Fakir, Terasing dan Bodoh
Kenduri Cinta malam ini menjadi tuan rumah Ijazah Maiyah untuk Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail dan Iman Budhi Santosa. Pada hakikatnya Ijazah Maiyah adalah momentum atau tonggak dzikir Maiyah ketika menemukan nilai-nilai kehidupan yang diperjuangkan dan diyakininya.
Ketiga penerima Ijazah Maiyah 2019 ini adalah tiga pejuang nilai-nilai sejati dari Allah swt, yang tanpa melalui Maiyah, relatif berhasil mempertahankan “diri ilahiyah”-nya sampai usia sepuh mereka. Tidak ada makhluk yang mengetahui persis kebenaran yang dimaksudkan oleh Allah swt, tetapi semua berhak, bahkan berkewaijiban, untuk melakukan Ijtihad dengan alam berpikirnya, Mujahadah dengan semesta rohaniahnya, dan Jihad di dunia nyata yang hari ini dikuasai hampir sepenuhnya oleh Materialisme.
Materialisme adalah kutub paling jauh dari Dzat Allah swt, paling seberang dari Sifat Allah swt, serta paling rendah dari ketinggian hakikat Allah swt. Tiga penerima Ijazah Maiyah 2019 ini bukan manusia dengan pencapaian Nabi, tidak pernah dikenal sebagai Spiritualis, tidak diidentifikasikan oleh mainstream Peradaban Dunia abad 20-21 di mana mereka hidup bertugas di dunia — sebagai Imam, Syaikh, Maula, Panembahan, Begawan, Sufi atau gelar apapun.
Dunia sedang menyangka bahwa mereka tidak membutuhkan itu semua. Yang dibutuhkan oleh penduduk bumi adalah kecerdasan manajemen materialisme. Masyarakat Maiyah dianjurkan juga untuk “wa la tansa nashibaka minad-dunya”, tetapi memilih kecerdasan keduniaan itu demi keselamatannya di hadapan Allah: didialektikakan atau dikomprehensikan dengan kecerdasan akhirat.
Forum induk Maiyah Padhangmbulan pada 18 Juli 2019 akan mendalami dan meluasi terminologi: Cerdas Dunia Cerdas Akhirat, Cerdas Dunia Bodoh Akhirat, Cerdas Akhirat Bodoh Dunia, dan Bodoh Dunia Bodoh Akhirat. Variabel empiris dari terminologi bisa dikuakkan melalui penambahan kata: sedikit, banyak, sebaiknya, semoga, belum tentu dst, agar masing-masing individu Maiyah bisa menakar dirinya masing-masing maupun masyarakatnya untuk menemukan ketepatan hidup di hari depannya.
Mereka tidak memiliki kesempurnaan sebagai makhluk Allah swt, tidak unggul secara dunia, tidak hebat menurut ukuran-ukuran manusia yang mengaku modern, serta bukan Sarjana Utama ilmu pengetahuan yang ummat manusia kontemporer mengenalinya. Tetapi terdapat tanda-tanda pada mereka, pada tiga perempat abad hidup mereka, bahwa mereka adalah hamba Allah swt yang karena pilihan-pilihan hidupnya: tidak dibiarkan oleh Allah swt untuk berada jauh dari hidayah-Nya. Untuk tidak melangkahkan kaki ke manapun kecuali mentakjubi kekayaan dan keindahan karya-karya Allah swt.
Masyarakat Maiyah menghormati mereka karena warganya baru mengalami awal-awal ujian, bahkan mungkin banyak yang belum pernah benar-benar menempuh ujian yang dikelaskan oleh Allah swt. Masyarakat Maiyah sangat belajar berhati-hati dan waspada secara ilmu akal maupun penglihatan rohani, agar tidak terseret oleh arus dan frekuensi Iblis, Dajjal serta Ya’juj Ma’juj yang sangat berwujud nyata sekarang ini. Yang mayoritas penduduk bumi berkeyakinan teguh bahwa itu hanyalah halusinasi dan teori kosong.
Arus di mana ummat manusia mendefinisikan neraka sebagai sorga. Menyimpulkan kejahiliyahan sebagai pencerahan. Menyembah wujud yang paling rendah. Menumpuk hal-hal yang seharusnya dibagi-bagi. Mendirikan pagar-pagar yang membuat rahmat Allah swt ditolak untuk masuk. Menyangka kesia-siaan adalah sukses, dan kekonyolan adalah kehebatan. Meyakini bahwa mereka adalah pemilik bumi dan alam, pemilik diri mereka sendiri, bahkan pemilik ummat, masyarakat dan rakyat. Bahkan mereka berani menjadikan Allah swt sebagai bagian dari alat nafsunya.
Di pertengahan 2019 ini Maiyah mengalami dan merasakan betapa mereka harus sangat berpuasa hampir di semua dimensi hidup di tengah ratusan juta makhluk Allah swt yang semacam itu.
Masyarakat Maiyah adalah kaum fuqara, miskin dan faqir di hadapan Allah swt. Untuk itu mereka ikhlas berpuasa di dunia sementara ini: mereka hadir sebagai golongan yang ghuraba`, yang terasing di dunia. Mereka meletakkan diri sebagai kelompok orang-orang bodoh di Negerinya sendiri. Orang bodoh adalah yang paling berkepentingan untuk Sinau Bareng, berpuasa mengunci bibirnya serapat-rapatnya. Karena kalau ia “berbuka”, maka tindakannya akan “merusak dunia”, akan “makar” dan membakar hati para penduduk dan pemimpinnya. Meskipun tidak mungkin mengalami “kekalahan yang bodoh dan konyol”, tetapi Maiyah menahan diri agar tidak terperosok masuk jurang “kemenangan yang menjebak diri dan menghancurkan yang lain”.
Yogya, 11 Juli 2019
Emha Ainun Nadjib