CakNun.com

Ijazah Padhangmbulan dan Manusia Radikalis

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit

Siapa Markesot sebenarnya? Pelan namun pasti misteri itu mulai terkuak. Nama aslinya Guk Nuchin. Sahabat Mbah Nun sejak kecil di Menturo. Pendongeng andal. Pelaku sastra langgar. Orang yang berani “mengusir” Cak Mad, sapaan akrab Ayah Mbah Nun, saat tidur di atas meja “pingpong”.

Ceritanya, Cak Mad baru membeli meja untuk tenis meja. Di desa permainan itu namanya pingpong. Tengah malam Markesot mlungker di atas meja pingpong. Cak Mad keluar rumah. “Ayo bangun! Tidur di langgar sana!,” perintah Cak Mad. Markesot bangun, pindah mushalla.

Pada malam berikutnya, Markesot pulang malam. Entah dari mana. Ia menuju mushalla. Didapatinya ada orang kemulan sarung tidur di atas meja pingpong. “Ayo bangun, bangun, bangun! Jangan tidur di sini!,” perintah Markesot, sambil nggebloki sarung orang yang sedang tidur.

Kaget bukan kepalang. Orang yang tidur itu ternyata Cak Mad.

***

Markesot menjadi bagian dari hidup keluarga Bani Muhammad, inspirator dari tulisan dan buku Mbah Nun, teknisi yang “cemburu” pada mesin buatan pabrik, anak didik langsung dari Cak Mad.

Diantara 18 para sesepuh yang menerima Ijazah Padhangmbulan, Markesot tampak paling “gila”. Ia manusia radikalis.

Usai Cak Sot berpidato tentang ilmu, amal dan ikhlas, Mbah Nun berbisik, “Guk Nuchin menyampaikan isi pikiran dan sikapnya tidak dengan qoola wa qiilaa.” Maksudnya, isi pikiran dan sikapnya benar-benar khas dari penghayatan dan pengalaman hidup — bukan dari kata Si Anu atau menurut pendapat Si Ani.

Kesempatan ini saya pergunakan untuk mengonfirmasi beberapa hal, di antaranya idiom “manusia akar”. Saya menggunakan idiom ini pada tulisan pengantar Ijazah Padhangmbulan.

“Mereka (18 penerima Ijazah Padhangmbulan) adalah manusia radikalis,” bisik Mbah Nun. “Padhangmbulan juga pengajian yang radikal.”

Alangkah bersyukur saya. Pintu menatap cakrawala telah dibuka. Sumur ilmu telah tersedia. Kebun nilai telah terhampar.

Pengajian Padhangmbulan yang menghadirkan 18 manusia akar bukan soal romantisme masa lalu belaka. Yang lebih radikal adalah bagaimana kita memasadepankan masa lalu. Mikul duwur mendhem njero. Pembelajaran nyata bagaimana anak menerapkan birrul walidain kepada Ayah dan Ibu.

Sederhana, tulus, dan otentik adalah nilai perilaku yang tengah dijaga oleh Padhangmbulan. Caranya? Kita, para jamaah, meneladani nilai-nilai tersebut dalam lingkup keluarga, dusun, dan desa. Tidak silau oleh penghargaan dunia yang berbasis pada kemegahan harta benda, popularitas dan kekuasaan.

Ketiga nilai ini — sederhana, tulus dan otentik — mengisi bincang santai di ruangan ndalem kasepuhan Mentoro. “Zaman dahulu kehidupan sosial, agama, budaya berlangsung alami. Penuh kegembiraan,” ungkap Mbah Nun.

Tidak heran, 18 sesepuh ini ya begitu itu hidupnya. Tidak berubah karakter, watak dan prinsipnya. Sejak belum ada “pisyi” (maksudnya televisi), lalu hadir “pejer”, teknologi digital, hingga zaman memasuki teknologi 4.0, 5.0, 6.0, saya yakin, Guk Sot, Mbah Mari, Guk Lik, Guk Lek, Guk Kasdu tidak berubah. Tulus, otentik, dan sederhana.

Usai berbagi cerita bersama 18 sesepuh, Padhangmbulan melanjutkan sesi Maiyahan. Saya duduk bersebelahan dengan Guk Sot.

Mbah Nun baru berbicara beberapa kata menyampaikan pengantar, Guk Sot njawil saya. “Apik iku akike Nun.” Tidak hanya itu. Guk Sot mendekat ke tangan sebelah kanan Mbah Nun. Tidak pakewuh di hadapan jamaah, Guk Sot njenggilengi akik di jari Mbah Nun. Gawat ini.

Akikmu apik, Nun,” ujar Guk Sot. Mbah Nun yang tengah bicara, menoleh sejenak. Berada di antara Mbah Nun dan Gus Sot, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya tersenyum menyaksikan kemesraan Guk Sot dan Mbah Nun.

Sesaat kemudian Mbah Nun melepas akiknya. Saya serahkan batu akik kepada Guk Sot. Batu berwarna coklat dengan motif seperti serat kayu jati itu dielus-elus oleh Guk Sot. Berkali-kali ia berbisik, “Apik iki.”

Puas mengagumi batu akik, Guk Sot meletakkannya di depan saya, lalu langsung saya letakkan kembali di samping Mbah Nun.

Ini adegan yang otentik dari Markesot. Beberapa puluh tahun lalu di Patangpuluhan, Markesot pernah nimbrung ke tengah diskusi mahasiswa. Bahasa planet dari para mahasiswa tidak membuatnya keder. Ia menyampaikan isi pikirannya secara merdeka.

Juga saat Guk Sot menjelaskan teknologi menghentikan semburan lumpur Lapindo di depan jamaah Padhangmbulan. Ia bebas dan merdeka. “Cara ini bisa diterapkan saat pertama kali lumpur menyembur. Kalau sekarang malah lebih mudah menghentikannya,” ujar Guk Sot.

Ini baru Markesot, belum 17 sesepuh lainnya, yang meng-akar-i Padhangmbulan. Belum Guk Denan, Guk Kasdu, Guk Kanip. Belum bicara sastra langgar, budaya ngempoki, striker balbalan, angon wedhus, nyolong krai.

Semua itu adalah lumbung ilmu yang bisa kita lacak, pelajari, dan teladani, baik dari tulisan Mbah Nun maupun cerita di majelis Maiyah.

Padhangmbulan cukup akrab dengan manusia-manusia radikalis. Terminologi hakikat, syariat, thariqah, dan ma’rifat lebih gamblang dimengerti melalui belajar langsung kepada manusia akar yang menerima Ijazah Padhangmbulan.

Lainnya

Topik