Ian L. Betts: Rekomendasi Saya, Ikuti Terus Maiyah
“Kasih tahu teman-teman, ajak mereka ikut Maiyah.” Kata Pak Ian L. Betts, penulis buku “Jalan Sunyi Emha” kepada jamaah Maiyah Gambang Syafaat pada Kamis malam (25/07/2019) di depan Aula Masjid Baiturahman, Semarang. Beliau mengatakan sangat senang sekali bisa hadir pertama kalinya di Gambang Syafaat. Pada kesempatan kali ini, Pak Ian berbagi banyak hal kepada jamaah. Salah satunya adalah tentang pandangan luar negeri terhadap Indonesia (secara umum) dan Maiyah (secara khusus).
Setelah sekian tahun mengamati Indonesia, Pak Ian menceritakan bahwa saat ini luar negeri memandang Indonesia sebagai negara sukses. Kesuksesan itu meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bahkan, kata Pak Ian, publik Eropa sudah menganggap Indonesia adalah negara besar di ASEAN. Namun, persoalannya bagaimana Indonesia yang merupakan negara besar, yang dipimpin oleh pemimpin dari kelompok mayoritas bisa menjaga kelompok minoritas.
Dari persoalan itulah kita bisa mengetahui andil besar Maiyah terhadap Indonesia. Maiyah bisa membuat kelompok minoritas tidak merasa terancam. “Maiyah tidak hanya tentang kebersamaan saja, tetapi juga tentang solidaritas. Maiyah juga tidak hanya untuk orang Islam saja, tetapi juga untuk orang di luar Islam”, kata Pak Ian. Pernyataan itu pernah disaksikan sendiri oleh Pak Ian waktu di Kenduri Cinta. Pada saat itu, Kenduri Cinta pernah menempatkan seorang pendeta sebagai narasumber. Itu membuktikan bahwa Maiyah telah bersolidaritas dengan orang dari kelompok minoritas.
Mengapa hal demikian bisa terjadi di Maiyah? Sebab, Maiyah tidak pernah menjadi identitas yang padat. Maka dari itu Mbah Nun sering mengatakan bahwa beliau tidak mau dipandang sebagai orang lain oleh orang dari kelompok yang berbeda. Karena Mbah Nun tidak memadatkan identitasnya kepada semua orang yang beliau temui. Semua dirangkul.
Pemikiran Mbah Nun tentang identitas dan bagaimana Maiyah memaknai identitas menjadi tema pembahasaan Pak Ian pada perjumpaan pertama dengan jamaah Gambang Syafaat. Beliau menelaah konsep identitas dari dua Ilmuwan politik Samuel Huntington dan Francis Fukuyama. Buku-buku ilmuwan tersebut, Pak Ian menerangkan bahwa dunia saat ini telah mengkhawatirkan tentang identitas.
Francis Fukuyama dalam buku terbarunya “Identity” mengatakan bahwa kita tidak perlu membanggakan identitas kita, sebab setiap kebanggaan kita atas identitas kita pasti disanggah oleh orang yang berasal dari identitas lain. Dan menurut Pak Ian, ancaman terbesar Indonesia saat ini adalah krisis identitas. Perbedaan identitas agama, etnis, suku sangat mudah sekali dibentur-benturkan dan diadu domba.
Habib Anis yang berada di dekat Pak Ian memberikan sisi pandang lain tentang identitas. Habis Anis mengatakan bahwa sekarang ini identitas sudah dipahami dengan cara negatif. “Identitas paling penting–dalam Islam–adalah identitas kita sebagai manusia.” Selama ini kita memahami identitas adalah hal yang berbeda dari kita. Dan kita tidak menganggap suatu kesamaan adalah identitas.
Identitas suku-suku, agama, etnis menjebak kita untuk terpisah-terpisah. Itu makanya ketika Kita mendukung klub sepakbola desa Kita bertanding dengan klub sepakbola desa tetangga. Kita bisa ikut tawur. Karena saat Kita sedang mendukung klub sepakbola, Kita mementingkan identitas Kita sebagai pendukung klub sepakbola desa Kita ketimbang identitas Kita sebagai manusia.
Analogi tentang klub sepakbola sangat menarik. Penjabaran Habib Anis mengenai identitas sebagai manusia menyajikan pandangan yang kontras dari Pak Ian. Saya kira bakal ada debat singkat di panggung. Tetapi, Pak Ian yang mendapati ada narasi berbeda tentang identitas tidak terpancing untuk mendebat malah berucap terima kasih. Kata Pak Ian, “Pendapat Habib Anis tentang identitas [diartikan secara] negatif sangat bagus. Itu yang menutupi pikiran saya. Jadi, sepertinya saya harus memperdalam bukunya Fukuyama [Identity] lagi.”
Di tengah suasana Sinau Bareng yang bablas menjadi serius dan hampir menyerupai seminar di kampus. Mas Sabrang masuk ke pembicaraan tentang identitas. Namun, beliau tidak ingin merespons dua pendapat dari dua narasumber tersebut. Beliau hanya ingin mengatakan kepada jamaah bahwa kita perlu mengetahui perspektif dari luar tentang kita. “Mas Ian adalah salah satu penggali Maiyah [dari luar negeri]. Dari Mas Ian kita bisa tahu Maiyah dari orang luar.”
Bisa dikatakan Pak Ian adalah saksi mata perjalanan Maiyah di Eropa.
“Emang apa dampak Maiyah di luar negeri,” tanya Kang Hajir.
Pak Ian sepertinya tidak kesulitan menjawab pertanyaan ini. Beliau tinggal nyuplik dari ingatan saja. Kebetulan ingatan beliau kuat. Beliau menceritakan, “Pada tanggal 25 Januari 2006, Cat Stevens tampil menyanyi di Hotel Borobudur. Itu adalah untuk pertama kalinya Cat Strevens tampil main musik dan menyanyi setelah bertahun-tahun menjauhi (alat) musik. Menurut Pak Ian, Cat Stevens seorang penyanyi sangat terkenal di Inggris yang memutuskan masuk Islam. Lalu setelah masuk Islam, Cat memutuskan berhenti main musik karena beranggapan musik bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu berubah saat melihat penampilan KiaiKanjeng di Inggris dan bertanya panjang-lebar dengan Cak Nun. Lalu pencipta lagu Wild World itu akhirnya main musik lagi.
Tidak hanya itu, kata Pak Ian, “Di luar negeri mulai ada kesadaran bahwa di Indonesia ada [yang namanya] Maiyah.” Maiyah sudah dikenal di luar negeri.
Pernyataan terakhir ini sudah tidak bisa lagi menahan tangan-tangan jamaah memberi tepuk tangan. Jamaah mungkin tidak mengira peristiwa rutinan tiap bulanan hanya duduk berjam-jam di atas batako, yang tidak pernah masuk berita di media mainstream nasional, ternyata mendapat tempat terhormat di luar negeri.
Maka dari itu Pak Ian berpesan,”Rekomendasi saya, ikut terus Maiyah. Kehidupan saya diperkaya Maiyah.”