Bertahalli dalam Mulat Saliro


Sepenggal Kisah Hijrah
Waktu liburan wajarnya mungkin adalah dengan dihabiskan untuk menikmati wisata berkumpul bersama keluarga. Bertepatan dengan perayaan Imlek, malam hari ini 5 Februari 2019 kami mengundang sedulur-sedulur semua untuk berbagi kebahagiaan di acara Milad ke-8 Maneges Qudroh. Suasana di Omah Maneges nampak tidak seperti acara rutinan biasa, kali ini edisi istimewa.
Hujan rintik sempat memberikan belaiannya, walau hanya sebentar. Terdapat juga di sudut luar ada stand ‘Sekolah Warga’ dari Gerbang untuk lebih memperkenalkan kegiatannya beserta beberapa produk yang dihasilkan, seperti pupuk organik, batako dan lainnya.
Para tamu undangan mulai berdatangan ba’da maghrib, mulai dari Wakijo dan sedulur, Simpul Maiyah dari Gambang Syafaat, SabaMaiya Wonosobo dan Jabalakat Klaten. Hadir pula sedulur dari Mocopat Syafaat dan Nahdlatul Muhammadiyyin. Serta masih terdapat beberapa lagi perwakilan simpul yang lain. Mereka berkenan menempuh mungkin hingga puluhan kilometer untuk bersilaturrahmi dan memeriahkan acara milad ini.
Pembacaan tadarus menjadi awal pertanda acara sudah dimulai. Memang hal ini sering diabaikan. Namun bagi kami saat tadarus adalah saat di mana kami memulai untuk mengetuk pintu langit agar bersedia mengucurkan ilmunya. Tak lupa munajat Maiyah juga dilantunkan bersama-sama dengan khusyuk. Yang selalu menjadi wajah syukur kami telah diperkenalkan kepada cinta yang welas asih ini.
Sebelum Mas Doni KiaiKanjeng menaiki panggung, Wakijo lan Sedulur (WLS) menghibur jamaah yang datang dengan beberapa lagunya. Meski dengan panggung yang terbatas, namun hal tersebut tak lantas membuat perform WLS menjadi menurun. Justru yang terlihat adalah suasana menjadi sedikit berwarna dengan alunan musik pembuka tersebut dengan terus disambung oleh beberapa perwakilan Simpul Maiyah yang hadir untuk dipersilahkan naik ke panggung. Masing-masing berbagi sedikit pesan dan kesannya dalam proses ber-Maiyah.
Sekitar pukul 21.30 Mas Doni mulai menaiki panggung. Sang moderator tak menyia-nyiakan waktu untuk langsung naggap ex-vokalis Seventeen itu. Dengan menanyakan pengalaman apa saja yang sudah dialami Mas Doni dari awal mulanya masuk ke KiaiKanjeng. Sebagai seorang vokalis Band ternama kenapa bisa ‘hijrah’ ke suatu jalan yang mungkin sangat baru bagi Mas Doni pada saat itu.
Dengan tato yang melekat di tangannya, kelihatan sangat tidak mungkin bagi orang awam memiliki persepsi jika seorang Mas Doni ternyata adalah salah satu vokalis Gamelan KiaiKanjeng yang sangat identik dengan musik sholawatnya. Mas Doni pun menegaskan jika menurut beberapa pengalamannya, banyak orang menganggap jika orang bertato bakal tidak diterima di sebuah pengajian. Seperti sebuah pengalamannya ketika ikut shalat Jum’at berjamaah. Ada seseorang yang ngudar sabdo jika coretan yang melekat pada tubuh Mas Doni akan menjadi sebuah penghalang. Tapi, Mas Doni hanya berkata dalam hati dengan jiwa mudanya yang merdeka,”Ya Saya prek luweh! Ini urusan saya sama Gusti Allah,” terang Mas Doni sambil bercanda kepada jamaah.
Awal cerita Mas Doni dimulai dari sebuah keresahan mengenai rasa ingin kembali pulang. Pada saat itu Mas Doni bertemu dengan Mas Aley dan Pak Bobbit yang sedang rembugan nyari vokalis pria untuk KiaiKanjeng. Pada waktu itu masih eranya BBM ketika Mas Doni ditawari peran vokalis ini. Rasanya sebuah pertanyaan apakah ini sebagai alasan untuk pulang? Menjadi sebuah jalan yang nantinya akan mempertemukan jalan yang baru. Dan sebuah keputusan yang pasti membutuhkan sebuah pertimbangan menjadi sebuah polemik tersendiri bagi Mas Doni. Berangkat dengan merek label sekelas vokalis Seventeen menjadi modal bagi Mas Doni untuk memperkenalkan diri dan tentu juga akan menjadi warna tersendiri bagi Pakdhe-Pakdhe KiaiKanjeng.
Awal mula latihan, Mas Doni dengan celana pendek dengan sandal jepitan langsung bertemu dengan Mbah Nun yang memang sedang ikut latihan bersama KiaiKanjeng. Mas Doni merasa canggung dengan cara berpakaian yang dirasa tidak sopan. Bagaimana tidak? Tanpa sebuah persiapan langsung dipertemukan dengan Mbah Nun yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang Kiai, Ulama, Budayawan Nasional di mata mas Doni. “Wah, iki bakal dikasih wejangan werno-werno,” pikir Mas Doni pada waktu itu. Namun, reaksi Mbah Nun berbeda dengan prasangka Mas Doni. Apa yang dikhawatirkan tidak terjadi dan langsung digembleng dari pukul 08.00 sampai 12.30.
Mendengar genre musik KiaiKanjeng pun Mas Doni langsung berasumsi,”Wah iki Mantos (seorang penyanyi legendaris campursari).” Disambut gelagat tawa para jamaah yang hadir. Dari berjam-jam ikut latihan hanya satu lagu yang dikenal oleh Mas Doni. Wild World. Itu pun dengan aransemen musik yang baru bagi Mas Doni. Tapi bagi beliau, semua ini adalah suatu pembelajaran baru. Seakan Maiyah menjadi ruang yang baru bagi Mas Doni untuk ngelmu.