Desa Mangunjaya Sinau Bareng
Setidaknya terdapat satu hal lagi yang diingatkan Mbah Nun, selain bahwa desa adalah pusat, menyangkut tradisi desa seperti di Mangujaya ini. Yaitu level semua hal yang dilakukan teman-teman di desa ini adalah peradaban, bukan kesenian atau tatakrama saja. Di sini, Mbah Nun mengingatkan bahwa kebudayaan Barat itu banyak yang memecah-mecah, sedangkan agama dan kebudayaan itu Timur itu bervisi menyatukan yang terpecah-pecah tadi. “Hasil pengajian kita ini, adalah menyatunya hati,” tegas Mbah Nun. Pengajian Sinau Bareng ini bukan hanya berisi menu yang diambil dari banyak sumber yaitu tradisi, agama, budaya modern, dan lain-lain semuanya disatukan dalam diri melalui pendekatan kegembiraan.
Semua itu dapat terjadi di desa manapun. Seperti desa Mangunjaya ini. Untuk mencapai lokasi berupa lapangan desa yang dikelilingi persawahan, bis KiaiKanjeng harus berhenti di tempat yang masih butuh dua kiloan meter lagi menuju lokasi. Para personel KiaiKanjeng dibawa menggunakan dua buah mobil dan satu mobil terbuka. Ini karena ada satu tikungan yang berada tepat di depan jembatan kecil, sehingga tak menyisakan ruang yang cukup untuk haluan belok bis besar. Selama perjalanan naik mobil ini, personel KiaiKanjeng menyaksikan suasana tanah-tanah desa, dan menghidup udaranya. Tepat menjelang masuk masuk dusun di mana lapangan desa ini berada, jalan yang sebelumnya tanah saja, dan sebagian bergelombang, sudah beralih menjadi jalan yang dicor meskipun ukuran bahunya lumayan sempit. Kata Mbah Nun, jalan yang sempit itu bagus, supaya desa bisa menyeleksi apa-apa yang datang dari kota.
***
Selain bermuatan support Mbah Nun atas pilihan “pembangunan” desa ini yang meng-uri-uri tradisi, mengharmoniskan antara kebudayaan dan nilai-nilai agama, Sinau Bareng di Desa Mangunjaya ini juga berlangsung dalam suasana kebersamaan yang kental. Nomor-nomor yang dihadirkan KiaiKanjeng hampir semuanya menjelma menjadi sarana kebersamaan itu. Sejak nomor Pambuko, Shalawat Nariyah, semua jamaah ikut serta dan terasa sekali ketika musik KiaiKanjeng dipelankan; kemudian nomor Maron Five yang dinyanyikan Doni sembari memperkenalkan para personel KiaiKanjeng; lalu Lir-Ilir dan Tombo Ati, hingga di bagian akhir adalah Medlei Era. Selama permainan yang dalam permainan jawa disebut Cublak-Cublak Suweng itu, Pak Danramil sebagai perwakilan unsur TNI dan Kapolsek sebagai perwakilan dari Kepolisian juga dilibatkan dalam permainan ini.
Masih banyak pesan-pesan Mbah Nun yang disampaikan di sela-sela praktik permainan, musik, atau segmen lain. Di antaranya Mbah Nun berpesan adalah pertanian di desa ini dipertahankan terus serta tentang pentingnya menciptakan pengajian yang bersifat mempersatukan. Sesi tanya-jawab juga menjadi sesi di mana pesan-pesan disampaikan. Ada kurang lebih tujuh penanya, mulai dari soal bagaimana memutuskan memilih di antara dua hal baik semua, tentang memahami takdir Allah, tentang menikmati asal-usul diri yang berasal dari tiga kebudayaan yang berbeda, tentang mengelola produk-produk Allah, hingga bagaimana memahami tradisi.
Seluruh yang berlangsung dalam Sinau Bareng ini, juga apa-apa yang telah dijalankan warga desa ini, Mbah Nun menyebutnya sebagai thariqun nubuwwah, jalan kenabian.