampai sekarang belum dituntaskan kasus penyerangannya. Di suatu pagi buta, ia disiram air keras, kedua matanya buta. Teror kepada penyidik KPK bukan hanya kepada Novel, namun tidak semua diungkap di publik. Novel menyebut framing media yang kemudian menggiring opini publik agar KPK perlu dibenahi. Sehingga kemudian muncullah usulan revisi UU KPK di DPR.

Terbuka saja, bukan hanya Novel, ada Nanang dan Syarif Hidayat yang merupakan Direktur Gratifikasi di KPK yang juga turut berbicara di panggung Kenduri Cinta. Mengungkapkan keresahan, yang mereka alami. Tentu saja, Kenduri Cinta bukan pihak yang paling mampu untuk membantu menyelesaikan persoalan KPK, namun setidaknya ada dukungan moril dari jamaah Maiyah di Kenduri Cinta kepada mereka. Secara khusus pun mereka memohon agar di setiap sholat, jamaah Kenduri Cinta mendoakan mereka agar selalu sabar dan teguh dalam perjuangan memberantas korupsi di Indonesia.

Polemik KPK ini memang sangat pelik. Sudahlah di Indonesia tidak ada kejelasan antara Negara dan Pemerintah, siapa Negara siapa Pemerintah. Di mana seharusnya KPK, sebagai Lembaga Negara atau Lembaga Pemerintah? Siapa yang seharusnya diawasi oleh KPK? Jika memang KPK harus mengawasi Pemerintah, maka seharusnya PImpinan KPK tidak dipilih dan tidak dilantik oleh Pemerintah. Bagaimana mungkin pihak yang akan diawasi justru memilih orang-orang yang akan mengawasi? Cacat logika.

“Untung ada Maiyah”, Syeikh Kamba merespons paparan teman-teman dari KPK. Di Maiyah ini, kita masih menjaga idealism kita, masih menjaga otentisitas kita, masih menjaga kebersamaan dan paseduluran kita. Menurut Syeikh Kamba, KPK sebagai Lembaga Independen harus dikelola dan diurusi oleh orang-orang yang independen. “Saya mendoakan teman-teman KPK agar tetap idealis”, ungkap Syeikh Kamba.

Ki Titut Edi pun turut berkomentar. Ia mencontohkan matahari yang tidak pernah ingkar. Srengenge mlethek, sinar matahari itu tidak kurang tidak lebih, pas. Ia tidak pernah terlambat terbit dan tidak pula mempercepat waktu terbenam. Ketika tepat berada di atas ubun-ubun manusia, sinarnya sangat panas, tidak ia kurangi sedikitpun. Matahari tidak pernah korupsi terhadap sinar yang ia pancarkan.

Malam semakin larut, kebahagiaan sinau bareng di Kenduri Cinta berlangsung semakin hangat. Di sepertiga malam, Syeikh Kamba mengajak jamaah untuk memasuki ruang ilmu tasawuf yang mendalam. Paparan Syeikh Kamba tentang agama, Tuhan, kehidupan beragama dan konsep-konsep agama dijelaskan secara perlahan. Memang dasarnya Syeikh Kamba adalah seorang dosen, tidak terasa waktu menunjukan pukul 3 dinihari.

Kenduri Cinta pun kemudian dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin oleh Syeikh Kamba.

Lainnya

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan lantunan beberapa sholawat, Cak Nun langsung naik ke panggung bersama dengan beberapa sahabat-sahabat lama yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) yang dua hari sebelumnya mengadakan acara peringatan 47 tahun PSK di Rumah Maiyah Kadipiro.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta