CakNun.com

Ini Catatan Sejarah!

Catatan Sinau Bareng di Lapangan Desa Petir Purwanegara Banjarnegara, 13 Juni 2019
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit

Karena lokasi yang cukup pelosok, dan jalan menuju lapangan desa tidak cukup lebar sehingga bis besar tidak bisa masuk, maka para personel KiaiKanjeng harus diambil alih dengan naik mobil pick up. Kita bisa lihat foto-fotonya yang memberi gambaran betapa sungguh-sungguh dan luar biasa ikhtiar mereka atau masyarakat desa Petir ini buat menyelanggarakan pengajian.

Apalagi ini pengajian Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Betapa tak terkira kegembiraan rekan-rekan penyelenggara, yakni Karangtaruna Citra Kusuma desa Petir. Selepas menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak dan juga kepada Mbah Nun dan KiaiKanjeng, perwakilan penyelenggara ini mengatakan, “Ini adalah catatan sejarah buat desa Petir, baru kali ini pengajian di desa ini bisa sangat banyak yang hadir. Bek sak lapangan.”

Mas yang mewakili panitia dan karangtaruna ini, yang berpacu dengan luapan kegembiraan di dalam hatinya, akhirnya hanya bisa memungkasi, “Saya tak bisa perpanjang lagi apa yang saya katakan, yang harus kita perpanjang adalah Sinau Barengnya nanti.” Untuk melengkapi apa yang disampaikannya tentang hadirin yang sangat banyak, mari kita lihat foto-foto mas Adin yang memotret berbagai sudut audiens, lengkap dengan gambaran situasi kerapatan, kekhusyukan, dan antusiasmenya.

Di sekitar lapangan terdapat pohon-pohon ketela, dan banyak jamaah yang ambil tempat duduk di sela-sela pohon itu. Juga ada semacam bukit kecil. Di situ pula sebagaian jamaah berada untuk menikmati Sinau Bareng ini. Yang rumahnya dekat-dekat di situ, mereka berduyun-duyun berjalan melangkahkan kaki. Yang datang dari luar kota membawa kendaraan. Dan layaknya tamu, kepada yang berasal dari tempat-tempat yang jauh, perwakilan tadi tak lupa menyampaikan, “Nanti kalau kondur (pulang), saya doakan semoga selamat sampai tujuan.” Doa dan sapaan yang indah dalam paseduluran dari sang tuan rumah.

Karangtaruna Citra Kusuma menggelar Sinau Bareng ini dengan mengangat tema “Ajar Ajur-Ajer”. Tujuannya jelas yaitu mengajak segenap warga desa dan semua lapisan masyarakat untuk saling berbaur dan tidak membeda-bedakan diri. Harus dekat satu sama lain, sejajar, dan ah apa ya istilah yang pas dalam bahasa Indonesia untuk Ajur-Ajer ini? Dan memang Sinau Bareng adalah forum untuk belajar Ajur-Ajer. Panggung didesain untuk mendukung terbentuknya komunikasi yang egaliter dan santai, sehingga pula memudahkan terantarkannya kegembiraan, maupun muatan-muatan lainnya.

Dalam atmosfer seperti itulah, para jamaah tidak saja menikmati nuansa-nuansa interaksi dan keindahan, namun juga menyerap wawasan yang dibutuhkan secara relevan dan konkret. Seorang jamaah misalnya bertanya untuk meminta saran Mbah Nun ihwal efek yang ditimbulkan oleh kontestasi pilkades, terutama ketika calonnya hanya dua orang sehingga polarisasi antar pendukung menjadi head to head, yaitu bagaimana supaya tidak terjadi perpecahan. “Yang harus dilakukan adalah jangan ikut pecah.” Begitu saran tegas dan sederhana Mbah Nun buat dia.

Selebihnya, Mbah Nun mengajak dia untuk menghitung kembali, apa tho sebenarnya tujuane dadi lurah? Apakah untuk mendapatkan kuasa atau untuk melayani masyarakat? Dan menurut Mbah Nun ini sebenarnya adalah masalah nasional. “Akidah” kita sudah kebalik. Bukan untuk pelayanan, tapi untuk kuasa. Hampir semua kita di Indonesia ini terbalik yaitu meletakkan cara sebagai tujuan. Demikian Mbah Nun membantu memberikan saran dan perspektif.

Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di pelosok desa seperti ini, yang tentu sudah tak terhitung jumlah desa yang telah dikunjungi, sebenarnya memang adalah catatan sejarah, meminjam istilah sambutan perwakilan Karangtaruna tadi. Andai masih bisa diterima pembedaan antara desa dan kota di mana yang pertama dianggap sebagai representasi “yang tradisional” dan yang kedua adalah “yang modern”, maka Sinau Bareng ini mem-blur-kan dua hal itu, sebab aslinya batas itu sudah jebol. Kenyataannya, di desa sudah sedari dulu banyak unsur kemodernan yang masuk. Sementara orang kota sendiri banyak yang merindukan desa. Baik desa dan kota makin tipis batasnya, makin dekat jaraknya, dan makin saling terkait.

Secara budaya pun akhirnya demikian. Kehadiran Sinau Bareng di desa-desa seperti ini adalah gambaran bagaimana orang-orang desa telah canggih dalam menyerap kemajuan peradaban dan memfilternya mana yang mereka butuhkan nilai dan kualitasnya. Dari satu sisi, Musik KiaiKanjeng pada dasarnya adalah orkestra modern yang mestinya lebih banyak tampil di pusat-pusat kemodernan dan dunia, tapi memilih siap ajur-ajer melalui pola prinsip Sinau Bareng sehingga justru sangat senang bisa hadir di desa-desa, sementara masyarakat desa sendiri makin meningkat persentuhan musikal dan kreativitasnya dengan kehadiran KiaiKanjeng.

Suasana workshop di panggung, maupun suasana-suasana lain dari kekayaan musik KiaiKanjeng yang hadir dalam setiap Sinau Bareng menjadi contoh tentang hal ini. Dengan cara ini, KiaiKanjeng telah menjaga dirinya dari kemungkinan berada di elitisme sosial-musikal (jika istilah ini ada), dan tetap istiqamah di jalur ajur-ajer bersama masyarakat luas.

Blur batas antara desa dan kota juga tampak dari topik-topik yang mereka munculkan dalam tanya jawab. Dari soal filsafat hingga teologi. Bayangkan di pelosok Petir ada yang bertanya apakah Cinta harus diungkapkan, dan yang bertanya ini anak usia 16 tahun. Cocoknya ini filsuf di pojok kampus Filsafat. Kemudian yang teologis: bagaimana membedakan kafir dengan nonmuslim. Mbah Nun senantiasa punya cara yang jitu dan bijaksana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Perjalanan KiaiKanjeng ke desa-desa itu laksana meneguhkan bahwa sebenarnya kita tidak hidup dalam sesuatu yang benar-benar berpijak. Batas-batas selalu akan runtuh dan kalah cepat dengan pergerakan perubahan yang berlangsung. Masyarakat perlu cepat memahami perubahan ini serta mencerdasinya. Di sini Sinau Bareng berperan. Dalam bahasa Mbah Nun tadi malam, “Kita tak benar-benar berpijak pada waktu, tak berpijak di mana pun, seperti bumi yang tak ada pijakan dan penyangganya tetapi tetap meneng pada posisinya di antara galaksi lain tanpa ada tali yang mengikatnya, dan tetap bergerak.”

Namun, seperti yang dirasakan para jamaah, dari Sinau Bareng mereka belajar untuk mempijakkan diri pada sesuatu yang bernilai sejati, hakiki, manfaat, dan maslahat. Foto-foto itu kiranya bisa sedikit menggambarkan dorongan ke arah nilai-nilai itu. (Helmi Mustofa)

Lainnya

Topik