Hadiah Nubuwah di Akhir Zaman
Semua Adalah Budaya Asli Bagi Pribumi Planet Bumi
Bersama Mbah Nun juga ada Pak Eko Winardi, sang aktivis lingkungan yang juga aktor teater senior. Pak Eko Winardi dulu yang bermain sebagai Katib dalam pementasan Sengkuni2019. Kali ini, di panggung Mocopat Syafaat Pak Eko Winardi membabarkan pada kita mengenai konsep meletakkan sampah, bukan membuang sampah. Dan ini adalah aplikasi yang sangat baik dari ayat “robbanaa maa khalaqta haadza bathila”, bukan? Bisa dikatakan ini adalah proses tadabbur versi Pak Eko Winardi. Tadabbur yang sangat kiri. Dan jadi kiri itu keren.
Ketika sesi tanya jawab, ada dialog yang menarik antara jamaah dengan Mbah Nun. Dua penanya, satu berasal dari Bojonegoro mengemukakan kegelisahannya ketika mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kebesaran sejarah Nusantara masa lampau. Bahkan beliau sangat terpengaruh dengan versi Arysio Santos, mengenai spekulasi Atlantis. Mas Jeri namanya, saat beliau memeperkenalkan diri, saya sempat refleks berseru “Gery!? Gery kan serigalanya Odin?”. Odin itu tentu semua orang sudah tahu adalah pimpinan para dewa dalam mitologi Nordik. Saya penggemar mitologi Nordik memang. Rupanya saya salah dengar. Nama beliau Jeri bukan Geri. Tapi salah dengar tidak apa juga. Band Soundgarden dulu punya lagu yang mendapat cukup banyak penghargaan, berjudul “Black Hole Sun”. Sang vokalis, almarhum Chris Cornell (Tolong kesediaan mengirimkan Alfatihah untuk salah satu orang terkeren di industri musik dunia, terakhir lebih populer saat menjadi vokalis Audioslave) sebenarnya mendapat ide judul serta lirik lagu itu karena salah dengar sebuah berita di televisi. Dan ketika dia tahu bahwa apa yang dia dengar itu sebenarnya salah almarhum Chris Cornell berkata “Well he didn’t say it but I heard it. And it created this image in my brain”. Dan lahirlah karya yang luar biasa, dari salah penangkapan pendengaran.
Maiyah dan Evolusi Budaya
Menurut Richard Dawkins, perstiwa meme kebudayaan juga bisa lahir dari kesalahan penangkapan pesan ke pesan demi pesan. Meme budaya adalah teori mengenai bagaimana sebuah cerita, sebuah versi, sebuah teori atau apapun itu bisa terserap dan terartikulasikan dengan berbagai versi di berbagai belahan kebudayaan. Kelak, kata meme menjadi sangat populer di internet sebagai pesan dengan gambar yang bersebaran di medai sosial. Meme yang dalam teori Dawkins disebutkan sebagai faktor yang sangat penting dalam perjalanan evolusi budaya dunia.
Sudah berkali-kali Mbah Nun tekankan pada kita bahwa di Majelis Maiyah sebenarnya yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita menemukan sendiri jawaban, atau menentukan dengan mandiri pesan yang urgent untuk diri kita. Pada sisi ini, Maiyah sebenarnya juga menjadi fasilitator meme kebudayaan dan darinya dia juga menjadi penyokong evolusi budaya itu sendiri. Mekanisme kerja evolusi budaya memang sangat halus, seperti benang tipis. Mungkin seperti titian rambut dibelah ribuan keping. Dia jarang terasa, ketika sedang berlangsung. Kecuali kalau kepekaan kita terasah. Dan di sini, bukankah kita juga memang melatih kepakaan-kepekaan itu?
Sementara seorang lagi penanya yang berasal dari Sulawesi Selatan bernama Zulfikar. Tepatnya dia berasal dari Enrekang. Tampaknya Zulfikar ini memendam keresahan mengenai bergesernya sesuatu yang dia anggap sebagai kebudayaan asli dengan ragam lifestyle budaya asing. Sepertinya, kita masih sering terjebak pada bahasan mengenai budaya murni (Asli) dengan budaya asing. Itulah kenapa tadi saya sedikit masukkan teori meme kebudayaan sebagai bagian dari proses evolusi budaya. Sebenarnya yang mana budaya murni yang mana yang asing? Bisa dikatakan, aslinya kita tidak tahu-tahu betul juga.
Mbah Nun memberi kita pemaparan yang melegakan di sini. Titik tumpunya jelas bukan soal salah-benar, tapi kita diajak menikmati keluasan. Mbah Nun gambarkan bahwa apa yang bisa kita jangkau dengan ilmu harus kita pelajari betul-betul tapi apa yang tidak bisa kita jangkau maka pakailah iman. Tentu kita juga bisa memasukkan variabel waktu di dalam ini. Karena apa yang belum bisa dijangkau di masa lalu, bisa saja kemudian menjadi terjangkau di masa sekarang. begitu pun terus ke depan. Dan bisa saja juga berlaku kebalikan.
Kita diajak untuk kembali dulu kepada substansi bahwa semua pelajaran sejarah itu sifatnya relatif. Dalam bahasan sejarah memang ada yang namanya sejarah teknis dan sejarah populer. Juga ada imajinasi kolektif mengenai sejarah. semua itu bisa ada titik temunya dan sangat bisa juga sangat berbeda. ini adalah hal paling mendasar dalam pola pikir ilmiah, bahwa kebenaran ilmiah adalah salah satu dari berbagai macam pilihan versi kebenaran. Jadi, kata siapa Maiyah tidak menghargai kajian ilmiah? Justru Maiyah sangat memurnikan kembali wacana akademis-ilmiah itu. Atau minimal, yang saya rasakan sih begitu.
Dari sini kemudian kita diajak untuk menikmati batasan pengetahuan. Kita perlu tahu kadar kita dengan klasifikasi: Ada hal yang harus kita tahu, ada hal yang sebaiknya kita tahu, ada hal yang kita boleh tahu dan boleh juga tidak tahu, ada yang sebaiknya kita tidak tahu dan ada yang harusnya kita tidak perlu tahu. Semua klasifikasi itu, hanya diri kita sendiri yang bisa menentukan, sebab apabila otoritas mana yang perlu kita tahu dan tidak boleh kita tahu saja misalnya, dipegang oleh beberapa gelintir orang maka yang terjadi adalah produksi relasi kuasa pengetahuan yang kejam.
Tadabbur Supaya Tidak Mudah Baper
Itulah pentingnya kemudian kita belajar mandiri dan otentik. Agar kita tidak sembarangan kalir oleh berbagai legitimasi relasi kuasa. Relasi kuasa di sekitar kita sangat beragam dan silang-sengkarut saling berkelindan. Terutama kita masyarakat yang masih erat dengan komunalitas, sangat masih terlalu mudah dipengaruhi oleh berbagai narasi mistis-magis. Lihat sosok bijaksana-bijaksana dikit, langsung terpesona. Tambah cerita ajaib-ajaiban dikit, langsung ta’dhim, langsung militan. Sama kayak istilah anak zaman sekarang “Nyaman dikit, langsung sayang”. Jangan terlalu sering baper, nanti bucin.
“Budaya itu bikinan manusia, agama itu bikinan Tuhan,” ini diingatkan sekali lagi oleh Mbah Nun pada kita. Dan dari pijakan ini kita bisa membahas sangat banyak sekali ragam hal. Budaya selalu sifatnya cair dan saling bersentuhan. Mengalir di arus zaman. Kalau sebuah budaya terbekukan, kemungkinan besar ada kepentingan yang bermain di situ. Sementara agama dia adalah prinsip dasar, kekokohan logika dan relasi iman yang ke dalam diri. Belakangan ini kita sepertinya jatuh pada dua titik ekstrim, antara ketergila-gilaan pada perspektif budaya murni dengan kegandrungan tafsir agama murni.
Bayangkan saja begini, andai Nabi Muhammad hidup di masa ini dan beliau membaca misalnya kitab hadits Sahih Bukhari. Menurut anda, kira-kira bagaimana tanggapan Sang Nabi? Sangat masuk akal untuk membayangkan Rasulullah sendiri akan membacanya dengan terheran-meran. Kenapa? Karena era ketika hadits dikitabkan dengan masa Rasulullah SAW hidup, rentang jaraknya sudah sangat jauh. Trend bahasa, cara penyampaian, atmosfrr sastra, udara kebudayaan serta berbagai variabel lainnya sudah jauh sekali. Yang bisa sampai memang hanya impresi, bahwa Rasulullah kira-kira berkata demikian. Bukan tepat betul kata per kata.
Dan soal impresi itu, rasanya yang paling tepat memang metode tadabbur. Mbah Nun ajak kita kembali ke tadabbur untuk melengkapi tren tafsir yang sangat baku. Tafsir penting untuk olahraga otak. Untuk belajar menguji diri, mengetes kemampuan kita bertarung dalam aturan main yang disepakati. Begitu tafsir, begitu juga pola pikir ilmiah sebenarnya. Sedangkan metode tadabbur sangat penting agar kita tidak kehilangan keasyikan, keluasan serta kepercayaan pada otentisitas diri. Mbah Nun sempat juga tegaskan, “Anda tidak perlu paham Bahasa Arab untuk mengalami Al Qur’an”. Ini akan beda jauh dengan syarat-prasyarat dalam tafsir. Kelebihannya, karena tafsir bermain dalam aturan yang disepakati bersama maka hasilnya bisa dipakai bersama. Sedangkan tadabbur hasilnya hanya bisa untuk diri sendiri, maksimal untuk orang terdekat kalau memang setuju.
Malam Mocopat Syafaat di bulan Oktober 2019 Masehi ini cukup panjang. Lewat pukul 03.00 WIB dan pembahasan maasih hangat, masih mesra dan masih bersemangat. Tapi kita memang harus membatasi diri pada segala yang terlalu nikmat. Mocopat Syafaat sudah sangat nikmat dan kalu kita turuti ego kita, kenikmatan ini tidak akan habis-habis direguk. Ada maqam tertentu di mana manusia yang terlalu menikmati berpuasa, juga mesti berani berpuasa dari puasa itu sendiri. Subuh telah menjelang. Doa-doa dilantunkan dan jalan nubuwah ini masih akan tersu mengalir di sendi-sendi kehidupan kita semua.