Emangnya Penting Siapa Ente?
Tak ada yang lebih lucu melebihi manusia modern. Kalau mereka bergaul, baik dalam konteks hubungan keseharian biasa, konteks negara, agama, politik, atau apa pun, pedoman mereka bukan apa yang engkau perbuat melainkan siapa engkau. Lantas mereka bereklamasi: to be or not to be, that is the questions ...
To be itu identitas. Be a danramil, be a engineer, be a kiai, be a minister, be, be, be …
To be dijunjung-junjung melebihi penghormatan kepada Malaikat Jibril dan Roh Kudus atau Batara Wisnu. Orang dipandang be-nya bukan do-doing-done-nya. Dibedakan antara someone dan no-one. Antara man makes news dengan man of nothing. Man makes news diatur dengan parameter moral yang berbeda dengan man of nothing. Kalau man makes news melakukan A, dia berdosa dikuak-kuak tabirnya. Kalau man of nothing melakukan A-kuadrat bahkan A- pangkat sepuluh, tak apa-apa.
Seorang kiai dihabisin karena kawin semalam dan seorang kiai lain tersenyum getir. Masih untung dia cari-cari dalil, sementara ribuan orang lain langsung tancap-tancap saja dan tak ada yang meributkan. Apakah seorang kiai diwajibkan oleh Tuhan shalat 100 kali sehari sementara yang bukan kiai cukup lima kali sehari? Sementara di hadapan Allah identitasmu hanyalah manusia, lantas hamba-Nya, lantas khalifah-Nya. Bahwa engkau kiai itu fungsi dari administrasi sosial.
Yang paling bodoh adalah seseorang bersedia “dipenjarakan” dan membanggakan diri di dalam kotak sebagai man makes news. Dia mantap dengan be-nya, kemudian tampil di mana-mana showing of being-nya dengan wajah penuh kebanggaan, ditambah embel-embel dan simbol, entah serban, entah dasi, atau apa pun. Bahkan seorang intel akan merasa cemas kalau orang di sekitarnya tidak tahu bahwa dia intel. Para pekerja seni juga sangat sibuk dengan be-nya dan mempertentangkannya sampai tingkat darah–tak sekadar pada level gosip dan kedengkian.
Emily Dickinson, penyair wanita Amerika Serikat, sampai akhir hayatnya adalah no one. Ia selalu melagukan kebahagiaan sunyinya, “I am nobody, who are you? Are you nobody too?” Tentu ia sangat geli menyaksikan kita semua.
Kebudayaan manusia modern terlalu banyak cing-cong dengan kerewelan administratif. Mereka dipenjara dan memenjarakan diri dalam identitas, identifikasi, kualifikasi, kartu-kartu, kubu, kelompok, serta aliran segala macam kegoblokan-kegoblokan yang lebih parah lagi.
Manusia modern omong sangat besar soal universalisme. Namun, mereka bikin negara, militer, kelompok-kelompok kekuasaan, model, dan identitas. Universalisme itu jadi tersembelih. Negara adalah laboratorium pembunuhan universalitas manusia. Negara memprimordialkan manusia sampai ke daun telinga dan ujung kuku. Manusia modern adalah manusia yang paling sedikit peluangnya menjadi manusia. Ia tak boleh cukup hanya sebagai manusia. Ia harus kiai, ulama, pengusaha, penjahat, seniman, intelektual, atau berbagai macam kategori-kategori tolol.
Kalau seseorang tidak sedia diikat oleh salah satu identitas, maka ketidakterikatannya itu diklaim sebagai suatu jenis identitas. Kalau ada dua kubu, A dan B, dan Anda menolak bergabung di salah satunya, Anda diancam oleh dua kemungkinan. Pertama, Anda akan dianggap kubu C atau kubu ketiga. Atau kalau kebetulan Anda makan siang dengan seseorang dari kubu A, maka kubu B akan mencari Anda.
Psikologi dan ketololan ideologis perkuburan ini terjadi tak hanya terjadi dalam pergaulan, peta ormas, orsospol, dunia kesenian, konstelasi militer, dan kekuasaan, melainkan bisa juga terjadi pada soal sembahyang Tarawih dan urusan nawaitu shalat.
Pada saat yang sama manusia modern mengaku dan menyembah independensi dan universalitas. Kalau seseorang memilih langkah-langkah lintas kubu, sebagai salah satu formula universalitas yang menekankan diri hanya pada kebenaran universal, ia dianggap tidak punya pendirian. Dan, ketika ia membantu salah satu kubu, kemudian ia menolong kubu lain–karena ia yakin bahwa ia perlu membantu kebaikan dan kebenaran kepada siapa pun–maka ia disebut tidak independen. Rupanya independen juga man makes news. Dan ketiga identitas itu tidak bersifat kata benda, melainkan kata kerja atau fungsi. Si yang dimaksudkan tetaplah kotak kategori dan identitas. Independen bagi manusia modern adalah sebuah kotak, sebuah aliran, dan sekte juga.
Kalau Anda sakit, jangan pergi ke rumah sakit dengan modal dari kubu lain. Dokter yang menangani Anda sebaiknya Anda selidiki apakah ia Golkar, PPP, PDI, pro Gus Dur, atau pro Abu Hasan, pro Pak Hartono, ataukah koleganya Pak Edi. Anda harus hati-hati terhadap structural recruitment dan kooptasi.
(Diambil dari buku Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara, Emha Ainun Nadjib, Zaituna, 1996)