Umbu sebagai Sastrawan, Manusia, dan Siluman
“Malam ini sesungguhnya kita sedang belajar keluasan. Bahwa hidup tidak selalu seperti apa yang kita pahami.” Demikian kalimat Mbah Nun saat sesi sarasehan, sesi akhir dalam launching buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung Umbu Landu Paranggi. Mbah Nun dipersilahkan ke panggung dan duduk berjajar bersama kawan-kawan lama. Para Persadawan, angota “Persada Studi Klub”, di antaranya ada Pak Iman Budhi Santosa, Pak Sutiman Eka Ardhana, Pak Mustofa W Hasyim, Pak Soeparno S Adhy, dan Pak Budi Sardjono yang menjadi moderator acara.
Malam ini, apakah ritual? Apakah upacara? Apakah perayaan? Mungkin suasananya bisa kita katakan sangat beratmosfer Umbu. Malam ini tanggal 31 Juli 2019, di Rumah Maiyah, Gang Barokah, Kadipiro. Hadirin yang datang juga lintas generasi, lintas identitas. Berbagai bentuk apresiasi atas kenangan kepada Umbu ditampilkan. Hiburan? Atau peneguhan kenangan? Yang jelas ini bukan bentuk pengkeramatan Umbu, kita diajak melihat manusia yang utuh. Dalam berbagai majelis di Maiyah dan Sinau Bareng yang selalu kita latihkan adalah bagaimana presisi melihat manusia sebagai manusia itu adanya.
Tapi bagaimana melihat Umbu? Maka memang mesti banyak ragam ekspresi dan sudut pandangnya. Buku Metiyem sendiri, dikatakan oleh Pak Iman Budhi Santosa adalah persembahan bagi Sang Saudara Tua Umbu Landu Paranggi. Karena itu di judulnya ada Pisungsung Adiluhung. Umbu tampaknya sosok yang tidak begitu peduli juga dengan berbagai bentuk reaksi pujian terhadapnya. Tapi ini adalah ungkapan cinta dari mereka yang pernah disentuh oleh hembusan Umbu. Umbu tidak terlalu haus dengan riuh, tepuk sorai penonton dan bisa saja dengan segera mempersetankan semua itu. Tapi kita semua yang hadir pada malam hari ini yang membutuhkan pengenangan terhadap sosok Umbu.
Ada musikalisasi puisi dari grup yang berasal dari Yogya ada juga yang dari Bali dan kesemuanya cukup belia usianya. Nankinun yang namanya diberikan oleh Umbu sendiri dan para personelnya juga belum mengerti arti kata “Nankinun”. Juga ada band akustik Neltamanelta. Tentu juga terdapat momen pembacaan puisi. Malam ini sangat puitik, seperti ada Umbu di sudut entah mana sedang menghisap rokok, meresapi sambil sembunyi di balik sunyi. Sementara para hadirin berjubel, memenuhi hingga halaman Rumah Maiyah.
Di luar sana, Indonesia masih berlangsung dengan tidak peduli. Dan memang kita manusia yang akan membantu Indonesia tanpa perlu dipedulikan juga. Ada kasus motor yang dibawa lari oleh sepasang belia, baru saja terjadi di depan gang, sedikit sulit mengurai siapa menipu siapa, siapa menjajah siapa, tapi jelas terjadi kerugian dan itu tidak ada hubungannya dengan acara ini. Sementara acara berlangsung tetap khusyuk dan gembira. Indonesia biarkan saja dulu di sana.
Buku Metiyem ini tidak diperjualbelikan, ini ditegaskan oleh Pak Iman. “Bagaimana mungkin kami menjual kerinduan kami?” ungkapnya. Menyentuh. Buku ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang berminat mengkajinya secara serius, atau mereka yang punya taman bacaan terbuka untuk publik dan untuk orang-orang yang terlibat aktif bertanya pada malam hari ini. Sesi tanya jawab dibuka setelah babaran materi oleh Mas Asef Saeful Anwar yang pernah melakukan penelitian tentang Persada Studi Klub sangat mengundang antusiasme, bukan karena kepengen buku gratisan, tapi jelas karena ingin menggali Umbu lebih dekat.
Pak Tan Lio Ie tampil memukau malam hari ini, membawakan beberapa puisi Umbu dengan gitar akustik, menjelakan beberapa larik syairnya dengan sangat ringkas, membuatnya lebih mudah diphamai dengan mengambil idiom-idiom dari filsafat Yunani, Cina, hingga Jawa. Pak Tan juga sering bersentuhan dengan Umbu selama Umbu di Bali. “Puisi Umbu itu ada Umbu di dalamnya,” ungkapnya. Dan kemudian Pak Tan membawakan karyanya yang dipersembahkan pada Umbu, sebuah pembacaan puisi yang atraktif dengan iringan musik blues. “Umbu sangat suka term sunyi,” kata Pak Tan.
Pada sesi sarasehan, Mbah Nun mengutarakan bahwa ada tiga lapis sudut pandang dalam memandang Umbu. Yakni Umbu sebagai sastra, Umbu sebagai manusia, dan Umbu sebagai siluman. Apakah siluman ini metafor? Atau memang bermakna siluman seperti yang dipahami separuh manusia separuh mbuh? Banyak momen-momen indah yang tampak absurd bagi rasionalitas manusia modern dibagikan oleh Mbah Nun. Dan ini juga bukan kisah-kisah mistis serem-sereman seperti cerita-cerita ajaib orang-orang suci dari berbagai agama. Walau, tentu ada juga hal semacam itu misal menurut pengakuan masyarakat tempat kelahirannya, Umbu sering pulang padahal Umbu tidak pernah meninggalkan pulau Jawa. Sekali dua kali ada kisah mistik, tapi rasanya yang jauh lebih menarik adalah energi dan daya hidup Umbu yang seolah tidak peduli pada dunia. “Umbu bukan hanya tidak mau dunia, tapi dia juga menolak dengan keras dunia,” kata Mbah Nun.
Inilah kenapa kita tidak boleh melupakan Umbu. Inilah kenapa kita selalu mengabadikan Umbu. Sebab darinya kita belajar bahwa manusia sangat penuh kemungkinan. Kemungkinan tindak-tanduk manusia tidak terbatas, walau modernitas belakangan makin membuat manusia sangat deterministik dan dependent. Umbu yang Presiden Malioboro ini adalah manusia di zaman peralihan, ketika negeri ini berangsur-angsur lepas landas pada modernisasi tanpa ada lagi perenungan seperti dulunya. Tambahan sedikit, kita mulai modern sejak 1880 namun semakin laju di era pasca 1965.
Pak Jehnsen pengusaha yang selama ini memabantu segala keperluan Umbu dan sangat mendukung diterbitkannya buku ini oleh Rumah Maiyah juga sempat membagikan cerita bagaimana dalam sebuah pesawat, Umbu tiba-tiba berkata pada seorang kawannya, “Mari kita buat beringin rebah itu terjun ke perut bumi.” Kawan Pak Jehnsen tidak paham, namun Umbu hanya mengulangi kalimat “membingungkan”yang sama. Akhirnya orang itu bertanya pada Pak Jehnsen.
Pak Jehnsen langsung menyadari bahwa maksudnya, Umbu meminta makanan sayur kol yang sedang disantap kawannya itu. Ini yang unik, Umbu mungkin tampak bersastra tapi sesungguhnya dia berbicara dengan kesunyian yang murni sehingga yang memahaminya atau minimal berpotensi menangkap pesannya adalah orang yang juga sangat murni. Pak Jehnsen bukan sastrawan, tapi dengan lekas menangkap simbolik “beringin rebah” sebagai “kol”.
Umbu adalah manusia yang tersisa dari masa lalu atau mungkin terhempas dari galaksi tetangga “terhempas ke sudut kota”. Tolok ukur hidupnya sangat berbeda dari kebanyakan manusia. Mungkin seperti Ziggy Stardust avatar-nya David Bowie pada kisaran 70-an. Ziggy orang suci, santo, waliyullah, dari Mars yang lahir jauh sebelum Masehi dan turun ke bumi untuk menyelamatkan ummat manusia dari bencana fashion yang jelek dan potongan rambut yang buruk.
Kita selalu butuh manusia-manusia unik dengan ketidakberhinggaan imajinasi seperti ini. Tapi David Bowie ada di industri musik penuh bungkus penjualan yang penuh kepalsuan, sedangkan Umbu selalu menyepi di sabana sunyi, di bawah pohon itu menyulut rokoknya dan menertawakan dunia. Tapi saat Umbu tertawa, benarkah itu tawa? Seorang gadis berbisik, “Aku ingin bertemu Mbah Umbu”. Kita sudah bertemu Umbu tapi kita tidak tahu, atau kita mungkin menyangka bertemu Umbu tapi sesungguhnya itu adalah Umbu yang sedang berakting menjadi bukan Umbu lalu menyamar jadi Umbu lantas sedang tidak mood untuk jadi Umbu. Berlapis-lapis Umbu, yang tersisa hanya cinta dan rindu.
Malam ini kita mengenang Umbu karena kita ingin belajar bagaimana mendalami fadlilah yang otentik, menjadi manusia yang utuh di tengah kebutan zaman. Mbah Nun tegaskan bahwa kita tidak sedang memitologiskan Umbu. Bencana terbesar manusia di zaman ini adalah selalu memitos-mitoskan sosok. Kenanglah manusia sebagai apa adanya manusia. Dengan cinta. Ini adalah bentuk kerinduan kita untuk pulang ke huma berhati, ke negeri puisi. Dan sunyi.