Cak Nun, Wirid Penampungan, dan Novel Baswedan
Ketika malam ini Cak Nun hadir memberikan orasi dan catatan dalam acara yang digelar KPK untuk memeringati dua tahun kasus penganiayaan kepada penyidik KPK Novel Baswedan, saya teringat salah satu wirid yang dulu kali pertama saya mendengarnya di Padhangmbulan akhir tahun 1990-an yang dilantunkan oleh Cak Nun bersama KiaiKanjeng. Wirid itu berjudul: Wirid Penampungan.
Wirid Penampungan ini merupakan satu di antara sekian wirid yang ada di dalam kaset album bertajuk Wirid Padhangmbulan. Walaupun masuk ke dalam kaset, media produk modern, wirid ini jauh dari suasana umumnya album-album shalawatan yang ada di kaset-kaset lain. Tidak sedikit pun ada suasana pop. Sebaliknya, wirid ini sangat masuk ke dalam ruang pengungkapan rasa tertimpa derita dan penganiayaan dalam hati siapa pun saja yang mendengarkan atau turut melantunkan wirid ini.
Ketika pernah saya coba secara amatir dan sekilas-lalu memetakan jenis dan konteks shalawatan atau senandung qasidah yang ada di Indonesia, baik yang muncul di media maupun dapat kita lihat langsung di masyarakat, dari wirid Penampungan ini saya menempatkan wirid dan shalawatan Cak Nun dan KiaiKanjeng ke dalam jenis shalawatan yang dilantunkan untuk tujuan bukan sekadar mendekatkan diri kepada Allah dan Rasulullah, melainkan juga terdapat aksentuasi dan semangat sungguh-sungguh di dalamnya untuk mengadukan derita hidup dan perlakuan tak adil yang menimpa diri kita dan masyarakat kita kepada Allah dan Kanjeng Nabi. Memohon agar Allah berkenan menampung kesunyian hati hamba-hamba-Nya yang teraniaya, disasar oleh kejahatan, dan ditimpa ketidakadilan, untuk kemudian menolongnya.
Inilah lafadh Wirid Penampungan itu:
Liannahum khodzaluunii, fakun yaa ‘aziizu naashirii
Liannahum abghodhuunii, fakun yaa waduudu habiibii
Liannahum khoda’uunii, fakun yaa ‘aadlu hakamii
Liannahum haromuunii, fakun yaa basithu rooziqii
Liannahum amrodhuunii, fakun yaa syaafii mulathifii
Liannahum thoroduuni, fa aminii ya Mannaanu aamiinii
Liannahum fatanuunii, fakun yaa ro’uuf maasih dumu’ii
Auqo’unii fii dhulumaatin, fa minka yaa nuur altamisu nuuri
Liannahum jaahiluu wa jahhaluu fakun yaa ‘Aliimu Mu’allimii
(Karena mereka mencelakakanku, maka wahai Maha Perkasa Engkaulah Penolongku,
Karena mereka membenciku, maka wahai Maha Pembela Engkaulah Kekasihku,
Karena mereka mencurangiku, maka wahai Maha Pengadil Engkaulah Hakimku,
Karena mereka memiskinkanku, maka wahai Maha Penghampar keluasan Engkaulah Pemberi Rizqiku,
Karena mereka menyakitiku, maka wahai Maha Penawar Engkaulah Penyembuhku,
Karena mereka menyingkirkanku, maka wahai Maha Penabur Nikmat Engkaulah Pengamanku,
Karena mereka memfitnahku, maka wahai Pencipta keindahan Engkaulah Penghiburku,
Mereka menyeretku dalam kegelapan, maka dari-Mulah wahai Cahaya hidupku aku genggam
Cahaya-Mu,
Karena mereka itu adalah kebodohan dan membodohkan, maka wahai Yang Maha Mengetahui Engkaulah Maha Guruku)
Jika kita rasakan secara mendalam, atmosfer spiritual dan rohaniah yang seperti itu, hampir selalu melekat dalam pertemuan atau acara-acara Cak Nun yang berkaitan dengan ihwal keluh-kesah akan ketidakadilan yang menimpa seseorang, kelompok, atau siapa pun yang Cak Nun disambati untuk membantu. Sebenarnya itu juga bukan hal yang gimana-gimana, karena semestinya siapapun kita sepanjang masih memiliki kemanusiaan, ya akan secara naluriah masuk ke dalam atmosfer demikian itu. Masalahnya, kerap kemanusiaan kita tertinggal entah di mana. Dan Cak Nun, salah satunya lewat wirid ini, mengingatkan kita.
Ketika hadir di gedung KPK malam ini, di antara berjubel orang yang turut hadir dan menyuarakan tuntutan akan keadilan, saya membayangkan kehadiran Cak Nun adalah wujud lain dari terlantunnya Wirid Penampungan itu sendiri di situ, semagis yang pernah saya dengar di Padhangmbulan, untuk Novel Baswedan.