Ghirrah Sang Marja’ Pecinta Al-Qur`an
Pada 2013, Cak Fuad merilis sebuah buku pengantar ulumul Qur’an berjudul Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran? Di antara masih sedikit buku setema yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang pernah saya baca, buku Cak Fuad-lah menurut saya yang judulnya paling mengena dan menyentuh hati. Jauh dari kesan kaku dan kering. Secara halus judul tersebut mengajak kita menengok ke dalam alias introspeksi.
Sekarang ini mungkin saban hari kita mendorong supaya anak-anak kita menghafal al-Qur’an, tetapi pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri sudah seberapa jauh punya kedekatan dan interaksi dengan al-Qur’an? Atau pernahkah kita menjadikan al-Qur’an benar-benar sebagai referensi kita dalam mencari petunjuk pada saat kita dirundung masalah, misalnya. Atau yang paling sederhana, berapa kali dalam satu minggu kita membuka-buka ayat-ayat al-Qur’an lalu coba membaca atau menyelami informasi dan makna yang dikandungnya? Tentu ini hanya beberapa contoh dari pertanyaan introspektif tersebut. Lebih panjangnya bisa kita daftar sendiri-sendiri di kamar atau di ruang belajar kita masing-masing.
Sama-sama kita mengetahui bahwa Cak Fuad adalah pribadi yang sangat mencintai al-Qur’an. Yang paling tampak saja, dapat kita sebut beliau sudah 24 tahun lebih setiap Padhangmbulan mengantarkan kepada kita makna-makna ayat al-Qur’an. Belum lagi forum-forum lain yang beliau ampu di Malang atau di tempat-tempat lain. Sampai saat ini. Semua berkisar dan berangkat dari al-Qur’an.
Suatu ketika, kurang lebih empat bulan silam, saya sowan kepada beliau untuk satu keperluan. Rupanya siang hari itu, hari Selasa, usai dhuhur beliau harus mengisi kajian rutin di Masjid Universitas Malang. Saya pun diajak serta. Semestinya bukan jadwal Cak Fuad, tapi beliau diminta menggantikan. Cak Fuad pun tidak keberatan. Usai shalat jamaah, kajian dimulai. Sejauh saya ingat, tidak banyak yang ikut. Tak lebih dari tiga puluh orang. Sangat sedikit bila dibanding kapasitas ruangan masjid ini. Tetapi lagi-lagi Cak Fuad nggak masalah. Beliau fokus pada tanggung jawabnya untuk menyampaikan ilmu. Dari rumah beliau membawa buku atau kitab yang dirujuk dalam pembahasan.
Sampai di situ, saya tiba-tiba merasa mendapatkan pengertian baru tentang suatu kata, yang teman-teman pun pasti pernah mendengarnya: ghirrah. Atau yang dalam bahasa Indonesia mungkin disebut gairah. Ghirrah atau gairah keagamaan tak harus bermakna gegap gempita, atau kemassalan suatu gelombang jutaan orang mendukung suatu orientasi politik Islam, atau apapun saja yang riuh dalam tubuh umat.
Kesediaan seorang Cak Fuad, yang hingga kini tetap dipercaya untuk periode kedua sebagai anggota dewan majelis umana’ oleh Markaz Malik Abdullah bin Abdul Aziz ad-Dauly Lihidmatil Lughah al-Arabiyah Arab (Lembaga internasional yang berkhidmat di bidang pelayanan dan pelestarian bahasa Arab di Arab Saudi), untuk mau mengisi kajian yang semestinya bukan jadwal beliau, rasanya tak mungkin dilakukan jika bukan lantaran ghirrah keagamaan yang kuat, meski sunyi, dengan audiens yang mungkin tak nyampe hitungan lima puluh orang, di tengah lalu lalang para mahasiswa atau orang-orang di kompleks kampus itu. Kesetiaan menempuh jalan sunyi, itulah barangkali ghirrah yang saya maksud.
Sudah begitu, topik yang diangkat pun sangat serius, sungguh-sungguh, dan mencerminkan keprihatinan beliau. Siang itu yang beliau sampaikan adalah sesuatu yang jarang dibicarakan di mimbar-mimbar kajian alias tidak populer. Yaitu: Berpikir. Cak Fuad mengawali kajiannya dengan mengatakan akan mengulas satu perintah agama yang jarang kita lakukan yaitu tafakkur. Makjleb.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah tafakkur beliau paparkan, dan dalam hati saya terasa sampai pesan itu: sudah sangat jelas berpikir itu perintah Allah atau perintah agama, tapi kok kamu nggak pernah berpikir. Jangan-jangan kamu salah dengan menyangka bahwa yang kamu lakukan itu perintah agama padahal bukan atau hanya nafsu kamu yang kamu atasnamakan agama. Apakah kemampuam akal kita sudah kita dayagunakan untuk sesuatu yang mendesak kita pikirkan? Ataukah akal kita selama ini hanya kita sibukkan untuk hal-hal yang tidak mashlahat, tidak menunjang kehidupan yang lebih baik atau malahan merusak kehidupan.
Jika memakai gaya redaksi judul buku beliau yang saya sebut di awal, kajian di masjid UM itu berjudul: Sudahkah Kita Berpikir?
Itulah sepotong siang yang pernah saya alami bersama Cak Fuad, dan saya belajar akan suatu makna ghirrah yang selama ini belum saya sadari. Masih banyak kiranya contoh ghirrah yang bisa kita pelajari dari beliau, yang saya yakin sebagian dari teman-teman telah memetiknya sendiri-sendiri juga.
Hari ini, 7 Juli 2019, beliau berulang tahun. Mari kita berdoa, semoga Allah memanjangkan usia beliau, menganugerahkan bertambah sehatnya beliau, agar beliau tetap bisa menemani kita semua dengan ayat-ayat al-Qur’an, kitab suci yang beliau cintai, yang beliau ingatkan pada kita tak akan habis mutiara maknanya sampai kapanpun kita menambangnya.
Yogyakarta, 7 Juli 2019