Beriman Pada Keraguan
“Buku sejarah masih dipenuhi peralihan kekuasaan dari satu raja ke raja lainnya, konflik istana antar dinasti, peralihan kekuasaan dan rentetan peristiwa yang diukur dengan skala besar dengan tema utama perebutan kekuasaan…”
Kalimat di atas saya kutip dari buku berjudul Menjawab Keraguan yang ditulis oleh Mas Yasin Fatkhur Rizqi. Mas Yasin adalah jamaah Maiyah dan dulunya juga adalah relawan perpustakaan EAN dan yang cukup mengejutkan bagi saya pribadi ternyata beliau adalah peserta Program Riset dan Penulisan. Saya juga bagian dari program ini. Jadi rasanya seperti bertemu sahabat lama. Karena memang. Volunteer dalam program riset penulisan terbilang banyak, mungkin sekitar enam puluhan orang. Saya awalnya agak lupa, sampai Mas Yasin mengingatkan hal ini. Malam ini ternyata ada kenangan yang membuka. Dan ada hal yang tanpa sengaja terkuak jawabannya.
Saya samar-sama mengingat wajah Mas Yasin sedikit berbeda. Malam ini beliau tampil bersahaja, berkemeja hitam, lebih rapi dari versi yang dulu. “Saya sekarang di barber shop Mas,”kata Mas Yasin pada saya. Oh pantas jadi lebih rapi. Atau, apa mungkin karena sekarang Mas Yasin sudah menikah dan mulai beranak-pinak? Tambahan saja, Mas Yasin dan istri beliau di Cilacap sedang menanti kelahiran bayi mereka. Mari kita biasakan menyebutkan bahwa suami-istri sebenarnya sedang hamil dan melahirkan bersama-sama, bukan hanya istri yang hamil dan melahirkan.
Baiklah, saya rasa saya jangan larut dalam antusiasme pertemuan dan nostalgia. Pembaca yang budiman tahu kan, kalau nostalgia dulunya adalah nama penyakit yang cukup mematikan? Skip saja bagian itu, lain kali saja kita bahas. Kutipan di mula tulisan ini muncul pada bagian dalam buku Mas Yasin, dalam satu tulisan berjudul “Seribu Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia”. Jelas terasa dalam susunan kalimatnya Mas Yasin sedang memberi kritikan pada narasi sejarah maskulin. Yang sangat tergila-gila pada segala yang megah, yang besar dan fenomenal. Ilmu sejarah tidak dibangun hanya berdasarkan kenangan. Karena kenangan manusia sesungguhnya sangat rapuh dan tidak bisa dipercaya begitu saja. Sejarah sebagai ilmu dibangun di atas bukti-bukti fakta yang disaring menjadi data dan diperas menjadi interpretasi. Entah persoalannya adalah apakah karena memang bukti-bukti dan catatan sejarah yang disediakan oleh pendahulu kita memang selalu melulu hanya bicara yang besar-besar ataukah karena interpretasi kita yang selalu mengarahkan narasi pada hal-hal semacam ini. Padahal bahan untuk mempelajari narasi-narasi mikro, sejarah-sejarah kecil juga cukup banyak hanya mungkin kurang populer saja.
Dari catatan salah satu dan sangat utama ilmu sejarah dibangun. Maka catatan kita saat ini adalah bekal untuk pembelajar sejarah di masa depan.
Diskusi Sewelasan malam ini memang khusus membahas buku yang saya sebut di atas tadi, Menjawab Keraguan karya Mas Yasin. Hadir sebagai pembabar meteri Mas Indra Agusta dan sebagai moderator si Muhammad Zuriat Fadil. Dan Bu Roh sesepuh kita, masihlah bagi kita adalah orang tua yang selalu sabar membimbing dan menemani. Rumah Maiyah selalu penuh dengan kehangatan dan kemesraan, yang mau ngopi bisa pesan di Syini Kopi.
Acara diskusi malam ini dilaksanakan di lantai dua perpus EAN setelah sebelumnya acara diskusi rutin kesayangan kita ini absen karena persoalan teknis. Setelah Bu Roh menyambut para hadirin dan memberi gambaran mengenai kondisi perpus terkini, Fadil kemudian menempati posisi sebagai moderator yang setelah memberi sedikit hantaran langsung mempersilakan Mas Indra Agusta dan Mas Yasin untuk turut ke depan.
Buku ini, diperkenalkan oleh Fadil sebagai karya pertama dari Mas Yasin dan masih sangat baru keluar dari percetakan jadi sekalian peresmian ceritanya. “Ini buku yang romantis dan spiritual. Konon, hanya orang romantis yang bisa meletuskan revolusi,” kata Fadil dengan sok tau, si Fadil kan gak romantis orangnya, makanya dia kurang suka sama sepak bola. Entah apa hubungannya. Mas Yasin pada selanjutnya menceritakan mengenai isi buku yang ditulisnya bahwa ini adalah catatan dari persentuhannya dengan Majelis Maiyah serta persembahan cinta pada Mbah Nun yang beliau anggap guru tercinta. Sementara ketika Mas Indra Agusta berkesempatan, beliau membawa pembedahan terhadap buku ini dari sisi penulisan, pembagian antar bab dan juga dari beberapa sisi sejarah karena memang Mas Indra berkecimpung dalam pada wilayah bahasan sejarah.
Saya yang juga hadir pada malam ini bisa merasakan bahwa walaupun Mas Yasin tidak mengutarakan tapi sesungguhnya ini adalah tabungan sejarah. sejarah terbangun dari catatan kecil-kecilan seperti ini. Setiap zaman manusia punya cara mengenang yang berbeda. Bahwa dia pengalaman personal tentu saja iya namun ketika sebuah pengalaman pribadi dituliskan dia berpotensi menjadi pengalaman kolektif. Manusia bisa saja menciptakan imajinasi dan pengalaman kolektif. Kalimat “Menjawab Keraguan” yang menjadi judul buku ini cukup memantik diskusi menjadi lebih dalam.
Sudah saya sebutkan di awal tadi bahwa Mas Yasin dulunya adalah relawan di Perpus EAN ini. Sebelum akhirnya pindah kota, menikah dan meneruskan kehidupan. Rupanya atmosfer Perpus EAN dan Rumah Maiyah Kedatuan Kadipiro ini, cukup banyak memberi sumbangan energi kreatif bagi Mas Yasin. Malam ini juga beberapa teman-teman relawan Perpus EAN yang semuanya adalah mahasiswi UIN hadir sehingga mereka tentu jadi bisa menimba sumur keteduhan dari Mas Yasin yang sangat ramah.
Rasanya, manusia memang selalu ada dalam keraguan. Menjawab keraguan berarti adalah menuju pada tingkatan keraguan lain. Dan keraguan tidak mesti bertentangn dengan keimanan. Hidup menjadi asik dengan keraguan, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak akan terjawab. Dengan tuntutan yang tak akan terpenuhi. Dengan perjuangan yang tidak mungkin menang. Dengan rindu yang tak perlu bertemu. Tidak segala hal bisa terselesaikan atau mampu ditemukan jawabannya dalam sekali hidup “That’s Life” kata lagunya Frank Sinatra. Atau saya sering teringat Mbah Nun bilang “ngono kuwi urip”.
Hanya pecinta sejati yang tahu bagaimana caranya menghadirkan kebencian sebagai bentuk kasih sayang. Dalam pandangan sang pecinta, semua telah manunggal. Hal semacam ini si Fadil yang jadi moderator itu tidak akan paham karena dia orangnya kering spiritual, tadi masa dia bilang “i’m not so into kiai minded”.
Semakin malam lempar-lemparan respons dari para hadirin semakin ramai. Dialog makin lancar, tanya-jawab semakin mengalir dan beberapa kritikan juga dilontarkan, tentu ini semua maksudnya adalah agar kita semua menjadi lebih baik lagi dan lagi. Yang hadir, apa mungkin karena kebanyakan juga adalah Jamaah Maiyah, selalu punya pertanyaan-pertanyaan. Ada Mas Harianto juga yang pada penghujung sempat memberikan pesan-pesan berharga untuk kelanjutan karya penulis ke depannya. Saya rasa, keistimewaan manusia Maiyah adalah bukan karena mereka punya segala jawaban tapi justru kemampuan mereka dalam menemukan pertanyaan-pertanyaan. Dan itu tampak sekali malam hari ini. Buku Menjawab Keraguan karya Mas Yasin ini kelak akan menjadi catatan berharga bagi pembelajar Maiyah di abad-abad ke depan. Kita tidak pernah tau seperti apa kita akan dikenang. Atau apakah kelak kita akan terlupakan, kalau Fadil itu katanya lebih memilih terlupakan. Semuanya adalah keraguan dan kita bisa beriman dengan total pada keraguan. Karena toh bukankah Gusti Allah jugalah yang mengejawantah menjadi keraguan-keraguan dalam selipan keimanan kita?