Harus Kuat, dan Jangan Terpengaruh
Diselenggarakannya Sinau Bareng oleh panitia dimaksudkan untuk merespons suatu isu yang sedang jadi pembahasan di tempat itu. Pada keperluan itulah, Mbah Nun dimintai pandangannya. Diminta membantu masyarakat memahami secara lebih baik dan bijak atas masalah-masalah. Dengan mode of Sinau Bareng yang demikian itu, sejatinya peran yang dijalankan Mbah Nun adalah marja’. Kehadirannya, nyatanya memang ditunggu masyarakat di grassroot. Beliau adalah marja’ yang ringan hati berkeliling dari satu grassroot ke grassroot lain.
Itulah yang saya rasakan tadi malam di Sinau Bareng di Bedingin Sambit Ponorogo. Bagaimana seharusnya menyikapi benda peninggalan bersejarah? Perlukah kita merawat dan menjaga benda tersebut? Bagaimana kalau ada yang mengatakan tidak perlu, bahkan dibilang sia-sia melakukan pekerjaan itu, juga didakwa syirik? Mbah Lurah, Mbah Kyai, Pak Kapolsek, dan Pak Danramil, dan lain-lain tengah dihadapkan pada critical questions semacam itu. Bagaikan mahasiswa yang sedang mengerjakan tesis, untuk menjawab dan menganalisis persoalan, dibutuhkan bimbingan.
Sebenarnya tak perlu Mbah Nun, karena seharusnya sudah ada lembaga-lembaga yang relevan dan kompeten, apakah MUI ataukah ormas-ormas yang lazimnya punya pandangan-pandangan hukum atau fatwa-fatwa. Semestinya pula bimbingan telah lembaga-lembaga itu lakukan. Atau, ternyata Mbah Nun dibutuhkan karena cara membimbingnya yang beda.
Bimbingannya tidak pertama-tama transfer pengetahuan linear dan parsial, melainkan paduan antara transfer pengetahuan, metode yang membebaskan, dan dibangunnya interaksi yang enak—keindahan, kerekatan kemanusiaan, kegembiraan, dan sublimitas. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tadi menjadi satu titik saja yang terletak di keluasan manusia, dan semestinya dari keluasan itu tidak sulit menjawab atau menyikapinya. Ingat, seringkali jawaban atau jalan keluar tak kunjung tiba, karena kita terlalu betah menghuni kesempitan.
Waktu Mbah Nun tiba di rumah transit, dan kemudian Mbah Lurah bercerita tentang situasi yang melatari Sinau Bareng ini, satu respons pertama yang dilontarkan Mbah Nun saya lihat dirasakan sudah cukup oleh Mbah Lurah. Tentu saya sangat subjektif, tapi saya lihat itu di rona wajahnya. Ia sudah mendapat jawaban atau saran yang selama ini belum diperolehnya. Ialah jawaban yang memotivasinya untuk ‘tenang saja’. Mbah Nun sendiri dengan sangat tenang mendengarkan paparan Mbah Lurah. Tak sedikit pun terbebani dengan masalah yang diuraikan.
Di situlah, Mbah Nun tidak menurunkan jawaban yang bersifat kognitif dan referensi macam-macam. Masalahnya memang mungkin juga bukan di memahami soal, tapi di ketenangan dan kemampuan untuk tidak gampang tertekan. Toh Mbah Lurah sendiri adalah orang yang memahami betul sejarah situs purbakala di situ, dan mengerti apa yang harus dipahami dan dilakukan atas situs itu. Karenanya, kata Mbah Nun, “Kalau sampeyan bingung dan gampang tertekan, ya justru di situ masalahnya. Maka, jangan gampang bingung dan tertekan.”
Kala sudah oke dengan ketenangan itu, maka di panggung tinggal enteng saja. Walaupun pada posisi Mbah Nun, beliau tetap mengajak jamaah sinau tentang soal-soal yang disampaikan Mbah Lurah. Dan sebenarnya, menyangkut soal pensyirikan juga sudah banyak disampaikan Mbah Nun di banyak Sinau Bareng dulu. Tapi satu hal yang diingatkan Mbah Nun tentang hal ini. Ialah sebenarnya memusyrikkan orang lain itu tidak bisa dipahami, karena bagaimana caranya mengerti hati orang lain, sedang syirik atau bukan syirik terletak di hati dan pikiran manusia, bukan di benda yang dikait-kaitkan dengan syirik. Artinya, sejatinya yang menentukan syirik atau bukan itu Allah.
Maka, menurut Mbah Nun, jika ada yang selain Allah dan dia mensyirikkan orang lain, dia melakukan dua pelanggaran. Pertama, pelanggaran karena melakukan apa yang bukan hak dia. Kedua, pelanggaran ilmiah atau logika. Yakni menyangkut posisi syirik yang bukan di benda tapi di cara menyikapi benda dan karena itu letaknya di cara berpikir dan hati. Demikianlah, mensyirikkan itu punya bahaya yaitu bersikap tidak etis kepada Allah.
Selebihnya, Mbah Nun ajak semua jamaah dan masyarakat buat mengedepankan kebijaksanaan dan mau mendoakan siapa saja untuk masuk surga, serta mau memberikan kelapangan satu sama lain. Dan mengulang lagi mengenai orang-orang yang mudah menuduh syirik kepada orang lain, Mbah Nun menegaskan, untuk memiliki hati yang kuat, tenang, dan tidak mudah terpengaruh (tercuri energi oleh mereka). Lain hal jika yang mereka lakukan adalah melanggar hukum, maka perlu diserahkan kepada aturan hukum dan kepada yang punya wewenang.
Wah iya Mbah, saya juga tidak mau terpengaruh. Saya akan beralih dengan mengingat bahwa semalam lokasi yang katanya angker itu, atau dalam bahasa setempat wengker, menjelma tak angker, malahan meriah, sarat kegembiraan, dan seperti bisik Pak Kapolsek kepada Mbah Nun, “Nek ngene iki kok tenteram ya!” Musik KiaiKanjeng juga melapisi jiwa hadirin dengan pelumas keindahan yang membuat hati lentur dan mudah bahagia. Ada lagu Sayang Padaku, lagu kombinasi Nothing Compares To You dan Lagu Sendu Shalawat Madura, dan ada pula lagu Campursari. Juga ada lagu yang liriknya ada kata ‘hitam manis yang hitam manis’ dibawakan jajaran Muspika.
Itulah sebagian yang saya catat dan rasakan dari Sinau Bareng tadi malam di Situs Beji Sirah Keteng desa Bedingin kecamatan Sambit Ponorogo. Mbah Nun tidak hanya menjadi marja’ yang setia berjalan menemui masyarakat di desa-desa, namun kepada semua warga desa dan semua yang hadir menghadirkan pengalaman berkeluasan untuk membawa setiap kita kaya dan tangguh sebagai manusia.