Estetika Qira`ah Melampaui Jender
Sama seperti teman-teman yang hadir, saya pun menikmati menyaksikan Bu Anne K. Rasmussen senang hatinya bisa bertemu lagi dengan Mbah Nun dan KiaiKanjeng, dan disambut Mbah Nun lewat pertemuan silaturahmi dan sarasehan musik di Rumah Maiyah dua hari lalu, serta diajak naik ke panggung Sinau Bareng jumat (5/7) malam di Balai Padukuhan Dero Condongcatur.
Bu Ann adalah seorang Profesor Etnomusikologi dari Amerika dengan jam terbang sangat tinggi, dan menariknya dalam dirinya bukan saja tergabung dua disiplin ilmu pengetahuan antropologi (etnografi) dan ilmu musik teoretis, tetapi Beliau sekaligus piawai memainkan alat-alat musik, terutama alat musik Arab. Maka dulu, KiaiKanjeng pernah belajar alat musik Arab kepada Bu Ann.
Dalam sarasehan di Kadipiro itu ternyata kemudian juga disadari oleh Mbah Nun bahwa beliau juga oke dalam bernyanyi. Ini yang selama sekian kali Bu Ann ikut ke panggung KiaiKanjeng belum diekplorasi. Lebih banyak beliau mengiringi KiaiKanjeng dengan gambusnya. Jadilah, tadi malam dalam salah satu nomor kolaborasi dengan KiaiKanjeng, Bu Ann menyanyikan lagu Bil ladzi askara min ‘adzbil lamaa tanpa jari-jarinya lepas dari memetik senar gambus yang selalu dibawanya ke mana saja. Baru diketahui juga kemarin bahwa lagu ini kalau di Indonesia dapat ditemukan pada Inna fil jannati nahron min laban.
Seagaimana para maestro musik, musisi, dan etnomusikolog, fadhilah dasar yang dimiliki adalah tingkat kepekaan indera pendengarannya kepada bunyi, nada, dan irama. Semalam saja, waktu masih ngobrol di ruang transit, begitu mendengar qari melantunkan ayat-ayat al-Qur’an tanda acara telah dimulai, Bu Ann langsung bergegas mendekat ke panggung untuk merekam lantunan tilawah tersebut.
Kemudian ketika sudah berada di atas panggung bersama KiaiKanjeng, Bu Ann menyaksikan Mbah Nun mengecek (dicek langsung dengan mereka melantunkan) apakah para hadirin tahu dan hapal beberapa nomor shalawat yang nanti akan dikolaborasikan dengan Bu Ann, saat Mbah Nun melantunkan opening KiaiKanjeng yaitu Pambuko, Bu Ann telah menerima keragaman bunyi. Belum lagi bahwa bunyi itu dihasilkan oleh alat-alat musik KiaiKanjeng dari yang tradisional hingga yang modern.
Berlimpah ragam bunyi yang Bu Ann terima. Kalau pakai bahasa ekonomi dan pembangunan, Bu Ann telah beroleh kesejahteraan bunyi dalam dua hari kemarin dari atau bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Bayangkanlah suatu negeri atau wilayah yang apabila di situ tak banyak bunyi dihasilkan. Sepi. Di negeri dan kebudayaan Indonesia, bunyi sangat berlimpah, kaya, dan indah. Maka Bu Ann mengatakan kepada semua hadirin, “kebudayaan kalian sangat indah.”
Bagi kajian antropologi kontemporer, bunyi bukan hanya wilayah musik, namun ada relasinya dengan budaya suatu kawasan (negara, suku, atau wilayah), dan inilah yang disebut sebagai soundscape. Ketika Bu Ann bercerita kali pertama datang ke Indonesia tiga puluh tahun silam, di bulan Ramadhan, beliau mendengar suara adzan, suara orang mengaji, suara orang shalat tarawih, musik Islami, dan lain-lain, beliau tidak sedang mendengar bunyi saja, namun beliau sadar sedang merasakan suatu masyarakat dengan segenap tradisi dan way of life-nya, yang salah satunya ditandai oleh jenis dan ragam bunyi yang hadir di ruang-ruang di dalam masyarakat itu.
Dalam buku Bu Ann yang baru saja terbit bahasa Indonesia Merayakan Islam Lewat Irama: Perempuan, Seni Tilawah, dan Musik Islam di Indonesia ada dibahas tentang soundscape ini. Buku Bu Ann yang versi Inggrisnya berjudul Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia ini merupakan kajian atau studi yang dilakukannya dalam waktu yang cukup panjang tentang tradisi masyarakat muslim Indonesia khususnya pada fokus mengenai Wanita, Al-Quran yang dilantunkan, dan Musik Islam di Indonesia.
Dalam menyusun buku ini, sebagaimana karya doktoral pada umumnya, Bu Ann melibatkan sejumlah konsep dalam ilmu sosial untuk membaca fenomena yang dijumpainya sehingga dapat diperoleh penemuan-penemuan yang dapat dibaca secara multiperspetif dan saling berkait, dan sebenarnya fenomena yang dilihat pun menjadi terasa indah dan menarik, seakan lahir estetika intelektual tersendiri pada penggunaan pendekatan interdisipliner.
Salah satu konsep yang digunakan adalah perspektif kesetaraan jender. Dengan membandingkan dengan apa yang berlangsung di dunia Arab, dalam hal Seni Baca Al-Quran, Bu Ann menemukan bahwa di Indonesia peserta MTQ itu ya laki-laki dan perempuan, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak. Dewan hakimnya pun demikian. Bu Ann melihat ini sebagai suatu kesetaraan jender. Di dunia Arab, Bu Ann tidak menjumpainya. Sebabnya beragam dan beberapa lapis. Misalnya masih adanya sense dan kekhawatiran bahwa perempuan kurang seyogyanya tampil di muka publik untuk melantunkan al-Quran di mana tidak hanya ada perempuan tapi juga laki-laki yang mendengarkan. Jika Anda berminat lebih jauh, bisa teman-teman baca langsung tulisan Bu Ann di jurnal Ethnomusicology, Vol. 45, No. 1 (2001) berjudul “The Qur’an in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory.”
Artikel jurnal tersebut, kata Bu Ann kepada saya tadi malam adalah tulisan pertama yang dibuatnya sesudah tahun-tahun pertama berada di Indonesia dan berinteraksi langsung dengan para qari dan qariah Indonesia. Juga artikel ini bisa dikatakan embrio yang kelak berkembang menjadi buku Merayakan Islam dengan Irama ini. Demikianlah Bu Ann dalam hal ini lantasa sangat dekat dengan Maria Ulfa sebagai fenomena qariah Indonesia yang memiliki reputasi dan audiens internasional.
Bahkan Ingrid Mattson, presiden Masyarakat Islam Amerika Utara, yang menulis buku The Story of the Qur’an yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga (Ulumul Quran Zaman Kita), pada bab “Suara dan Pena” menyebut Maria Ulfa sebagai qariah pertama di dunia. Maksudnya, perempuan atau qariah terbaik pertama yang melantunkan ayat-ayat suci al-Quran di muka publik yang lantunannya direkam lewat kaset sehingga dapat didengarkan siapapun di belahan dunia mana saja.
Ketika kemarin Bu Ann sedikit mengutip temuan kesetaraan jender itu dalam hal seni membaca al-Qur’an, seraya senang mendengar informasi ini, Mbah Nun bahkan menangkapnya lebih jauh, “Bahwa dalam qiroah tidak ada pembedaan estetika qiroah lelaki dengan perempuan. Qiroah itu pasca atau di atas gender. Qiroah bahkan di atas musik, karena tidak memerlukan alat-alat musik, sudah merupakan puncak, inti, dan kristal keindahan.”
Teman-teman yang bersetia belajar di Sinau Bareng kiranya segera merasakan persamaannya dengan prinsip dan praktik Sinau Bareng itu sendiri yang tidak terutama bertitik tekan pada laki-laki dan perempuan, tetapi bahwa semua berposisi pada manusia, bukan jenis kelaminnya, dan dari posisi manusia akan menapak ke arah yang lebih luas dan tinggi (ilmu, kegembiraan, persaudaraan, dll). Scape yang demikian ini di Sinau Bareng saya rasa juga dinikmati oleh Bu Ann. Sehingga di Sinau Bareng, Bu Ann juga menikmati sekaligus sound dan scape tersendiri dan khas.
Persis seperti ketika Bu Ann sendiri sudah menggambarkan KiaiKanjeng dalam buku Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia sebagai, yang kira-kira terjemahnya seperti ini, “Yang global, lokal, tradisional, dan otentik dengan bagus dipadukan oleh KiaiKanjeng dan Emha Ainun Nadjib. Selama penampilannya, hadirin yang duduk di tempat publik yang sangat luas semuanya dirangkul, dihibur/digembirakan hatinya, dan ditantang melalui teater musikal yang melibatkan satir politik, canda atau kesegaran sosial, diskusi mendalam, tafsir al-Qur’an, dan dzikir/doa,….” (hal 198-199).
Dan tadi malam, Bu Ann melihat sudah ada satu tambahan lagi, yaitu workshop dan game. Ketika Mas Jijid dan Mas Doni memandu game Lepetan (yang kata Mas Doni belum ada padanan katanya dalam bahasa Inggris), saya lihat Bu Ann sangat antusias dan senang melihat adegan para partisipan bergerak melewati ketiak teman-temannya dalam game itu. Di sini, kita bisa mengatakan bahwa beberapa jam dalam sekali Sinau Bareng adalah suatu soundscape yang selain telah memberikan kesejahteraan bunyi, pikiran, hati, dll kepada kita semua, juga akan meninggalkan jejak dan rasa kangen, seperti rasa kangen Bu Ann kepada KiaiKanjeng, yang setiap kali Bu Ann datang ke Indonesia selalu mencari mereka. Terima kasih, Bu Ann sudah datang lagi ke Indonesia, dan sudah bisa mengucap Mbah untuk Mbah Nun.