Daulat Diri
Kanjeng Nabi pernah bersabda, “kullukum ra’in wa kullukum mas`ulun ‘an ra’iyyatihi”, yang artinya adalah “setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu”. Hadits ini mengandung pesan bahwa gelar pemimpin tidaklah terbatas pada orang-orang tertentu, semisal kepala desa, pimpinan ormas, hingga kepala negara. Sejatinya, semua orang, setiap orang, adalah pemimpin. Tinggal skala yang dipimpinlah yang menjadi faktor pembeda.
Seorang penggembala, bertanggung jawab penuh atas kambing yang di-ngon-nya. Di pundak seorang kepala negara, terpanggul amanah untuk memimpin segenap rakyat yang dipimpinnya. Dalam skala individual, tiap orang bertanggungjawab menggembalakan seperangkat jiwa dan raganya sendiri.
Demi menjalankan mandat kepemimpinannya, seorang pemimpin haruslah dibekali kekuasaan. Bagaimana mungkin fungsi kepemimpinan bisa dijalankan, jika di tangannya tak ada kedaulatan?
Idiom “Daulat Diri” disuguhkan, menjadi pintu untuk memperluas cakrawala kesadaran. Kerap kita dapati pesan mulia, “berdaulatlah pada dirimu sendiri”. Dan sungguh tak enak dirasa, ketika diri kita menerima tudingan, “dasar gak berdaulat!”, misalnya.
Sialnya, kita hidup tidaklah sendiri. Inginnya berdaulat diri, semburan informasi-pengaruh-agitasi liyan sering berhasil mengemudikan hati. Niatnya menegakkan daulat diri, namun sepaket pranata interaksi sosial terasa membatasi. Di satu sisi pendulum, kesan arogan mudah saja terlekatkan. Di pendulum satunya, kehendak berdaulat diri menuntut kita untuk sekaligus toleran. Di manakah titik koordinat idealnya? Ataukah bukan titik, tapi justru merentang, membidang, meruang?
Bagaimana pula jadinya jika dibidik sisi yang agak transendental? Di manakah posisi dan seberapakah porsi Daulat Diri ketika diletakkan pada konteks relasi hamba-Tuhan?
Jika untuk berdiri tegak setiap rumah dipersyarati adanya pilar yang kokoh, sebagaimana sholat adalah pilarnya agama, maka pilar-pilar apakah yang harus kita tegakkan demi idealitas berdirinya Daulat Diri? Tegakkah pilar kita itu? Atau doyong?
Sederet pertanyaan di atas sekadar pemantik lahirnya runtutan pertanyaan berikutnya. Jawaban atasnya, mari kita cari bersama. Silaturahim pemikiran layak digelar kembali, seraya menebus kangen setelah sebulan kita tak bersua.
Dulur, dengan tetap berpayung semangat istiqomah dan spirit “wa laa tansa nashiibaka minad dunya”, Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton menantimu pada:
Rabu, 27 Februari 2019
Pukul 19:23 WIB
Halaman Masjid Jami’ Nurul Jannah Ds. Slempit, Kec. Kedamean, Gresik