CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng ke-4113

GP Ansor Kalipang Ngalap Berkah dan Sinau Bareng

Liputan Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Lapangan Desa Kalipang Sugio Lamongan, Minggu 22 September 2019
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 6 menit

Kriteria Ulama Menurut Allah

Pada kesempatan Sinau Bareng tadi malam, Kyai Muzammil mengajak para jamaah mengingat lagi kata “ulama” di mana kata tersebut merupakan komponen penting dari nama jam’iyyah Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan para ulama. Dari sinilah, Kyai Muzammil membawa jamaah untuk memahami lagi apa yang dimaksud ulama.

Kyai Muzammil menyitir penjelasan KH. Achmad Siddiq bahwa ulama minimal memiliki dua kriteria. Pertama, dia memiliki ketinggian taqwa kepada Allah Swt. Hal ini didasarkan pada firman Allah innama yakhsyaallaha min ‘ibadihil ulama (di antara hamba-hamba-Nya, hanya yang takut kepada Allah-lah yang merupakan ulama).

Kedua, ulama mewarisi para Nabi sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw: al-ulama-u waratsatul anbiya-i (ulama adalah pewaris para Nabi). Menurut penekanan Kyai Muzammil, bukan hanya mewarisi satu nabi, melainkan para nabi. Apa saja yang diwarisi? Ada tiga: ilmu, perilaku dhahir, dan perilaku bathin. Contoh perilaku batin para nabi adalah selalu berprasangka baik, dermawan, melakukan kebaikan tanpa meminta pengakuan, senang mempersatukan, dan lain-lain.

Kyai Muzammil mengingatkan dua kriteria ini karena cemas sebab belakangan siapa yang dipandang ulama bisa terjadi tanpa kriteria yang mendasar. Punya follower yang banyak dan coba berfatwa/berpendapat dengan menghapal sedikit ayat sudah mudah disebut ulama atau minimal kyai, yang memiliki otoritas.

Paparan Kyai Muzammil dalam rangka mengingatkan generasi muda NU mengenai ulama ini langsung memantik pemetaan dan pendalaman dari Mbah Nun. Dari situ, Mbah Nun melihat ada tiga kategori/kriteria ulama yaitu yang bersifat ruhiyah, akhlaqiyah, dan jasadiyah. Yang jasadiyah ini maksudnya adalah kriteria atau ciri yang bersifat material-simbolik yang terbentuk melalui proses budaya dan media.

Melihat bahwa definisi ulama menurut Allah bersifat sangat ruhiyah, maka Mbah Nun berpandangan merupakan tugas organisasi seperti NU untuk berjuang mengembalikan definisi ulama ke tingkat ruhiyah tadi. Lebih lanjut Mbah Nun menguraikan tidak mudahnya menengara ulama. Wilayah akhlak sulit dijadikan ukuran yang gampang dilihat, maka biasanya ukurannya belok ke yang jasadiyah. Misalnya, yang sering nongol di televisi atau media. Atau yang secara penampilan terlihat ustadz atau kyai.

Mbah mengemukakan, kalau ulama memang tak boleh tampil, maka dibutuhkan pemahaman yang lebih tinggi. Pemahaman yang lebih tinggi yang dimaksud oleh Mbah Nun adalah prinsip ‘alaikad da’wah wa alainal balagh (kewajiban kalian adalah berdakwah, nanti Kami yang akan menyampaikan/mengantarkan). Artinya, tugas seseorang ulama adalah berdakwah, nanti dikenal orang atau tidak adalah urusan Allah. Banyak yang tak berani menempuh prinsip ini. Banyak yang tidak berani menjauh dari jalur media terutama media maisntream.

Walaupun tak mungkin menempatkan diri pada posisi ulama, Mbah Nun sempat ceritakan bagaimana pengalaman beliau menjauh dari media. “Ojo meneh ulama, bukan ulama saja saya ndak berani.” Begitu Mbah Nun menggambarkan. Tugas kita semua, menurut Mbah Nun, adalah berbuat baik dan berbuat baik.

Mbah Nun kembali ke kriteria yang hakiki dari ulama. Kalau yang diandalkan untuk mengetahui adalah manusia, maka tidaklah mungkin. Sementara ulama yang benar dia tidak mikir dikenal. Dikenal atau tidak biar Allah yang menentukan. Maka tugas ulama adalah berkonsentrasi ke takut kepada Allah. “Takut aja ke Allah.”

Mbah Nun mengajak semua hadirin mendaftar kata-kata yang dikesankan sebagai masuk dalam cakupan ulama: ulama itu sendiri, kyai, ustadz, gus, dll. Semua terminologi ini hendaknya diurai oleh NU sehingga masyarakat terbantu untuk melihat secara lebih analitis bahwa misalnya tidak semua yang bergelar kyai adalah ulama. Dan ujungnya nanti, berdasarkan ayat Allah mengenai ulama seperti disitir Kyai Muzammil, Mbah Nun mengatakan kita berani sampai pada sikap bahwa meskipun, maaf, seseorang itu sehari-hari angon wedus kalau dia takut Allah, maka dia ulama. Ayat tadi dengan terang menempatkan takut kepada Allah sebagai kriteria utama.

Selanjutnya Mbah Nun masuk ke waratsatul anbiya-i. Bukan nabi, bahkan juga bukan hanya Nabi Muhammad. Jumlah nabi sangat banyak. Sebagian pendapat yang populer mengatakan 124.000. Mbah Nun mengajak berpikir, “Yang Anda lakukan malam ini bersama NU atau Ansor, apakah bukan jalannya nabi (thariqun nabiyy) yang telah dirintis para nabi. Tidakkah ini jalan kenabian?”

***

Sinau Bareng tidak hanya menyuguhkan tandang kegembiraan dan pengolahan berpikir namun juga diam-diam melatih jamaah akan endurance atau ketahanan dalam berbuat baik. Menjelang pukul 01.00 acara baru masuk ke penghujung yaitu doa penutup. Usai itu, Mbah Nun bertahan setia melayani anak-cucunya yang hendak bersalaman. Ini berarti sekian deret lagu KiaiKanjeng akan juga bertahan setia menemani proses salaman. Dan lagu pertama pada sesi ini, seakan hadiah buat GP Ansor Kalipang, adalah lagu Yalal Wathan.

Demikianlah sedikit gambaran dari Sinau Bareng tadi malam. Masih banyak muatan atau cuatan yang belum tersaji di sini. Sinau Bareng ini bukan semata Sinau Bareng, sebab menurut seorang rekan panitia saat ramah tamah di rumah transit dengan Mbah Nun dan KiaiKanjeng, Sinau Bareng ini selain dimaksudkan sebagai jalan mereka mendapatkan suntikan semangat berkhidmat di dalam menjalankan roda organisasi, Sinau Bareng ini juga dimaksudkan bagi mereka untuk ngalap berkah kepada Mbah Nun.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Tidak
KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta