Grebeg Suran dalam Lanskap Cek Sound
Lapangan Baturan ini bukanlah terletak di desa dalam arti remote area. Ia terletak sebagai salah satu satelitnya kota Solo. Sehingga, suasananya pun kota. Tetapi suasana tradisional pasar malam dapat kita jumpai. Di belakang panggung KiaiKanjeng arena pasar malam itu dipenuhi bermacam sarana permainan anak-anak dan tenda-tenda orang berjualan. Orang-orang bisa mendatangi baik wahana permainan itu maupun panggung KiaiKanjeng dalam waktu bersamaan.
Di backdrop tertulis Grebeg Suran, yang berarti acara ini dimaksudkan menyambut datangnya tahun baru 1 Suro. Dengan rasa malu pada diri sendiri, saya teringat perkataaan alm. Prof. Karkono Kamajaya, “Generasi sekarang sudah tidak mengenal perhitungan seperti itu, bahkan Pasaran sebagai rangkapan Hari pun banyak yang tidak mengetahuinya lagi.”
Prof. Karkono ingin mengingatkan bahwa kalender Jawa itu memiliki rangkapan, artinya tidak hanya kita kenal hari yang berjumlah tujuh, tetapi ada yang disebut rangkapan hari, yaitu pasaran, mangsa (pranatamangsa), paringkelan, tahun, dan windu. Dan kemudian dipadukan dengan hitungan qamariah/Hijryah Islam yang pada akhirnya menjadi “kesatuan perhitungan.” Beliau benar, karena saya pun ternyata temasuk yang tidak mengerti perhitungan kalender tersebut dan hanya tahu hari yang tujuh.
Untunglah ada momen seperti Grebeg Suran, yang marilah kita jadikan pengingat bagi kita, bahwa banyak dari warisan sistem hidup dari kakek dan nenek moyang kita yang perlu diuri-uri. Dan itu tidak perlu bersaing dengan nilai-nilai lain. Sinau Bareng sudah punya rumusan tumbu ketemu tutup dalam soal ini. Maka dua nomor saat cek suara tadi: “Turi-Turi Putih” dan “Dunya La Tarham” menjadi contoh yang terang akan hal itu.
Waktu maghrib telah tiba, adzan berkumandang, langit memerah segera berjalan menuju petang, dan para personel KiaiKanjeng meninggalkan panggung berjalan kaki menuju ruang transit.