Cak Nun, Cendekiawan Lintas Disiplin
Kerja intelektual acap disematkan pada individu yang telah mengalami proses pendidikan formal. Intelektualitas memberi ruang predikat inheren bagi ‘kaum terdidik’ lebih leluasa karena modal gelar disabet. Gelar ini datang secara derivatif dari institusi pendidikan usai mengalami proses keterdidikan formal dan ditandai setelah menyelesaikan sejumlah paket satuan kredit. Posisi demikian melahirkan makna baru seperti kaum intelektual, cendekiawan, orang sekolahan, maupun predikat-predikat baku yang merujuk kecakapan par excellence.
Lantas, bagaimana dengan individu tanpa menyelesaikan pendidikan formal — setidaknya sampai jenjang strata satu — tapi memiliki kelengkapan intelektual yang setara dengan cendekiawan jebolan sekolah formal? Apakah orang semacam ini masih diakui sebagai kaum cendekia, sebagaimana predikat kelompok sekolahan menyematkannya? Menjawab pertanyaan ini sedemikian ambivalen sebab kecendekiaan seseorang kerap diasosiasikan cenderung politis-hegemonik ketimbang personal-kompeten.
Setidaknya terdapat dua perspektif berkaitan dengan konstruksi kecendekiaan seseorang. Pertama, cendekiawan atas hasil besutan pendidikan formal yang proses kontinuasi didaktiknya dialami secara sistematis. Orang seperti ini baru dapat mendapatkan predikat intelektual usai menyisakan tenaga, waktu, dan modal finansialnya untuk keperluan pendidikan. Alat ukur ketercapaian intelektualitas seseorang, dengan kata lain, ditentukan oleh institusi pendidikan formal. Di sana tercitra jelas bagaimana kecendekiaan seseorang dilegitimasi melalui mekanisme institusional.
Kedua, kecendekiaan atas proses akumulasi rekam jejak seseorang yang sudah ditentukan oleh jam kerja di lapangan. Pada aras demikian ia dikatakan memiliki kompetensi intelektual lewat persinggungannya dengan masyarakat luas. Terlepas dirinya tak menuntaskan pendidikan formal sehingga nirgelar (akademik), ia niscaya sudah mendapatkan modal sosio-kultural dari arus bawah. Orang semacam inilah yang terkadang luput diakui kelompok intelektual besutan sekolah formal karena kredibilitasnya dipertanyakan. Tentu derajat kredibel atau tidaknya selalu menginduk pada lembaga apa yang melegitimasi posisinya.
Orang lebih gampang mencari posisi intelektual di dalam arena akademik ketimbang banting setir di ranah nonformal. Posisi pertama membutuhkan kerja keras dan kepatuhan struktural untuk menyelesaikan paket-paket sistem kredit secara berjenjang. Sedangkan bagi kaum kedua, posisi demikian relatif sukar, sebab ia seperti melakukan aktivitas intelektual tanpa dinding yang jelas. Yang terakhir ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memang tulus melakukan kerja intelektual tanpa mengais predikat cendekiawan.
Sematan gelar hanya bertahan pada level sanjungan. Sementara kerja cendekiawan justru melampaui sekat-sekat prestisius karena lebih penting menuntaskan problem masyarakat ketimbang menikmati tepuk tangan. Tentu tipe orang seperti ini sedemikian langka bila meniliki trajektor kaum cendekiawan di Indonesia. Sekalipun langka, bukan berarti tak ada sama sekali. Salah satu sosok yang relevan dibentangkan di sini adalah peran Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun).