Hajatan Variasi Pandang Kepada Ilmullah
Panggung berdiri di tengah jalan desa, yang kecil, lurus dan tidak rata, di tengah dusun Wonogiri, Gentan, Kecamatan Kranggan, Temanggung. Tanah bergunduk persis di depan panggung malah lebih tinggi dari panggung. Wilayah panggung bisa kita katakan masuk ke beberapa pekarangan rumah penduduk desa. Ini hal yang sering kita temui dalam ritual sosial-komunal di desa-desa. Kerap kita temukan pada acara hajatan di desa-desa, para tetangga meminjankan pekarangan bahkan ruang depan rumah untuk kegiatan bersama.
Malam ini, masyarakat punya hajatan bersama yang namanya Sinau Bareng dalam rangka peresmian mushola Ki Ahmad Sujak yang namanya diambil dari sesepuh desa ini. Juga hari ini adalah pangeling kembali, recall atas haul beliau, Ki Ahmad Sujak.
Kesadaran masyarakat komunal yang sangat menghargai leluhur ini juga kemudian dipetik oleh Mbah Nun dan di elaborasi bersama. Jamaah yang duduk lekat-lekat (“eh itu koq pelukan, kakak adek ketemu gede apa gimana? Oh? Lagi honeymoon? Maaf”) diajak kembali menyadari bahwa pada masyarakat Nusantara dan Jawa khususnya ada sebuah penghargaan pada delapan belas runtutan leluhur. Dari sini kita bisa membaca terdapat memori kolektif di masyarakat kita, dan pada memori serta imajinasi kolektif bukan ranahnya untuk bicara benar-salah secara akademis. Akademis ilmiah ada tempatnya, kebenaran kolektif bisa punya variasi sendiri.
Seperti jalan lurus di depan panggung itu mungkin, saya perlu variasi pemandangan. Tanpa sengaja saya dapat jalur nyempil di celah rumah penduduk, melalui kebun yang perlu menyalakan flashlight untuk melaluinya, bersua beberapa penduduk yang mengerti variasi jalur ini dan tembus ke bagian jamaah di tengah agak ke belakang. Jelas ini masyarakat komunal-agraris, kesadaran psikologisnya kesadaran kolektif.
Kita perlu ingat ini, Sinau Bareng lahir di tengah masyarakat yang sangat komunal. Individual atau komunal, punya fadhilah keistimewaannya sendiri. Masyarakat komunal seperti tadi dibahas, punya rasa penghormatan yang sangat tinggi pada sesepuh. Itu kelebihan, tapi semua kelebihan juga bisa jadi ancaman. Ancamannya, masyarakat komunal kadang mudah jatuh pada pengkultusan sosok dan kawin dengan narasi relasi kuasa magis, klop sudah. Dan kebanyakan orang yang mencapai kelas dituakan, sering menikmati posisi ini tanpa punya kebesaran membongkar istana. Sebab ada privilege sosial dengan beragam bentuk.
Kita bukan sedang membangga-banggakan, tapi saya rasa kita perlu menyadari keistimewaan Sinau Bareng ada pada dua hal ini: dia nguri-uri hal baik dari tipe masyarakat komunal, sekaligus juga menjadi antitesis dari jebakan pengkultusan dan mitologisasi. Bukan sekali dua kali Mbah Nun tegaskan penolakan terhadap mitologisasi sosok terhadap diri Mbah Nun sendiri. Dan disejuknya Temanggung malam hari ini Mbah Nun sekali lagi sempat menyebut “Jabatan saya hanya Mbahmu”. Sebagai seorang tua, Mbah Nun memberi saran pada anak-cucu bagaimana agar kita tidak terlalu lelah dalam hidup, adalah kita perlu selalu kreatif mencari variasi-variasi terutama variasi sudut pandang.
Dari bagian belakang, pemandangan Sinau Bareng menyenangkan juga. Layar ditancapkan pada beberapa lapis titik. Akhirnya beberapa jamaah duduk dengan arah yang berbeda, mana depan mana belakang? Semua sudut pandang menyenangkan, semua sudut pandang sama asiknya. Kenapa harus berebut benar kalau bisa Sinau Bareng?
Di panggung terdengar Mbah Nun mendoakan, agar Sinau Bareng membuat ilmu yang kita dapatkan menjadi ilmullah, atau ilmu yang mengantarkan pada ilaihi roji’un. Pada tujuan yang sejati. Kalimat “ilmullah” baru pertama kali saya dengar, mungkin pembaca yang budiman pernah mendengarnya sebelum ini? Nah karena itu kita Sinau Bareng.