Desa Condongcatur Peringati Hari Jadi Ke-73 Dengan Sinau Bareng
Desa Condongcatur sedang berulang tahun ke-73, dan untuk memeringati hari jadi tersebut pemerintah desa menyelenggarakan serangkaian kegiatan untuk warga masyarakat, dan tadi malam digelar Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng bertempat di halaman Balai Desa Condongcatur.
Kesempatan Sinau Bareng ini dimanfaatkan Mbah Nun untuk mengajak masyarakat dan jamaah belajar banyak hal tentang Condongcatur dengan jalan banyak bertanya. Misalnya, Mbah Nun bertanya kepada salah satu kelompok diskusi (kelompok perangkat desa), Condongcatur itu desa ataukah kota?
Siapapun yang tinggal di Yogyakarta atau familiar dengan kota ini, pasti akan berpikir bahwa wilayah seperti Condongcatur ini sudah bukan desa lagi sebagaimana pemahaman umum mengenai desa. Di wilayah Condongcatur, ada tujuh kampus, ada hotel, dan ada mall, dan karena ada tujuh kampus, maka juga sangat banyak kos-kosan untuk para mahasiswa yang datang dari pelbagai daerah.
Namun, jawaban Bu Ratna, juru bicara kelompok diskusi perangkat desa, sangat bagus. Menurut Bu Ratna, secara administratif, Condongcatur adalah desa, dan memang secara budaya nilai-nilai sosial seperti gotong-royong masih berjalan dengan baik, demikian pula dengan nilai-nilai sosial lainnya. Mbah Nun mengapresiasi jawaban Bu Ratna ini karena biarpun Condongcatur berkembang menjadi kota, toh prinsip yang diutamakan tetaplah bahwa Condongcatur adalah desa. Kesadaran sebagai orang desa tidak hilang.
Hal yang senada juga terlihat dalam pandangan Pak Lurah Reno Sangaji saat mengatakan bahwa meskipun ada mall dan hotel, tatkala ditanya apakah keberadaan dua sarana tersebut merupakan kemajuan, Pak Lurah menegaskan bahwa mall dan hotel bukanlah ukuran kemajuan. Menurut Pak Lurah, harus dibedakan antara pembangunan fisik dan mental/budaya.
Itulah sebabnya, Pak Lurah bercerita bahwa beliau tidak mengizinkan berdirinya diskotek, meskipun beberapa kali ada yang coba meminta izin kepadanya. Terlihat secara tegas dari paparan Pak Lurah bahwa pembangunan fasilitas dan sarana kehidupan tidak boleh mengorbankan nilai-nilai sosial, budaya, dan moral.
Bagi Pak Lurah masuknya investasi ke Condongcatur harus tunduk kepada prinsip saling memberikan keuntungan atau manfaat alias mutualisme simbiosis. Jika masyarakat tidak menerima manfaat, maka investasi yang bermaksud masuk ke Condongcatur tersebut layak ditolak.
Menarik dicatat bahwa menurut Pak Lurah, kemajuan itu sederhana: warga miskin semakin sedikit, dan kemudian di dalam perubahan-perubahan yang berlangsung warga masyarakat tidak hanya menjadi penonton, melainkan ikut mensubjekti secara aktif dengan memberikan respons kreatif dengan prinsip mempertahankan nilai-nilai desa yang baik namun juga memanfaatkan peluang yang ada untuk kemanfaatan bersama seluruh warga.