Hari Raya: Tanpa Ketupat dan Opor Ayam
IDUL FITRI, bagi masyarakat urban, adalah momentum untuk kembali. Pulang kampung halaman, bertemu sanak saudara, berziarah ke leluhur—melihat kesejarahan asal-usul. Mudik adalah perjalanan menuju diri kesejatian, ujar Cak Nun di beberapa kesempatan. Merapatkan kerenggangan, memintal kembali kain silaturrahim yang sobek-sobek.
Cak Nun, sejak usia sangat belia telah pergi dari kampungnya, Desa Mentoro, Kabupaten Jombang. Belum khatam sekolah dasar merantau ke Gontor, Ponorogo, sekitar 150 km dari Jombang, meneruskan sekolah yang tertunda. Di Pondok Gontor tak usai pula, hijrah ke Yogyakarta berpindah ke sekolah menengah.
Di kota inilah, Yogyakarta, tampaknya dijadikan terminal terakhir dalam kehidupan Cak Nun. Menjalani perjuangan panjang amal kehidupan sebagai seorang penulis hebat, pendidik anak-anak muda, pendakwah yang tak kenal istirah dan pelaku peradaban bagi negeri yang sangat dicintainya, Indonesia.
Di kampung Kadipaten, sebelah barat Keraton Yogyakarta, bersama kakak dan adik-adik, Cak Nun merintis jiwa kesenimanannya; menulis puisi, esai, cerpen, naskah drama dan pentas-pentas baca puisi, musikalisasi puisi, teater dan menjadi pembicara berbagai forum intelektual yang sangat diminati oleh masyarakat pencinta seni.
Ketika kedua kakak Cak Nun harus pulang ke Jombang, Cak Fuad telah lulus dari IAIN (UIN) Sunan Kalijaga dan Cak Mif diberi tanggung jawab meneruskan warisan almarhum ayahandanya, Yayasan Pendidikan Al-Muhammady, Cak Nun berpindah ke kampung Patangpuluhan.
Di Patangpuluhan inilah sebagai tempat candradimuka-nya Cak Nun. Rumah kontrakan di sebuah gang persis bersebelahan dengan Pasar Legi, jalan Madubronto. Sejak subuh orang hilir mudik pergi-pulang berjualan atau berbelanja kebutuhan. Di rumah kontrakan Patangpuluhan, bagai sumur tanpa dasar, sumber ilmu kehidupan memancarkan air kesejatian. Percikannya menyiprat menjadi krital-kristal cahaya yang menerangi orang-orang yang bertandang atau ‘yang terpilih’.
Rumah yang tidak terlalu besar, dinding sekeliling bercat putih kusam, terdiri dari ruang tamu yang tak bermeja-kursi—hanya dipan pendek lebar—, ruang tengah dengan meja makan dan sebuah televisi tabung 14 inci hitam putih, serta dua kamar tidur untuk kamar pribadi Cak Nun dan satu kamar lagi untuk adik-adik perempuan yang masih menempuh pendidikan di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga.
Sejak pagi mruput orang-orang mulai berdatangan dengan berbagai kepentingan. Mahasiswa non-aktif yang keranjingan berita politik, berburu bacaan yang aktual, berkunjunglah ke Patangpuluhan, berbagai media nasional dan daerah tersedia. Surat kabar dan majalah. Mungkin saja seniman-seniman tanggung—karena belum berkarya, namun rambut sudah kadung gondrong—butuh secangkir dua kopi, nyeduh sendiri di dapur. Gula, kopi dan bubuk teh ada di toples. Tak usah sungkan. Rumah ini rumah tak berkunci, siapa saja boleh singgah.
Tiba-tiba pintu kamar tengah terbuka. Sosok yang sedang diperbincangkan keluar kamar. Berkain sarung, atasan kaos oblong putih. Tidak ke mana-mana, langsung duduk di kursi.
Saya bertahan, tak beringsut. Tak ada sapaan. Salah satu adik perempuan buruan ke dapur menjerang air. Gelas kopi siap diseduh.
“Rokokku entek,” sambil mengulurkan lembaran uang lima puluhan ribu warna biru bergambar Pak Harto. Uang berpindah tangan. Saya menuju pojokan pasar, ada warung kecil langganan. Harganya lebih murah dibanding kios rokok di pinggir jalan. Saya beli dua bungkus rokok berbeda merk. Yang satu, tentu saja untuk saya sendiri. Asiklah pokokmen.
Rokok dan uang kembalian saya geletakkan di pinggir cangkir kopi, orangnya sedang ke belakang, ke kamar mandi. Tak lama njedul. Masih tak saling bicara, cangkir kopi dan sebungkus rokok dibawa masuk ke dalam kamar. Terdengar tak-tik, tak-tik, tak-tik. Mesin ketik sedang bekerja. Iramanya khas. Bunyi yang, tentu saja asing di era milenial sekarang ini.
Tak sampai seperempat jam, pintu kamar kembali terbuka. Dua lembar kertas ukuran A4 diserahkan kepada saya.
“Foto copy dulu satu, antar ke kantor SP.”
“Ya, Cak.”
Melalui ruang tamu, saya menuju teras. Beberapa orang sedang duduk-duduk santai membolak-balik koran pagi. Gelas-gelas kopi tinggal separo. Puntung rokok berserak. Saya ambil kunci kontak motor entah milik siapa.
“Pinjam ya, bentar ke Suara Pembaruan!” tak menunggu jawaban, saya langsung melaju.
“Minta rokok ya!” ada teriakan.
Saya keburu jalan, rokok sebungkus belum sempat saya bakar se-ler-pun lupa tak kebawa. Alamat sirna. Matek!
Disebut pula kawah api. Di sini, di rumah Patangpuluhan. Cak Nun sangat produktif sebagai penyair, pun sebagai penulis lepas untuk kolom-kolom berbagai koran nasional dan daerah, serta beberapa majalah mingguan Ibu Kota. Sesekali, koran-koran lain juga meminta secara khusus untuk tema-tema tertentu sesuai dengan kondisi temporal ketika itu. Tema-tema peringatan hari-hari besar keagamaan; Ramadlan, Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, Isra` Mi’raj; Piala Dunia; Pendidikan Nasional, Kemerdekaan Indonesia dan seterusnya.
Di jalur kesenian, beberapa naskah drama tercipta, kelompok-kelompok teater bermunculan, aktor-aktor teater berproses. Aktivis mahasiswa dan LSM menjadi tidak tumpul pisau analisanya.
Di bulan Ramadlan, kesibukan Cak Nun tak berkurang sejenak pun, justru semakain padat. Beberapa undangan dari berbagai daerah, jauh-jauh hari sudah diterima. Baik panitia dari kalangan kampus Perguruan Tinggi, Pondok Pesantren, perusahaan-perusahaan dan masjid-masjid. Tentu tidak semua undangan disanggupi. Banyak hal yang menjadi pertimbangan, terutama secara teknis sulit dipenuhi, yakni scheduling. Sementara media pun berburu tulisan Cak Nun, mengirim permohonan baik via telepon, faks, kirim perpos atau dikirim langsung oleh salah satu wartawan dari biro media perwakilan Yogyakarta.
Perayaan Idul Fitri tinggal mengitung hari, pekan terakhir di bulan Ramadlan. Seharusnya saya pun sudah harus siap-siap packing dan mudik ke kampung halaman. Tapi masih entar-entar dulu. Sementara Cak Nun juga biasanya balik ke Jombang, sehari sebelum Idul Fitri, atau beberapa hari setelahnya. Jika tidak, acap ibundanyalah, Ibu Chalimah yang berkunjung ke Yogyakarta.
Di malam takbiran, saya masih tetap bertahan di rumah Patangpuluhan. Malam itu juga saya memutuskan untuk tidak mudik, saya akan berhariraya di Yogya. Sebuah keputusan besar yang sebenarnya biasa-biasa saja. Adik-adik perempuan Cak Nun sudah berangkat pulang sejak beberapa hari ke Jombang. Malam ini, saya hanya berdua tengak-tenguk menirakati jalan sunyi.
“Kopi atau teh, Cak?” kesunyian saya pecahkan.
“Teh”
Bersijingkat saya jerang air, cangkir keramik putih dengan tatakan sewarna diletakkan di meja makan.
“Ke masjid, Cak...”
Tak perlu menunggu jawaban, saya ngeloyor pergi ke masjid yang tidak terlalu jauh.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaha illallah, Allahu Akbar. Allahu Akbar Wa lillahilhamd”.
Lantunan takbir, tahlil, tahmid bergema sahut-menyahut. Seseorang yang paham tradisi takbiran di Indonesia akan mafhum. Allahu Akbar dibaca dua kali, kebiasaan warga Muhammadiyah, sangat berbeda dengan orang-orang Nahdliyin, dibaca tiga kali: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Allahu Akbar...
Usai salat Ied di Alun-Alun Lor, saya menyiapkan kopi dan teh. Di meja ada beberapa macam toples kue-kue kering. Tak ada ketupat. Tak ada opor ayam. Kue-kue di toples, bisa-lah sekadar buat teman sarapan. Ganjal perut. Namanya juga “sekadar” pasti tidak bertahan lama.
“Jid, golet maem!” benar kan, tidak lama.
Ke mana harus cari? Sekarang hari raya Idul Fitri. Sambil memutar otak saya jalan keluar, menuju jalan raya. Di rumah, heran juga, kenapa tidak ada motor. Ya iya, siapa yang mau ke rumah Patangpuluhan di Hari Kemenangan? Semua berkumpul dengan keluarga masing-masing.
Di sekitaran Pasar Legi tak ada warung makan yang buka, tujuan berikut ke Perempatan Wirobajan dengan menumpang mini bus yang lewat jurusan Wates. Di Wirobajan tengak-tengok, sami mawon, tak ada yang jualan nasi. Bablas ke arah timur, naik becak via Jl. KHA Dahlan.
Kemudian saya memutuskan turun dari becak, menyusuri jalanan Kota Yogyakarta yang sepi, masuk gang-gang kecil yang biasa ada warung-warung penjual nasi. Di pojokan gang ada beberapa becak yang parkir di depan warung kecil, asap membumbung di atas genteng. Alhamdulillah, batinku bersyukur.
Beberapa tahun kemudian Cak Nun mengucapkan “Selamat menikmati kemenangan Idul Fitri, bisa berupa kegembiraan, kerukunan, rezeki dan harapan; tapi bisa berupa keprihatinan, kesedihan, ujian, pengabdian atau peningkatan kesabaran.”
Selamat berhariraya, semoga meraih kemenangan. Jalin silaturrahmi ke sanak famili dan handai taulan, mendekatkan yang nun jauh, merekatkan yang sudah dekat. Selamat bergembira, meski tak ada ketupat dan opor ayam.[]