CakNun.com

Eksplorasi Akal di Kenduri Cinta

Sulistya Pratiwi
Waktu baca ± 2 menit

Mbah Nun pernah berpesan kepada kita semua bahwa istrahat tidak harus dimaknai dengan tidur. Dan tidur tidak pula berarti istrahat. Istrahat adalah berpindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Yaitu menghadirkan ritme dalam setiap kegiatan yang kita lakukan. Maka Kenduri Cinta pun merupakan salah satu sarana “beristrahat” bagi Jamaah Maiyah. Karena tentu saja kulla yaumin huwa fii sya’nin. Maiyah selalu datang dengan suatu pembaruan dan inovasi-inovasi yang menarik.

Kenduri cinta pada akhir tahun 2019, lagi-lagi menyuguhkan tema yang sangat un-mainstream. Ada pula yang menganggap bahwa tema bulan ini merupakan kesimpulan dari tema-tema selama tahun 2019 ini. Tapi terlepas dari itu semua, tema ini adalah salah satu dari sekian banyak bentuk kesadaran Jamaah Maiyah tentang suatu keadaan yang masih perlu (untuk tidak mengatakan sangat perlu) kita kritisi, kita perbarui, kita seriusi, bahkan untuk sekadar kita tertawai.

Benarkah ada akal yang tidak sehat? Bagaimana cara mengukur ketidaksehatannya? Yang tidak kalah penting, bagaimana cara mengobati ketidaksehatan ini?

Akal merupakan software yang berkembang sedemikian rupa. Bahkan, akal disebut-sebut sebagai jalan menemukan isyarat-isyarat Tuhan. Namun kenyataan berkata lain ketika kita menyaksikan betapa akal telah mengalami degradasi dari segi konotasi maupun fungsi. “Mengakali” biasa kita pahami mengelabui/menipu dan lain makna yang sejenis. Sehingga indoktrinasi berkembang sangat pesat di Indonesia. Akal tidak henti-hentinya dilemahkan.

Mbah Nun mengatakan bahwa tidak ada akal yang tidak sehat. Karena akal adalah potensi. Namun tidak ada suatu hal pun yang Allah berikan tanpa disertai potensinya untuk mengalami kesalahan. Manusia bisa salah, demokrasi bisa salah, cendekiawan bisa salah, bahkan akal bisa salah. Kecuali Allah yang memberi tahu, maka manusia hanyalah buih yang mencari kebenaran tanpa tahu apa itu kebenaran.

Pada Kenduri Cinta edisi Desember 2019 ini, Jamaah Maiyah juga dilatih ketajaman berpikirnya dengan beberapa pertanyaan kelompok. Salah satu yang paling menarik adalah pertanyaan mengenai hubungan demokrasi dengan pancasila? Pendapat pun sangat beragam, dan disampaikan dengan cara yang sangat menarik dan khas dari masing-masing kelompok. Namun Mbah Nun memang ada-ada saja, kami selalu diberikan pertanyaan yang akan berakhir pada pertanyaan pula.

Beliau memang berpesan bahwa kekreatifan seseorang dapat dilihat dari kreativitasnya dalam bertanya alih-alih kepiawaian dalam menjawab. Pasalnya Mbah Nun menyampaikan bahwa bagaimana mungkin seseorang menyatakan dirinya demokratis sekaligus pancasilais? Sedangkan orang berdemokrasi seringkali tidak mempertimbangkan kemanusiaan bahkan ketuhanan. Demokrasi sekadar produk bisnis pemerintah kepada rakyatnya.

Maka Maiyah menampilkan sesuatu yang sangat demokratis. Kita semua diajak berdaulat atas pendapat dan keyakinan kita untuk dikawinkan dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Maka apa alat yang paling perlu kita persiapkan untuk menyambut peradaban baru ini? Tidak lain adalah akal yang compatible. Meski jamaah Maiyah seringkali mengalami kegalauan semantik, namun Mas Sabrang berkata bahwa kita memiliki ruang ‘tidak tahu’ di dalam otak kita. Jadi, kita bisa menerima segala informasi tanpa langsung menuju wilayah penyetujuan ataupun penolakan. Ruang “tidak tahu” bisa kita jadikan lahan riset untuk membuktikan atau mengakali informasi yang kita terima.

Lainnya

Exit mobile version