Dukohkidul Sinau Sedekah Agungnya Allah
Hajat dan tema Sinau Bareng tadi malam di desa Dukohkidul Ngasem Bojonegoro adalah Sedekah Bumi, dan dari sedekah bumi ini Mbah Nun sampai pada ungkapan ‘sedekah agungnya Allah’. Ada banyak masalah yang kita hadapi dan sebagian dari masalah itu ada yang tak bisa kita atasi, kecuali Allah yang dapat mengatasinya. Juga jika kita melihat perilaku kita sendiri, baldatun thayyibatun wa robbun ghafur yang kita cita-citakan rasanya tidak mungkin terjadi, dan apabila terwujud itu pasti karena kemurahan Allah kepada kita semua. Tidak karena yang lain. “Itu sedekah agung Allah”.
Maka rasa yang muncul sebagai ajakan oleh Mbah Nun adalah “ayo berpikirlah dalam cara yang demikian itu”. Kalau disadari bahwa semua yang kita terima adalah berkat kemurahan hati, rahmat, dan sedekah agung dari Allah, maka mestinya kita selalu meletakkan kebaikan sebagai motivasi utama. Seperti halnya Mbah Nun sendiri tegaskan bahwa beliau datang desa ini, juga tempat-tempat lain, adalah untuk ngajak apik. Mengajak semua yang hadir untuk sungguh-sungguh cekelan terus kepada Allah, supaya kita masuk dalam daftar alasan Allah menyelamatkan bangsa kita.
Dengan cara ini, Mbah Nun terus menitikan jalan untuk memahami dan memastikan bahwa anak-cucunya telah menetapkan, misalnya, mereka berkumpul di sini hanya disertai satu pamrih yaitu mendapatkan berkah dari Allah. Anak-cucu juga diingatkan untuk selalu menapak di jalan ‘saling menggembirakan, saling ngentengno, saling tidak mempersulit satu sama lain’. Mbah Nun juga mengatakan, kita akan sampai kepada masa-masa peralihan, dan jika masa itu berlangsung, hendaknya anak-cucu tidak menuruti hawa nafsu untuk bermusuhan.
Kita berupaya selalu mengaruskan diri kepada cekelan kepada Allah. Di titik inilah, sedekah bumi dilihat oleh Mbah Nun sebagai upaya meneguhkan kembali hubungan baik dan kesetiaan kepada Allah Sang Pemilik Hidup. Karena itulah, acara sedekah bumi dapat dirasakan sebagai acara yang mulia. Jika dorongan kebaikan telah maujud di dalam diri, maka kita berupaya untuk misalnya mencari alat atau cara untuk bergembira. Sebagai contoh, apa saja yang kita alami dapat kita rasakan sebagai sesuatu yang nyenengke asalkan kita punya ilmu syukur.
Di dalam cara memahami yang sama, menjalankan agama pun prinsip-prinsipnya sederhana. Mbah Nun memberikan contoh. Misalnya dal akidah. Kita sudah memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah, maka tinggal tarik satu keyakinan bahwa ‘jangan sampai tuhannya adalah yang bukan Allah.’ Itu sudah cukup untuk dikomitmeni dan dijalankan di dalam kehidupan sehari-hari menurut Mbah Nun.
***
Itulah beberapa gugusan ta’aqqud yang dihadirkan Mbah Nun dalam Sinau Bareng tadi malam di lapangan Dukohkidul. Namun sebagaimana biasa, muatan-muatan ta’aqqud itu disampaikan tidak dalam pola formulasi teologis yang kering dan berat, melainkan dipantulkan sebagai respons atas apa yang berlangsung dalam Sinau Bareng, baik tema, interaksi yang terbangun, maupun ekspresi dan pengungkapan dalam obrolan, penghadiran lagu, workshop, dan tanya jawab. Berbarengan dengan aura cinta dan kedekatan Mbah Nun kepada anak-cucu, seakan Mbah Nun sedang melingkarkan hatinya untuk mereka.
Sebagaimana biasanya, dalam Sinau Bareng edisi ke-4123 tadi malam Mbah Nun membersamakan Pak Camat, Pak Kapolsek, Pak Danramil, Pak Sekcam, Para Kyai dan Ustadz dari Pondok Pesantren Wasilatul Huda dengan seluruh hadirin untuk merasakan kebersamaan yang diupayakan diikat oleh kebaikan dan kebijaksanaan sebagai cara pandang.
Beliau-beliau diajak bergembira dan mensyukuri kegembiraan bersama jamaah misalnya melalui workshop ta’aqqud (rububiyah, mulukiyah, dan uluhiyah) dan workshop shalawatan shalatun wa taslimun wa azka tahiyyati ‘alal mustofal mukhtari khoiril baroyyati. Workshop dan interaksi seperti telah sama-sama ketahui adalah salah satu cara riyadhoh kaaffah (hati, pikiran, dan badan), cara menyatukan hati, dan cara belajar berkomposisi.
Spektrum dan Dinamisnya Keikhlasan
Dari segmen tanya jawab dengan kurang lebih enam pertanyaan, salah satu poin dapat kita catat di sini. Ada yang menanyakan bagaimana cara supaya punya ikhlas dalam shalat. Mbah Nun mengatakan, “Tidak ada metodenya. Diasah terus. Kamu kan pinginnya cepat. Nggak ada yang seratus persen. Dan nggak ada resep. Ini bukan soal resep. Ini soal perjuangan tanpa henti, sama seperti perjuangan orang atau suami-istri menuju sakinah.”
Mbah Nun juga menengara mungkin penanya berpikir bahwa ikhlas adalah tidak meminta atau berpamrih kepada Allah. Untuk ini, Mbah Nun ingatkan semuanya pada ayat ud’uni astajib lakum (mintalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan), namun juga diingatkan bahwa ada konteks kemungkinan yang dinamis dalam soal meminta atau tidak meminta kepada Allah. Kalau kita minta terus, bisa saja membentak, “Kok minta terus sih, kan sudah Aku berikan sangat banyak.” Sementara kalau tidak meminta, Allah juga mungkin akan mengatakan, “Sombong sekali kalian, tidak pernah meminta.”
Mbah Nun mengundang pikiran kita dengan menanyakan manakah yang benar di antara keduanya, sembari Mbah Nun membuka satu lagi kemungkinan bahwa tidak meminta itu juga sebuah bentuk permintaan (yaitu proses pada akhirnya meminta) seumpama seorang anak tak suka meminta tapi sesungguhnya dia sedang menabung kepantasan untuk mendapatkan yang lebih bernilai atau lebih penting buat dia dari orangtuanya. Juga, dan ini saangat penting, menurut Mbah Nun, keikhlasan dapat pula berarti tidak meminta kepada selain Allah.
***
Demikianlah serba sedikit petikan dari Sinau Bareng tadi malam di lapangan Dukohkidul Ngasem Bojonegoro. Sehimpunan pohon jati muda yang masih berusia sepuluhan tahun yang tegak berdiri di belakang panggung menjadi saksi malam itu orang-orang, tua dan muda, juga anak-anak yang diajak serta, terutama mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh dengan melewati hutan-hutan jati untuk sampai di sini, telah belajar menjadi manusia yang baik dan belajar untuk tak pernah lepas dari cekelan kepada Allah. Untuk mereka, Mbah Nun tak pernah berhenti mendoakan, mencintai, dan mengharapkan berkah datang dari Allah kepada mereka.