Bercermin Pada Papperandang Ate
Kalau misal Mbah Nun tidak hadir dalam gelaran Maiyah, dan itu membuat penggiat atau jamaah simpul mengeluh, sepertinya dia perlu datang ke Mandar dan mengikuti Maiyahan di Papperandang Ate. Sebab, di Maiyahan ini dipastikan Mbah Nun tidak hadir. Bahkan, perjumpaan dengan Mbah Nun sekali dalam setahun pun belum tentu.
Kalau rasa kangen sudah tak bisa diredakan, mereka yang nekat merogoh kocek sendiri membeli tiket pesawat atau kapal laut untuk menyeberang ke Jawa. Demi mengikuti Maiyahan di PadhangmBulan, Mocopat Syafaat, atau di Kenduri Cinta, di mana Mbah Nun kerap datang membersamai jamaah Sinau Bareng. Atau seperti tahun lalu, ketika Mbah Nun dan KiaiKanjeng terjadwal Sinau Bareng di Samarinda, beberapa orang dari Mandar terbang ke Samarinda, untuk mengobati rasa kangen.
Itu cerita yang tersirat dalam malam ramah tamah dengan penggiat Simpul Maiyah Papperandang Ate, pada malam pertama, Kamis, 21 November 2019, rombongan “Rihlah Al-Mutahabbina Fillah” di Mandar. Bertempat di beranda rumah Pak Abu Bakar, rombongan kami yang berasal dari Lampung, Jawa, dan Samarinda merasakan sejenak suasana Maiyahan di Tinambung. Kata Pak Amru, di Tinambung inilah pusat Maiyah di Mandar. Artinya, sebagian besar warga Tinambung adalah anggota Teater Flamboyant dan semua anggota Teater Flamboyant sudah pasti penggiat Maiyah Papperandang Ate. Hampir semua orang di Tinambung tahu dan kenal nama Emha Ainun Nadjib atau Mbah Nun.
Mas Abed memandu acara dengan meminta semua peserta mengenalkan diri satu per satu. Para tamu dipersilakan mengenalkan diri terlebih dahulu, lalu disusul dengan perkenalan diri dari penggiat Papperandang Ate. Yang menarik dari perkenalan singkat ini adalah cerita perihal tahun kedatangan Mbah Nun di Mandar. Masing-masing penggiat memiliki versi yang berbeda. Pak Munu menceritakan, ia yang membacakan shalawat dalam penyambutan kedatangan Mbah Nun.
Saat itu Pak Munu masih duduk di bangku SMP dan masih menjadi muridnya Pak Tamalele. Mungkin sekitar tahun 1985, katanya. Versi Pak Munu berbeda dengan versi Pak Tamalele. Keduanya memiliki acuan yang berbeda. Pak Munu mengacu pada saat beliau sekolah. Sedangkan Pak Tamalele mengacu tahun kelahiran putrinya. Sebab, saat menyambut kelahiran putrinya, secara bersamaan Pak Tamalele juga menyambut kedatangan tamu dari Jawa: Mbah Nun.
Pak Tamalele mengatakan Mbah Nun pertama kali datang ke Mandar pada 1987. Keragaman versi cerita mengayakan cerita-cerita unik Mbah Nun di Mandar. Lebih unik lagi perihal kerelaan Mbah Nun mau bergaul dengan anak-anak muda anggota Teater Flamboyant.
“Jangan lihat kami yang sekarang.” Kata itu berkali-kali terucap dari para sesepuh penggiat Papperandang Ate. Semacam peringatan bahwa kehidupan mereka saat ini jauh lebih baik ketimbang masa muda dulu. Dan, memang begitu keadaannya. Pak Hamzah Ismail sudah tercatat sebagai camat, Mas Abed sudah menjadi penghulu. Sebagian mereka sudah memiliki pekerjaan yang tetap. Ada yang bekerja di lingkup pemerintahan. Ada juga di lingkup swasta atau niaga. Semua capaian di bidang pekerjaan tidak terlepas dari peran Mbah Nun. Pak Hamzah Ismail mengakui sendiri perihal itu, juga penggiat yang lainnya.
Dulu saat Mbah Nun awal datang ke Mandar, Pak Hamzah—yang sekarang camat—masih menjadi pemuda yang tidak jelas pekerjaan dan masa depannya. Pak Amru—yang sekarang guru pegawai negeri sipil—masih menjadi guru yang belum jelas status kepegawaiannya. Mereka adalah pemuda-pemuda yang kerap bikin onar dan dimusuhi warga kampung yang menyambut Mbah Nun saat pertama datang ke Mandar. Lalu, pelan-pelan, lewat diskusi tiap malam, Mbah Nun mengubah kebiasaan mereka dan mengajak mereka dengan kegiatan-kegiatan yang bisa diterima masyarakat.
Kedatangan Mbah Nun saat itu, kata Pak Munu, “Memerdekakan orang-orang yang dianggap sepele.” Aktivitas Mbah Nun di Mandar berkumpul dengan anak-anak muda dari kalangan keluarga biasa dengan status sosial yang tidak jelas. Dan tiba-tiba ada orang datang jauh-jauh dari Jawa mau mengajak mereka berdiskusi, berkegiatan sosial, berpuisi, dan berteater.
“Cak Nun menerima kami apa adanya,” kata Pak Amru mengingat perkenalannya dengan Mbah Nun.
Organisme Maiyah Papperandang Ate
Selesai para penggiat Papperandang Ate bercerita, acara berlanjut dengan pembahasan organisme Maiyah. Koordinator Simpul Maiyah Region 3, Rizki, mengatakan simpul-simpul Maiyah di Jawa tumbuh secara pesat. Pertumbuhan itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibarengi dengan istiqamah sinau bareng. Semakin banyak simpul Maiyah tentu kabar yang menggembirakan, sebab itu menggambarkan bahwa semakin banyak orang yang tertarik dengan ilmu dan nilai Maiyah. Tetapi ketertarikan itu mesti dibarengi dengan kegigihan melaksanakan sinau bareng tanpa bergantung pada jumlah jamaah yang datang.
Mas Fahmi, Koordinator Simpul Maiyah Region 1, menambahkan bahwa perjalanan ke Mandar ini atas dhawuh langsung dari Mbah Nun. Menurut Mbah Nun, kita yang tergabung di simpul-simpul Maiyah perlu sesekali bersilaturahim ke salah satu simpul tua Maiyah yang letaknya paling jauh dari Jawa. Orang-orang yang tergabung dalam Simpul Maiyah Papperandang Ate itu sudah lebih 20 tahun istiqamah melingkar menyebarkan nilai-nilai Maiyah di Sulawesi. Dalam hal kemandirian menyelenggarakan Maiyahan tanpa tergantung pada kehadiran Mbah Nun, Papperandang Ate patut dicontoh.
Simpul-simpul Maiyah yang lain perlu belajar bahwa ketidakseringan berjumpa Mbah Nun tidak menyurutkan semangat mereka untuk istiqamah melingkar. Sebab, warisan cinta yang besar dari Mbah Nun untuk orang-orang Mandar membuat mereka terus menyapa Mbah Nun dari jauh. Kini, Mbah Nun menyapa penggiat Papperandang Ate lewat anak-anak cucunya yang menempuh “Perjalanan Rindu dan Cinta.”