Fokus ke Fi’il, Jangan ke Isim
Terdengar suara tangis lumayan keras saat Cak Noeg, penyair ”Ora Blas Puisi”, menyambut Mbah Nun. Air mata penyair bermuka garang itu seketika tumpah saat ia memeluk Mbah Nun. Mbah Nun lalu mengelus ubun-ubun Cak Noeg. Ada alasan mengapa kedatangan Mbah Nun disambut tidak seperti biasanya. Hari-hari yang lalu pelbagai jenis hujatan di media sosial diarahkan ke Mbah Nun. Jamaah yang mengetahui itu tentu sedih dan ada juga yang marah. Melihat kenyataan itu, jamaah merasa tidak tega Mbah Nun yang sudah sangat sepuh masih menerima pelbagai jenis fitnah.
Berangkat dari kenyataan itu, kita kira Mbah Nun bakal bersedih dan berwajah cemberut. Namun, perkiraan kita sama sekali keliru. Mbah Nun tampak ceria dan tak sedikit pun menunjukkan beliau baru saja menanggung sedih yang begitu mendalam. Beliau menyambut jamaah seolah hari-hari yang lalu tidak tidak terjadi apa-apa. Kedatangan Mbah Nun ke Gambang Syafaat kali, 22 Mei 2019, seperti memberi kabar bahwa segala kebusukan informasi di media sosial yang merendahkan dan menghina beliau, tidak sedikit pun mengganggu kegembiraan Mbah Nun (secara pribadi) dan Maiyah (secara umum).
Setiap bulan, selalu ada jamaah yang kecewa karena merasa ”tertipu” tidak menjumpai Mbah Nun di Gambang Syafaat. Kadang rasa kecewa itu langsung diutarakan kepada penggiat saat acara Sinau Bareng berakhir. Kadang juga cukup hanya menjadi gerundelan di hati saja. Pertanyaan mereka sama,”mengapa Mbah Nun tidak hadir?” Kalau kebetulan Mbah Nun sedang ada jadwal dengan KiaiKanjeng, mereka bisa tahu sendiri jawabannya. Namun, ketika tidak ada jadwal KiaiKanjeng pas tanggal 25, penggiat sering memberikan jawaban awuran-awuran selama masih bisa diterima akal.
Mbah Nun memang jarang membersamai jamaah Maiyah Gambang, maka dari itu wajar setiap kali Mbah Nun datang selalu disambut dengan ungkapan rindu yang meluap-luap. Apalagi selama periode pilpres, Mbah Nun tidak luput menjadi bahan hujatan di media sosial. Dan, kita tahu ada orang yang marah kalau orang yang hormati dinistakan dan direndahkan. Tidak terkecuali orang-orang yang berada di Maiyah sendiri.
Si moderator, Kang Dur, tidak cukup banyak kata kala mempersilakan Mbah Nun untuk berbicara. Ia tidak cukup kuat menahan air matanya tumpah. Suara bicaranya Kang Dur pun kentara kalau ia sedang berbicara sekaligus menahan air mata. Menghadapi Kang Dur yang tidak seperti biasanya, yang selalu tampil dengan humor-humor menggelegar, suasana menjadi hening sejenak. Mbah Nun lalu mengendalikan situasi, mikrofon dipegang. ”Wis Dur, tuntaske tangismu sek,” kata Mbah Nun ke Kang Dur, ”Tangismu wis tekan surga.”
Sebagai pembuka, Mbah Nun menjelaskan bahwa sifat dasar manusia itu dengki. Apa saja bisa menjadi bahan dengki. Sejauh mata memandang selalu timbul rasa dengki di lubuk hati. Sifat ini tidak bisa diredam kalau kita tidak ingat rasa bersyukur. Jadi, selama kita tidak pandai bersyukur, sifat dengki itu menjadi dominan di diri kita.
”Saya sepanjang hidup dikepung rasa dengki,” kata Mbah Nun kepada jamaah. Dari sejak kecil, remaja, dewasa, sampai sekarang sudah tua, kedengkian itu tidak surut malah terus bertambah. Dulu saat masih mondok di Gontor, Mbah Nun selalu juara lomba Qori`, klub sepakbolanya tidak ada yang mengalahkan, juara lomba Pramuka, dan jenis-jenis lomba-lomba lainnya. Keseringan menjuarai pelbagai lomba itu malah justru membuat Mbah Nun didengki banyak orang.
Bahkan ketika usia sudah memasuki usia 60 tahun ke atas. Rasa dengki itu terus datang dan mirisnya itu dilakukan oleh sahabat-sahabat Mbah Nun sendiri. ”Aku di Indonesia rak duwe karier, orak gelem bersaing , orak dadi pejabat, kok isih ono sing dengki.” Dan bahan untuk mendengki Mbah Nun bermacam-macam. Paling sering yang dijadikan bahan untuk mendengki berkaitan dengan apa yang dilakukan Mbah Nun. Apa saja yang dilakukan Mbah Nun, pasti ada orang yang mendengki. Rumus sederhanyan seperti itu.
Namun, Mbah Nun sama sekali tidak menaruh benci kepada orang-orang mendengkinya. Justru, kata beliau, itu menambah beban doanya. Sebab, beliau harus mendoakan orang-orang yang mendengkinya. Semakin banyak orang yang mendengkinya, semakin panjang doa yang dilafalkan. Mbah Nun tetap mencaiptai orang-orang yang mendengkinya. Mbah Nun menganggap kedengkian yang ditujukan kepada dirinya tidak atas dasar kebencian, tetapi dari cara berpikir atau memahami yang keliru.
Selama ini cara berpikir kita masih fokus pada isim (nama), tidak ke fi’il (perbuatan). Isim itu, kata Mbah Nun, ”Sifat yang dilembagakan.” Mbah Nun mencontohkan, semisal beliau sedang memijati Habib Anis, jangan lantas gampang disebut Mbah Nun sebagai tukang pijat. Itu karena beliau bisa mijat dan semua orang yang bisa mijat tidak bisa langsung disebut tukang pijat. Isim itu tanda atau simbol. Atau bisa juga disebut pelembagaan atau penamaan. Dan, dalam konteks tukang pijat itu tadi, kita menamakan tukang pijat kepada orang yang bisa memijat itu yang namanya isim. Cara berpikir yang bergantung pada penamaan atau lembaga sering membuat kita keliru.
Mbah Nun menolak apa yang dilakukan itu langsung diklasifikasikan ke profesi tertentu. Sebab, dalam pandangan Mbah Nun, beliau memiliki pola hidup yang tidak bisa dilembagakan. Mbah Nun hanya menjalankan apa yang diinginkan Allah kepada dirinya. Saat Mbah Nun melakukan suatu hal itu bukan atas tuntutan profesi atau sedang menjalani profesi baru, tetapi sedang menjalankan keinginan Allah.
Pola hidup seperti itu dipahami oleh orang-orang bahwa Mbah Nun adalah orang yang tidak bisa istiqamah di satu bidang. Beliau selalu tampil seolah-olah ingin menguasai semua bidang. Peralihan dari aktivitas satu ke aktivitas lainnya itu sering menimbulkan salah paham. Semisal kala dulu Mbah Nun sering menulis puisi dan membuat pementasan puisi lalu berbelok ke menyanyi dan menembangkan sholawat dan tembang-tembang Jawa. Banyak orang-orang yang mempermasalahkannya. Suara-suara yang mempersalahkan keputusan Mbah Nun itu bermacam-macam. Bisa juga seperti ini: ”katanya penulis dan penyair, kok sekarang nyanyi”. Atau juga bisa seperti ini: ”katanya sudah jadi penyanyi kok sekarang sering mengisi pengajian.”
Bagi Mbah Nun, jenis profesi apa saja tidak bisa disematkan pada dirinya. Itu yang membuat identitas pekerjaan hidupnya menjadi tidak jelas. Dikira ustadz ya tidak. Pejabat ya tidak. Penyanyi ya tidak. Intelektual ya tidak. Paling banter sering disematkan identitas budayawan. Tapi penyematan itu tidak atas dasar permintaan Mbah Nun. Karena peralihan beragam aktivitas itu, menurut Mbah Nun, ”Orang yang berpikir profesional jadi tidak betah dengan saya.”
Sebab, orang yang berpikir profesional memahami Mbah Nun dengan berpikir isim. Tidak pada fi’il. Orang-orang sering tertipu pada isim itu tadi. Padahal apa yang dilakukan Mbah Nun itu bergantung pada fi’il. ”Kalau kita berpegang pada fiil, kita tidak meninggi-ninggikan orang, tidak merendah-rendahkan orang,” kata Mbah Nun. Sekarang, kita menilai orang lain berdasarkan isim. Penialian seperti itu juga sering berlaku terhadap Mbah Nun.
Ketika Mbah Nun masih berpuisi dikira penyair. Kala Mbah Nun bernyanyi langsung dikira penyanyi. Padahal yang dilakukan itu tidak untuk mengejar agar bisa dinamai penyair atau penyanyi. Mbah Nun mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tidak untuk mengejar pencapaian. ”Saya tidak merasa mencapai apa-apa.” Semua yang dilakukannya itu kehendak Allah. Termasuk juga Maiyah. ”Kalau ada mengganggu Maiyah, itu bukan urusan dengan saya. Maiyah bukan buatan saya.”
Pernyataan terakhir Mbah Nun itu adalah jawaban dari kesalahpahaman orang-orang. Pasalnya, banyak orang mengira dengan adanya Maiyah, Mbah Nun seolah dinabikan. Anggapan itu ditepis Mbah Nun. ”Saya memanusiakan diri saya sendiri habis-habisan,” kata Mbah Nun. Dan sejak beberapa simpul Maiyah membacakan Amar Maiyah. Mbah Nun mengatakan bahwa itu juga bagian desakralisasi Emha. Tidak ada penyakralan atau pengultusan kepada dirinya. Mbah Nun tetap menjadi orang biasa saja. ”Sama-sama wong cilik,” katanya.
”Tolong teman-teman Maiyah kalau sering disalahpahami. Jangan khawatir. Teruslah berbuak baik.”
”Capeklah dengan amal sholehmu, jangan capek dengan yang lain,” Kata Mbah Nun di akhir acara. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi tapi wajah para jamaah masih sangat cerah. Seolah masih menginginkan pertemuan yang lebih panjang lagi. Keinginan itu selalu muncul di hati para jamaah setiap bertemu Mbah Nun. Namun, kita sadar hidup di dunia ini saja sementara, apalagi sebuah pertemuan. Jamaah pun mengikhlaskan diri kala Mbah Nun memimpin doa dan meminta jamaah salaman dengan sesama jamaah. Tidak ada sesi salaman dengan Mbah Nun kali ini. Dan lagi-lagi tidak ada suara protes terdengar. Semua menerima. Semua menyadari keadaan lapangan. Suara-suara dari corong masjid terus menyuarakan, ”Sahur… sahur.. sahur…” Persis kala waktu sahur diumumkan. Jamaah berbondong-bondog meninggalkan Aula Masjid Baiturahman, Semarang (Yunan Setiawan).