Cukang Lantaran
Serpihan 1
“Katakanlah, Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Kewajiban rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.” (An-Nur: 54)
Serpihan 2
Naskah Amanat Galunggung
Rakeyan Darmasiksa, Raja Sunda
(1175-1297)
“Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna. Hana guna hana ring demakan”.
Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya. Ada jasa ada anugerah, tak ada jasa tidak akan ada anugerah.
Serpihan 3
Allah menyindir manusia, dan sampai hari ini tidak ada tanda-tanda pemahaman atau perilaku yang mencerminkan kesadaran bahwa mereka merasa tersindir:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh”. (Al-Ahzab: 72).
Di dalam praktik kebudayaan dan sejarah di muka bumi, manusia melakukan kebodohan dan ketidakpekaan atas sindiran itu. Tak ada yang menawari mereka untuk memanggul amanat pun mereka malah mencalon-calonkan diri agar disuruh memanggul amanat. Mengajukan dirinya kepada masyarakatnya, menyodor-nyodorkan wajahnya, dengan terlebih dulu dihiasi, ditopengi, dibagus-baguskan, diwangi-wangikan, agar masyarakat mempercayainya dan memilihnya untuk dilantik menjadi pemanggul amanat.
“Sementara manusia terperangkap oleh batas kesempitan pengetahuannya sendiri tentang dirinya maupun tentang alam semesta dan kehidupan. Manusia mengira bahwa hanya ia yang bisa berkomunikasi, berdialog, dan memadamkan api”. (Emha Ainun Nadjib, Daur I-230, caknun.com)
Direndahkannya dongeng merupakan salah satu cara untuk memisahkan bangsa kita dari sejarahnya. Menghapus masa silamnya. Mengubur peradaban yang pernah dicapai oleh para leluhur. Sehingga bangsa kita menjadi kosong pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Berikutnya bangsa kita menjadi tidak percaya diri. Dengan kata lain, bangsa kita menjadi tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bisa dibanggakan di dalam sejarah nenek-moyangnya. (Emha Ainun Nadjib, Tetes-Akibat Merendahkan Dongeng, Caknun.com 3 Des 2017)
Terjadinya beragam peristiwa dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya rangkaian sebab akibat serta penyebab didalamnya. Penyebab dari adanya peristiwa itu, ada yang berasal dari prilaku manusia itu sendiri, sehingga mampu kita pelajari dan pahami, ada juga yang dirahasiakan Tuhan, sehingga kita hanya bisa total berserah diri. Keduanya hadir berdampingan dalam kehidupan.
Rangkaian sebab akibat tersebut, di tatar sunda biasa disebut dengan istilah ‘cukang lantaran’. Serpihan serpihan makna hidup dari berbagai pengalaman masing masing, mari kita persambungkan nilainya.[]