Di Mana Pusat Bumi? Di Yogya, Eh Jombang
Larut malam, di warung tepi jalan sebelah timur gedung PP Muhammadiyah Yogya, terdengar perdebatan seru dari sekelompok anak-anak muda. Tampaknya kesibukan mempersiapkan Muktamar Muhammadiyah membuat gedung kuno itu memancarkan vibrasi tertentu yang mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.
“Kebangkitan Islam harus di mulai dari Indonesia,” berkata salah seorang. “Di Indonesia itu pun harus di Jawa, dan di pulau jawa itu harus di Yogya…”
“Di Yogya itu pun harus di Jalan K.H.A. Dahlan!” sambung seseorang yang lain yang rupanya fanatik memeluk “agama” Muhammadiyah.
“Jalan K.H.A. Ahmad Dahlan yang mana dulu!” suara lainnya lagi, “belum tentu bagian PP Muhammadiyah. Bisa kantor PWI, bisa di Toko Roma, atau jangan-jangan malah di warung kita ini!”
“Jangan GR,” sahut orang terakhir, “Yogya boleh menjadi wadah utama yang paling strategis dari embrio hari depan keindonesiaan atau Islam—dan karena itulah Yogya paling diserbu oleh pasukan-pasukan non-Islam—tapi ada satu syarat mutlak.”
“Apa itu?” tanya lainnya bersama-sama.
“Segala aktivitas di Yogya itu isen-nya harus dari Jombang.”
“Lhadalah…”
“Terserah Jombang bagian mana. Boleh Diwek, boleh Tebuireng, boleh Mojowarno, boleh Menturo.”
Mereka kemudian mempertarungkan argumentasi. Si Jawa Yogya mengungkap ilmu kosmogeografi, orkestrasi harmonis air samudra yang melimpah, mutiara kepulauan, atmosfer tropis khas Nusantara, menciptakan langgam musik sejarah di mana Islam menemukan bentuk budayanya sebagai gerak mamayu hayuning bawana. “Khomeini diperlukan sebagai pasukan garis depan penyapu ranjau, tapi Yogyalah yang membangun pilar-pilar kebangkitan di atas lahan baru itu sesudahnya,” katanya.
“Lho! NU sengaja bermuktamar di Yogya untuk menyindir betapa Muhammadiyah adalah organisasi reformer yang kini justru sangat membutuhkan reformasi,” bantah si Jawa Jombang. Ia menguraikan soal kepahlawanan 10 November serta berbagai rahasia sejarah yang sesungguhnya berpangkal di Jombang.
Debat terus berkepanjangan, dan lama-lama menjadi jelas bahwa soal utamanya bukanlah kebangkitan Islam melainkan sentrisisme khas manusia Jawa. Di mana pusar dunia? Orang Yogya menjawab: di bilik Hamengkubuwono. Kalau tidak bagaimana jagat raya mampu dipangku beliau. Orang Solo bilang di Pakubuwanan: jelas bahwa paku harus ditancapkan di pusat keseimbangan. Orang Gunung Kawi bilang di Gunung Kawi, orang Tengger bilang di Tengger, orang Samin bilang di Samin, dan orang Jombang bilang di atom Jombang yang dikelilingi oleh cairan Mojowarno, Tebuireng, Diwek, Denayar, Ploso, Menturo yaitu tempat lahirnya Gajah Mada.
Padahal pusat kebulatan dunia adalah di segala titik atau tak sebuah titik pun.
Orang Eropa sebaliknya; mempelajari dan meniru GR alias sentrisisme semacam itu untuk menambah kemantapan hati dan memacu kreativitas. Bilanglah kebangkitan Islam harus dirintis dari Eropa.
Pertama karena cahaya Islam akan mengetuk manusia sejarah modern melalui invensi iptek, dan orang Eropalah ahli qira’ah para pembaca ayat Allah di alam yang utama, meskipun belum mengaplikasikan teknologinya bismi rabbi, belum mendayagunakan teknologinya sungguh-sungguh untuk kerangka peradaban yang menyembah Allah. Tapi para pakar ilmu alam di negeri-negeri itu yang akan datang dengan lentera Islam yang wajilat qulubuhum, yang jiwa mereka tergetar tanpa bisa terus-menerus menipu diri lagi.
Kedua, kasus Salman Rushdie menggeser perpolitikan Inggris ke peta perimbangan baru di mana kekuatan Muslimin harus dirayu untuk berkoalisi dengan oposan tertentu. Guncangan rontoknya komunisme yang menggegapgempitakan bulan-bulan terakhir ini terutama di Jerman membuar pergerakan Islam-Eropa di Koln dan tempat-tempat laun menjadi semakin relevan dan semakin dibutuhkan.
Untuk menjadi kebangkitan, Islam memang sebaiknya diterangkan rahmah lil ‘alamin–nya oleh pakar-pakar ilmu dari Eropa, supaya bergengsi dan dianggap kredibel. Kalau orang Jombang dan Yogya, entah diketawain, seperti orang miskin memenangkan kemiskinan; yang sah menerangkan kemiskinan adalah sarjana kemiskinan. []
(Diambil dari buku Surat Kepada Kanjeng Nabi, Emha Ainun Nadjib, Mizan, 1996)